Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Tuntutan Pengalaman, Cermin Kegagalan Sistem Pendidikan
9 Mei 2025 13:25 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Bahrulloh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun sumber daya manusia yang unggul. Namun, tantangan terbesar dunia pendidikan hari ini adalah memastikan lulusannya siap menghadapi realitas dunia kerja. Salah satu ironi terbesar dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia adalah fenomena "fresh graduate berpengalaman" — tuntutan yang mensyaratkan pengalaman kerja minimal, bahkan untuk posisi entry level.
ADVERTISEMENT
Setiap 2 Mei, bangsa ini rutin memperingati Hari Pendidikan Nasional. Sebuah momentum reflektif yang seharusnya menjadi titik tolak evaluasi: sudahkah pendidikan kita menjawab kebutuhan zaman, terutama dalam menyiapkan generasi muda menghadapi dunia kerja? Sayangnya, jawaban dari pertanyaan itu belum sepenuhnya menggembirakan.
Salah satu ironi paling nyata hari ini adalah syarat “pengalaman kerja” yang dibebankan kepada para lulusan baru. Banyak lowongan pekerjaan mensyaratkan 1–2 tahun pengalaman, bahkan untuk posisi entry level. Lalu bagaimana nasib para fresh graduate? Mereka terjebak dalam lingkaran setan: tidak bisa bekerja karena belum berpengalaman, dan tidak bisa berpengalaman karena belum bekerja.
Fenomena ini menyingkap jurang besar antara dunia pendidikan dan kebutuhan dunia kerja. Lulusan perguruan tinggi dibentuk dengan segudang teori, tetapi minim keterampilan praktis yang relevan di lapangan. Perusahaan pun cenderung mencari pekerja “siap pakai” karena tak ingin mengeluarkan waktu dan biaya tambahan untuk pelatihan.
ADVERTISEMENT
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2024 mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 4,91 persen. Di balik angka tersebut, kelompok pengangguran terdidik terutama lulusan diploma dan sarjana masih mendominasi. Laporan Rencana Tenaga Kerja Nasional (RTKN) 2025–2029 dari Kemnaker bahkan menyoroti pentingnya menyesuaikan kurikulum dan pelatihan dengan kebutuhan industri yang terus berubah.
Momentum Hari Pendidikan Nasional seharusnya tidak hanya dirayakan dengan seremoni. Ini adalah panggilan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk mengevaluasi sistem pendidikan secara mendasar. Pendidikan harus menciptakan pengalaman bukan sekadar ijazah. Praktik magang, kolaborasi kampus-dunia usaha, hingga pengembangan soft skills harus diintegrasikan ke dalam kurikulum sejak dini.
Kita tidak bisa terus membiarkan lulusan baru menanggung beban sistem yang gagal menyiapkan mereka. Syarat pengalaman yang memberatkan adalah cermin kegagalan institusi pendidikan dalam merespons kebutuhan nyata lapangan kerja.
ADVERTISEMENT
Hari Pendidikan Nasional harus menjadi titik balik bukan hanya mengenang Ki Hadjar Dewantara, tetapi juga mewujudkan cita-cita beliau: pendidikan yang memerdekakan, membekali, dan memampukan anak bangsa menghadapi dunia dengan percaya diri, bukan dengan kebingungan karena tuntutan yang tak masuk akal.