Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perkembangan Desa di Indonesia
9 Juli 2024 8:15 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Jhodie Faja Agustian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mengenal Desa
Jauh sebelum merdeka (17 Agustus 1945) desa-desa sudah ada dan eksis di Indonesia, eksis dengan struktur pemerintahannya sendiri dan eksis dengan budayanya masing-masing. Maka dari itu sudah jelas bahwasanya, bahwa pemerintah pusat tidak memberikan hak otonomi ke daerah, melainkan otonomi itu sendiri yang sudah melekat dengan desa. Berbicara mengenai sejarah atau eksistensi desa di Indonesia, layak rasanya apabila kita mengingat Prasasti Kawali yang berada di Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat yang ditulis dalam bahasa Sunda Kuno yang perkiraan dibuat pada 1350 M. Prasasti ini menunjukan bahwa desa sudah ada jauh sebelum masa penjajahan Belanda dan Prasasti ini juga mencerminkan adanya suatu pembagian urusan dan tugas yang diberikan oleh Negara/Kerajaan pada ketika itu. Selanjutnya, terdapat pula Prasasti Walandit yang ditemukan Tengger, Provinsi Jawa Timur yang diperkirakan dibuat pada 1381 M, dalam Prasasti ini disebutkan kata ‘Desa’ dan menghubungkannya dengan raja selaku pemegang kekuasaan di pemerintahan pusat. Hal ini menunjukan adanya sebuah hubungan antara desa (sebagai unit pemerintahan terendah) sudah eksis sejak zaman dahulu, bahkan sebelum bangsa asing datang dan melakukan Penjajahan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perkembangan Desa
Desa sudah ada bahkan sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk dan merdeka pada 17 Agustus 1945, artinya desa sudah ada dan eksis ketika penjajah belum sampai ke Nusantara. Pada masa pendudukan kongsi dagang VOC di Indonesia, perhatian terhadap pemerintahan desa boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Pemerintah kolonial yang oleh banyak rakyat Indonesia disebut “Kompeni” lebih suka berhubungan dengan raja-raja atau bupati-bupati pribumi. Bagi VOC, lebih mudah dan lebih menguntungkan apabila hanya berhubungan dengan para raja dan para bupati, karena disamping jumlahnya lebih sedikit, mereka secara efektif bisa mengendalikan para kepala desa. Karena penguasa VOC tidak memberikan perhatian terhadap pemerintahan desa, maka penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia pada waktu itu berjalan sendiri-sendiri sebagaimana kebiasaan dan adat yang berlaku di masing-masing daerah.
ADVERTISEMENT
Di masa kedatangan Inggris pasca bangkrutnya kongsi dagang Belanda yang bernama VOC, datanglah Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stanford Raffles yang memimpin kekuasaan Inggris di Pulau Jawa. Raffles sangat dipengaruhi oleh semangat revolusi Perancis yang mengobarkan semboyan “kebebasan, persamaan dan persaudaraan bagi sesama warga”. Oleh karena itu, Raffles sangat tidak menyukai praktek kolonialisme Belanda yang sangat menindas penduduk pribumi, tanpa sedikitpun memberikan perlakuan yang manusiawi dan mensejahterahkan. Kekuasaan Inggris di Nusantara harus berakhir, dan penguasaan kembali berada di tangan Pemerintahan Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal Johannes Van de Bosch menerapkan sistem tanam paksa yang sangat terkenal dengan sebutan “Cultuur Stelsel”. Penindasan tersebut dilakukan dengan menggunakan para pemimpin masyarakat (kepala desa) yang mau tidak mau harus menjalankan perintah atasannya.
ADVERTISEMENT
Sekian lama Nusantara dijajah oleh Pemerintahan Hindia-Belanda, kemudian Pemerintahan Belanda harus angkat kaki dari Indonesia karena Jepang berhasil menundukan benteng Pearl Harbour di Samudera Pasifik yang berdampak pada datangnya Jepang ke Indoenesia. Pada masa penjajahan Jepang Desa disebut Ku dan Kepala Desanya disebut “Kutyo” atau (Kuco) dan Desa bisa dibagi dalam beberapa kampong yang disebut “Usa”. Agak berbeda dengan pemerintahan kolonial Belanda, Tentara Pendudukan Jepang ternyata memberikan perhatian lebih besar kepada pemerintahan desa. Namun perhatian tersebut, bukanlah dengan maksud untuk memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi karena memandang desa sebagai sumber daya yang sangat potensial bagi politik ekspansionisme Jepang. Kepala desa juga dipaksa mengerahkan tenaga-tenaga kerja paksa atau romusha, yang sebagian di kirim ke tempat-tempat yang sangat jauh dari kampung halamannya dan banyak diantara mereka yang mati atau tidak kembali lagi selama-lamanya. Di masa pendudukan tersebut, kembali pemerintah desa diperalat oleh kekuasaan yang lebih besar tanpa memperoleh manfaat timbal balik.
ADVERTISEMENT
17 Agustus 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah resmi terbentuk dan dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden M.Hatta. Desa di masa orde lama menjadi ajang dari konflik politik nasional yang diperankan oleh banyak partai politik yang berbeda ideologi dan orientasi politiknya, dan Kepala desa menjadi salah satu sasaran pokok partai politik, karena kalau suatu partai politik berhasil menarik kepala desa ke dalam partainya, maka partai politik tersebut akan mempunyai peluang yang besar untuk juga mendapat dukungan sebagian besar penduduk desa yang bersangkutan. Lebih lanjut Kerukunan nasional yang diciptakan Presiden Sukarno di bawah panji-panji Nasakom hanya bersifat semu sahaja, kemudian terjadilah peristiwa G30S/PKI yang menghancurkan ide penyatuan berbagai ideologi tersebut. Kondisi Desa juga terkena dampak dari gerakan tersebut, dilakukanlah berbagai upaya pembersihan dengan melakukan pemecatan atau pemberhentian sementara terhadap para pejabat dan pegawai pemerintah dari tingkat pusat sampai ke daerah dan desa-desa dilakukan secara besar-besaran. Di lingkungan pemerintahan desa, banyak kepala desa dan anggota pemerintah desa lainnya yang terkena pembersihan itu. Diantara mereka terdapat juga orang-orang yang jadi korban tanpa menyadari benar keterlibatannya dalam gerakan PKI.
ADVERTISEMENT
32 tahun rezim Orde Baru berdiri dengan gagah sebelum terjadi aksi atau gerakan demonstrasi besar-besaran yang dikenal dengan istilah reformasi atau perlawanan terhadap rezim Orde Baru, ketika itu masyarakat Desa hampir tidak terlibat sama sekali. Pemerintah Desa dan warga desa hanya menjadi penonton bahkan sebagian bisa dikatakan tidak mengerti pergolakan politik yang berlangsung pada waktu itu.
Kesimpulan
Desa ternyata sudah eksis dan memiliki posisi yang strategis dalam pemerintahan, tidak hanya sebagai unit terendah dalam suatu pemerintahan, desa juga memiliki sebagai peran vital dalam sebuah proses dari suatu program yang dicanangkan oleh pemerintah. Lebih lanjut, desa juga memiliki daya tarik tersendiri terutama dalam hal politik, Desa dianggap memiliki daya tawar yang tinggi dalam politik, tercermin dalam beberapa situasi setelah kemerdekaan yang menjadikan Desa sebagai salah satu strategi dalam upaya meraih kekuasaan. Akhir kata, sudah saatnya segala perhatian tertuju pada Desa, sudah saatnya mulai membangun Desa yang mandiri yang tidak tergantung pada bantuan-bantuan dari Pemerintah Pusat ataupun Daerah. Sudah saatnya desa menjadi titik awal atau gerbang pembuka dari pembangunan negara demi terciptanya kemajuan negara.
ADVERTISEMENT