Isu Lingkungan Hidup dan Prospek Ekspor Sawit Indonesia (2)

Jepri Edi
Peserta Sesdilu 63 Pusdiklat Kemlu
Konten dari Pengguna
7 April 2019 21:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jepri Edi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Kelapa Sawit Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kelapa Sawit Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan bagian pertama, penulis mengangkat isu kampanye negatif terhadap produk sawit yang dianggap sebagai produk pertanian 'tidak ramah' lingkungan dan dampaknya terhadap prospek ekspor sawit Indonesia. Penulis mengimbau sikap proaktif dalam melawan kampanye tersebut, khususnya terkait kebijakan Komisi Eropa untuk membatasi dan menghentikan secara bertahap penggunaan minyak sawit sebagai sumber energi terbarukan di Uni Eropa hingga 0% pada tahun 2030.
ADVERTISEMENT
Kebijakan yang tertuang dalam Delegated Act atau aturan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II) Uni Eropa ini, diadopsi Komisi Eropa pada tanggal 13 Maret 2019. Aturan akan berlaku jika tidak ada penolakan atau penundaan persetujuan dari Dewan Uni Eropa dan Parlemen Eropa dua bulan sejak diadopsi. Pada tulisan kali ini, penulis akan menyoroti dinamika di balik keputusan Komisi Eropa tersebut.

Parlemen Eropa dan Desakan Larangan Impor Sawit untuk Sumber Energi Terbarukan

Diskursus terkait dampak industri sawit terhadap lingkungan hidup sudah berlangsung lebih dari satu dekade di Uni Eropa (UE). Akan tetapi, upaya aktif dan institusional untuk membatasi dan/atau menghapus penggunaan minyak sawit di kawasan tersebut berlangsung intensif sejak Parlemen Eropa mengadopsi resolusi berjudul Palm Oil and Deforestation of Rainforests pada tanggal 4 April 2017.
ADVERTISEMENT
Resolusi yang mengangkat dampak negatif sawit terhadap deforestasi hutan dan keanekaragaman hayati tersebut, disetujui mayoritas anggota Parlemen Eropa (640 setuju, 18 menolak dan 28 abstain).
Ilustrasi Suasana Sidang Parlemen Eropa (sumber: Wikimedia Commons)
Resolusi pertama Parlemen Eropa terkait dampak sawit terhadap deforestasi hutan tersebut disusun sebagai respons atas masalah kerusakan hutan oleh perkebunan sawit yang dipandang dapat menghambat pencapaian kesepakatan global di bidang perubahan iklim (Paris Agreement) dan mandat tujuan pembangunan berkelanjutan PBB (UN Sustainable Development Goals/SDGs).
Parlemen Eropa mendorong tata kelola sawit yang berkelanjutan. Adapun kriteria minimum sawit berkelanjutan menurut Resolusi Parlemen Eropa adalah industri sawit yang dikelola dengan teknologi agroindustri terkini, memenuhi standar perlindungan HAM dan hak pekerja serta mendorong penguatan dan pelibatan petani kecil dalam sistem sertifikasi dan pembagian keuntungan yang adil.
ADVERTISEMENT
Perkebunan sawit yang berkelanjutan diharapkan tidak mengakibatkan kerusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati serta tidak mendorong penyalahgunaan fungsi lahan yang dapat berdampak negatif terhadap kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat.
Untuk menanggulangi dampak dari produksi sawit tidak berkelanjutan, khususnya di Asia Tenggara, Parlemen mengimbau UE untuk menggunakan satu standar sertifikasi minyak sawit yang diwajibkan. Parlemen Eropa menilai skema sertifikasi sawit berkelanjutan yang ada, seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO), Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), Malaysia Sustainable Palm Oil (MSPO) dan sertifikasi lainnya kurang efektif dalam menghentikan pengalihan lahan hutan dan gambut menjadi perkebunan sawit.
Selanjutnya, Parlemen Eropa mencatat masih kurangnya implementasi pemenuhan target 100% rantai pasokan sawit berkelanjutan di Uni Eropa sesuai dengan semangat Deklarasi Amsterdam tanggal 7 Desember 2015 tentang 'Towards Eliminating Deforestation from Agricultural Commodity Chains with European Countries'. Deklarasi ini ditandatangani antaranya oleh lima negara anggota UE, yaitu Denmark, Jerman, Perancis, Inggris, dan Belanda.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk produk bahan bakar nabati (biofuels), Parlemen Eropa mencatat sekitar 46% dari impor minyak sawit UE (naik 6 kali lipat dari 2010) dipergunakan untuk memproduksi biofuels dan untuk menghasilkan sejumlah nilai impor tersebut diperlukan penggunaan sekitar 1 juta hektar lahan tropis. Untuk menindaklanjuti penilaian dampak negatif sawit terhadap lingkungan, Parlemen Eropa meminta Komisi Eropa mengambil langkah-langkah kebijakan guna mengurangi secara bertahap penggunaaan biofuels yang bersumber dari minyak nabati tidak ramah lingkungan, termasuk minyak sawit, diharapkan mulai tahun 2020.
Distribusi Konsumsi Minyak Sawit di Uni Eropa (sumber: https://www.transportenvironment.org/press/drivers-are-top-consumers-palm-oil-europe-2015-figures)
Resolusi Parlemen Eropa dan mandat tindak lanjut yang diberikan kepada Komisi Eropa di atas mendorong munculnya berbagai pendapat pro dan kontra di internal Uni Eropa maupun di negara-negara produsen minyak sawit, khususnya Indonesia dan Malaysia yang menguasai sekitar 85% produksi sawit dunia. Pemerintah dan industri sawit di Indonesia dan Malaysia menolak pandangan Parlemen Eropa dan mengecam rencana pelarangan impor sawit untuk sumber energi berkelanjutan di UE sebagai tindakan diskriminatif.
ADVERTISEMENT

Dinamika Pengadopsian Delegated Act RED II

Sebagai tindak lanjut dari Resolusi Parlemen Eropa di atas sekaligus penyusunan target penggunaan sumber energi terbarukan di UE pasca-2020, Komisi Eropa menyusun aturan baru pengganti EU Renewable Energy Directive. Setelah melalui proses perdebatan yang panjang, Komisi Eropa, Parlemen Eropa dan Dewan UE menyepakati aturan baru promosi dan penggunaan sumber energi terbarukan di UE periode 2021-2030 yang lebih dikenal dengan sebutan Renewable Energy Directive II (RED II).
RED II yang disahkan pada Desember 2018 tersebut menetapkan target konsumsi 32% renewable energy di UE pada tahun 2030. Komisi Eropa diminta untuk menyusun aturan turunan RED II, termasuk Delegated Act yang mengatur dan menganalisis spesifikasi minyak nabati yang berisiko tinggi atau rendah merusak lingkungan.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana ditulis pada tulisan bagian pertama, Komisi Eropa mengadopsi Delegated Act-RED II yang menempatkan minyak sawit sebagai sumber biofuels yang tidak berkelanjutan. Berdasarkan metode yang digunakan Komisi Eropa, minyak sawit dinilai memiliki resiko dampak pengalihan fungsi lahan tidak langsung (Indirect Land-Use Change/ILUC) yang tinggi atau dengan kata lain berkontribusi terhadap kerusakan hutan dan lingkungan hidup. Untuk itu, penggunaan sawit sebagai sumber 'energi terbarukan' UE akan dikurangi secara bertahap mulai tahun 2023 hingga 0% pada 2030.
Pengadopsian Delegated Act RED II tersebut melalui proses ekonomi-politik yang dinamis. Setidaknya, terdapat tiga dinamika ekonomi politik yang menarik dari pengadopsian Delegated Act tersebut.
Pertama, internal UE tidak satu suara dalam proses pembahasan dan menyikapi putusan Delegated Act RED II. Menurut Euractiv, faksi Lingkungan di Parlemen Eropa menginginkan tidak hanya pelarangan sawit tapi juga minyak kedelai. Pandangan ini juga sejalan dengan kelompok lobi Transport and Environment yang kurang senang dengan pengecualian terhadap minyak kedelai dan menyebut kedelai sebagai 'the new palm oil'.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Copa Cogeca, asosiasi petani Eropa, dan ePure, asosiasi produsen renewable ethanol di Eropa juga mengkritisi pengecualian yang diberikan terhadap minyak kedelai dan petani kecil sawit. Naskah akhir Delegated Act yang diadopsi Komisi Eropa mengalami perubahan cukup signifikan dari naskah awal, salah satunya perubahan jumlah penguasaan lahan yang masuk kategori petani kecil dari usulan 5 hektare menjadi hanya 2 hektare. Ini diduga karena lobi kuat yang dilakukan kelompok lingkungan, pertanian dan produsen etanol Eropa.
Kedua, lobi dan tekanan diplomatik maupun perdagangan yang dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia--produsen sawit terbesar dunia--mempengaruhi keputusan UE terhadap impor minyak sawit dari pelarangan tanpa pengecualian terhadap minyak sawit untuk biofuels menjadi pelarangan bertahap dengan pengecualian untuk petani kecil.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pelarangan yang diusulkan Parlemen Eropa sejak 2020 berubah menjadi bertahap mulai 2023 hingga 0% pada 2030. Meskipun ditekan oleh kelompok kepentingan di internal UE, Komisi Eropa memutuskan untuk memberikan pengecualian terhadap petani kecil sawit. Ini dipandang sebagai 'konsesi' yang diberikan oleh Komisi Eropa untuk meredam penolakan keras Indonesia dan Malaysia atas dikeluarkannya sawit dari kategori sumber energi terbarukan di UE.
Tentunya, sebagaimana disampaikan pada tulisan bagian pertama, Indonesia dan Malaysia tetap mengecam keras aturan diskriminatif dalam Delegated Act RED II.
Diplomasi Sawit yang dilakukan Menko Maritim di Brussels, April 2018 (sumber: kemlu.go.id)
Ketiga, eksportir minyak kedelai dianggap sebagai pihak yang paling diuntungkan dari rencana pengurangan secara bertahap penggunaan minyak sawit sebagai sumber energi terbarukan di UE. Meskipun ditolak oleh kelompok lingkungan, pertanian dan pengusaha etanol UE serta menimbang catatan lingkungan minyak kedelai, yang sebagaimana sawit, juga dipertanyakan, Komisi Eropa berdasarkan metodologi yang digunakan menempatkan kedelai sebagai minyak nabati dengan risiko ILUC rendah.
ADVERTISEMENT
Impor kedelai untuk biofuels di UE diperbolehkan selama memenuhi persyaratan sertifikasi UE. Menurut catatan Transport and Environment, 58,5% produksi biodiesel UE berasal dari rapeseed oil, sementara minyak sawit di posisi kedua (33,2%) dan diikuti minyak kedelai sebesar 5,9%.
Porsi besar minyak sawit untuk produksi biodiesel UE diperkirakan akan diisi oleh minyak kedelai seiring dengan peningkatan impor kedelai UE, khususnya dari Amerika Serikat (AS). Komisi Eropa mencatat peningkatan impor kedelai UE dari AS sebesar 112% pada periode kedua tahun 2018.
Tepatnya, menyusul kesepakatan peningkatan perdagangan antara Presiden AS, Donald Trump, dengan Presiden Komisi Eropa, Jean-Claude Juncker, pada Juli 2018. Kesepakatan tersebut dicapai untuk menghindari kemungkinan perang dagang UE-AS terkait ancaman pengenaan tarif lebih tinggi atas impor mobil UE ke AS.
ADVERTISEMENT
Ia juga bersamaan dengan kebutuhan pasar alternatif bagi ekspor kedelai AS yang mengalami hambatan di pasar tradisionalnya, China, sehubungan dengan perang dagang AS-China. Sehingga banyak analis yang berpandangan bahwa pengategorisasian minyak kedelai sebagai low-ILUC risk tidak terlepas dari konteks kerja sama perdagangan AS-UE di atas.
Apalagi jika mengingat pada Januari 2019, Komisi Eropa memutuskan bahwa minyak kedelai AS dan sertifikasi keberlanjutan kedelai AS dapat dipergunakan untuk produksi biofuels di UE.

Epilogue: Hambatan Sawit untuk Biofuels di UE

Berdasarkan ulasan pada tulisan bagian pertama dan kedua ini, sulit untuk menegakkan argumentasi bahwa pelarangan bertahap minyak sawit sebagai sumber energi terbarukan yang diakui UE sebagai murni upaya perlindungan lingkungan. Terdapat banyak kepentingan ekonomi yang bermain, tidak hanya di internal UE, tapi juga di negara lain yang saling berkaitan.
ADVERTISEMENT
Ini merupakan materi bagi diplomasi sawit Indonesia di Uni Eropa atau nantinya upaya litigasi sekiranya 'hambatan perdagangan' UE ini akan dibawa ke Dispute Settlement Body - World Trade Organization (WTO).