Konten dari Pengguna

Meniti Jalan Tanpa Tujuan

Jody jeremi hadrian ritonga
Mahasiswa UNAI penikmat buku yang menjadikan literasi sebagai pelarian dan teman setia. Menulis untuk meredakan pikiran, merekam cerita, serta mendokumentasikan ide sebagai bekal di masa depan. Dengan kata, menjelajahi dunia dan merangkai makna dari
21 Januari 2025 18:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jody jeremi hadrian ritonga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pria berjalan di sepanjang jalan yang sepi di desa Santo Stefano di Sessanio, Italia, 24 Februari 2022. Foto: Antonio Denti/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pria berjalan di sepanjang jalan yang sepi di desa Santo Stefano di Sessanio, Italia, 24 Februari 2022. Foto: Antonio Denti/REUTERS
ADVERTISEMENT
Lahir, sekolah, kerja, menikah, mati. Jalur ini seolah sudah digariskan bagaikan jalan tol menuju hidup yang bahagia dan normal. Seperti manusia yang menerima cuma-cuma keberadaan gravitasi di Bumi, banyak orang percaya bahwa rute ini adalah keharusan bagi setiap insan.
ADVERTISEMENT
Namun, jika kita mau melihat lebih dalam, jalur ini tidak selalu seindah kelihatannya. Kasus kekerasan dalam rumah tangga, anak-anak telantar akibat kemiskinan, semua itu menunjukkan bahwa tidak semua orang cocok untuk berjalan di jalur yang disebut 'normal' ini.
Lantas, mengapa orang begitu takut ketika hidupnya tidak mengikuti jalur itu?
Mengapa banyak yang menganggap satu-satunya hidup ideal adalah dengan melalui proses tersebut. Layaknya rantai yang mengikat seorang budak, jalan hidup itu telah terpatri kuat dalam benak kita.
Apa yang membuat kita begitu sulit melepaskan diri dan keluar dari jalur itu?
Foto oleh Tobias Bjørkli: https://www.pexels.com/id-id/foto/mata-orang-3022016/
Hidup melalui jalur itu memang terasa nyaman. Ada unsur kepastian dan rasa aman yang membuatnya begitu menggoda. Bagi banyak orang, inilah definisi hidup yang sempurna tanpa risiko besar, tanpa ketidakpastian yang menakutkan.
ADVERTISEMENT
Bagus untuk kalian, jika kehidupan seperti itu membawa kebahagiaan. Namun, bagi sebagian orang, hidup di jalur itu terasa seperti penjara tertata rapi, tetapi tanpa ruang untuk bermimpi. Kenyamanan ini sering kali menjadi jebakan.
Kita terjebak dalam rutinitas yang membius, hingga lupa bertanya pada diri sendiri: Apakah ini benar-benar jalan yang kita inginkan?
Apakah rasa aman itu sebanding dengan mimpi dan kebebasan yang harus kita korbankan. Lalu jalur ini mungkin menawarkan stabilitas, tapi apakah stabilitas itu selalu setara dengan kebahagiaan?
Foto oleh Elias Tigiser: https://www.pexels.com/id-id/foto/pohon-rumput-berkabut-kabut-5811486/
Dalam buku Pathless Path karya Paul Millerd, konsep 'Pathless Path' menawarkan alternatif dari jalur tradisional yang konvensional. Paul mengajak kita untuk melepaskan diri dari keharusan mengikuti jalur yang sudah ditentukan atau blueprint yang kaku.
ADVERTISEMENT
Kita tidak perlu mengikat diri pada rantai atau berlabuh di pulau yang sebenarnya tidak kita inginkan. Sebaliknya, kita diajak untuk berjalan tanpa peta, mendayung tanpa arah yang pasti, sambil mencari apa yang benar-benar bermakna dalam hidup.
Dengan keberanian untuk menghadapi ketidakpastian, konsep ini menekankan bahwa hidup tidak selalu membutuhkan rencana yang sempurna, melainkan keberanian untuk menjalani perjalanan dengan cara kita sendiri.
Paul mengajak kita untuk segera keluar dari jalur yang bukan milik kita. Mungkin saat ini kita menjalani pekerjaan yang kita tahu dalam hati tidak mencerminkan siapa diri kita sebenarnya. Kita merasa tidak nyaman dengan gaya hidup ini, namun tetap bertahan karena keyakinan bahwa 'Semua akan indah pada waktunya.'
ADVERTISEMENT
Namun, ada kutipan dari buku ini yang menyentuh realitas tersebut:
Kalau diterjemahkan, 'Semakin lama kita bertahan di jalur yang salah, semakin sulit dan jauh kita dari jalan hidup yang benar-benar selaras dengan diri kita.'
Konsep ini serupa dengan apa yang dikenal dalam ekonomi sebagai sunk cost fallacy. Yakni ketika kita sudah menginvestasikan waktu, energi, atau sumber daya pada sesuatu meskipun kita tahu itu bukan yang terbaik, kita cenderung terus bertahan karena enggan melepaskan apa yang sudah kita korbankan
Foto oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/koin-perak-dan-emas-128867/
Lantas, apakah itu berarti kalian harus langsung meninggalkan karier atau pendidikan saat ini?
Tentu tidak seekstrem itu. Hal yang perlu dipahami adalah kalian tidak harus mengikuti jalan hidup orang lain. Pathless Path pada intinya meminta kita belajar menikmati arah hidup yang tidak selalu jelas dan penuh ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
Cobalah hal-hal yang selama ini ingin kalian lakukan, tetapi selalu tertahan karena perasaan takut atau tekanan sosial. Misalnya, jika kalian bermimpi membuka usaha kecil seperti kedai kopi sederhana, tetapi terhalang oleh anggapan bahwa pekerjaan “bergengsi” lebih layak, kini saatnya untuk memberanikan diri.
Mungkin juga jika seni selalu menjadi panggilan hati kalian, melukis, menulis, atau bermain musik meskipun sering dianggap tidak praktis, ambillah langkah pertama menuju kebebasan berekspresi itu.
Belajar menerima ketidakpastian dalam hidup. Meski terdengar kontradiktif, justru dapat membawa kebahagiaan yang lebih nyata.
Ketika kalian berhenti terbelenggu oleh ekspektasi dan menerima bahwa hidup tidak selalu memiliki rencana yang pasti, hati dan jiwa kalian akhirnya bisa bernapas lega. Bebas mengekspresikan diri tanpa harus memikirkan penilaian orang lain. Di sanalah kebahagiaan sejati mulai muncul.
Foto oleh Joey Kyber: https://www.pexels.com/id-id/foto/fokus-selektif-dari-rantai-selama-golden-hour-119562/
Dan untuk para Gen Z yang, seperti saya yang merasakan keresahan ini, mari kita kembali mengingat jati diri manusia sejak zaman Paleolitikum. Menjadi makhluk yang hidup tanpa peta.
ADVERTISEMENT
Nenek moyang kita terbiasa meniti jalan tanpa arah. Mereka menghadapi ancaman, menemukan tempat tinggal, mencari sumber makanan, dan terus beradaptasi dengan lingkungan yang tidak pasti.
Kehidupan seperti itulah yang harus kita terima. Belajarlah untuk merasa tidak apa-apa ketika kehilangan arah, karena kehilangan arah tidak sama dengan kehilangan kehidupan. Kehilangan arah adalah panggilan dari dunia untuk mengeksplorasi, menjelajahi, dan menemukan sesuatu yang benar-benar cocok dengan hati kita sesuatu yang membuat kita merasa hidup dan bersemangat untuk dikerjakan.
Di tengah ketidakpastian itulah, kita berpeluang menemukan kebebasan sejati dan makna hidup yang sebenarnya. Jadi, jangan takut melangkah keluar dari jalur yang belum dijelajahi oleh orang.