ACTA: Penggunaan Istilah Persekusi Berlebihan

5 Juni 2017 18:24 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Konpers ACTA (Foto: Iqra Ardini/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konpers ACTA (Foto: Iqra Ardini/kumparan)
Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) menyebut pemakaian kata persekusi sebagai respons atas penghinaan ulama selama ini terlalu berlebihan. Terlebih jika persekusi dikaitkan dalam kasus penghinaan ulama, seperti yang melibatkan dokter Fiera Lovita dan Mario Putra.
ADVERTISEMENT
Pembina ACTA, Habiburahman, menilai persekusi lebih tepat disematkan pada kasus yang amat besar yang menyangkut kejahatan kemanusiaan.
Dia mencontohkan persekusi tepat jika disandangkan pada kasus Wakil Presiden Kenya, Samuel Ruto, yang dinilai bertanggungjawab melakukan perburuan etnis Kikuyu, Kamba dan Kisii. Ketiga etnis tersebut diburu karena dianggap mendukung lawan politiknya.
"Di International Criminal Court (ICC) kasus yang disidangkan ngeri sekali. Itu ada satu orang yang diburu, digeruduk, bukan karena posting di media sosial. Tapi karena latar suku etnis dan yang melakukan itu sistematis," kata Habiburrahman saat jumpa pers di Hotel Ibis, Jakarta Pusat, Senin (5/6).
Sedangkan untuk kasus persekusi yang terjadi di Solok, Sumatera Barat dan Cipinang, Jakarta Timur lebih tepat disebut penyerbuan atau penggerudukan. "Menurut saya apa yang terjadi itu disebut penggerudukanlah, jangan persekusi, dan itu tak timbul dengan sendirinya," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Senada dengan itu, Wakil Ketua ACTA, Ali Lubis, juga menyebut penggunaan istilah persekusi tidak tepat. Tindakan ormas kepada remaja bernama Mario di Jakarta Timur itu masih tergolong kejahatan biasa. Ali meminta ke depan seluruh pihak untuk tidak lagi menggunakan istilah persekusi.
"Penggunaan nama persekusi ini sangat berlebihan. Kami minta pejabat instansi terkait jangan menggunakan istilah seolah kondisi Jakarta kacau terjadi luar biasa padahal itu cuma kejahatan biasa," kata dia.