Konten dari Pengguna

Toxic Positivity

Johanna Aprillia
Politeknik Negeri Jakarta - Jurnalistik
8 Oktober 2020 18:22 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Johanna Aprillia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
sumber : Pinterest
Beberapa orang yang mengalami toxic positivity akan mengacuhkan emosi negatif seperti perasaan sedih, marah dan kekecewaan, lalu menutupinya dengan pemikiran positif. Padahal emosi negatif tersebut merupakan hal yang wajar dan sangat manusiawi untuk dialami. Karena, emosi itu berperan untuk menimbulkan kesadaran atas kondisi yang sedang dirasakan.
ADVERTISEMENT
Ketika seseorang menghindari emosi negatif yang ada dalam dirinya, maka ia akan membuat emosi itu menjadi lebih besar. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan pemikiran bahwa manusia kuat tidak boleh menangis. Mengapa demikian? Karena faktanya, menekan atau menghindari emosi negatif yang ada di dalam diri dan hanya berfokus pada emosi positif akan membuat Anda semakin tidak bisa menerima keadaan yang telah terjadi.
Toxic positivity berbahaya
Menurut tulisan Wood, dkk yang dimuat dalam jurnal Psyhcological Science ditemukan fakta bahwa kata-kata positif juga dapat memberikan dampak negatif. Mereka mengatakan jika seseorang terus berfokus mencari penyangkalan dari hal negatif dari dalam diri, hanya akan membuat perasaannya semakin buruk. Berikut terdapat tiga alasan toxic positivity dapat dikatakan berbahaya, diantaranya :
ADVERTISEMENT
1. Menyangkal emosi negatif
Menurut, jurnal psikologi, semua emosi baik positif dan negatif memiliki tanda bagi diri. Perasaan negatif mengartikan bahwa ketidakcukupan diri dalam meraih target. Maka dari itu hanya akan menimbulkan kepura-puraan dan bersikap seolah baik-baik saja.
2. Merasa seperti orang lemah dan bersalah
Seseorang yang sering menerima toxic positivity hanya akan menganggap dirinya lemah karena tidak dapat berpikir positif dan akan merasa sangat bersalah pernah berpikiran negatif. Tentunya hal seperti ini hanya akan memperburuk kondisi psikologisnya.
3. Menurunnya rasa bertoleransi dan empati
Profesor psikologi dari Bowdoin College, AS, Barbara Held menyatakan bahwa masih rendahnya budaya toleransi terhadap seseorang yang tidak bisa tersenyum dan melihat kepada sisi yang cerah dalam menghadapi kesulitan. Pudarnya toleransi otomatis membuat rasa empati semakin berkurang.
ADVERTISEMENT
Menghindari toxic positivity
Ketika berhadapan dengan seseorang yang sedang menceritakan masalahnya, alih-alih merespon dengan nasihat atau dorongan untuk berpikir positif, lebih baik mendengarkan dan mencoba untuk memahami tanpa harus melakukan judgemental. Berikanlah kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan segala emosi sampai emosi tersebut mereda.
Susan David yang merupakan salah satu pembicara di TedTalks pernah membahas tentang emotional agility. Baginya, emosi tidak bisa dilihat secara kaku, sehingga membuat seseorang harus berpikiran positif dan menghindari emosi negatif. Hal terbaik yang bisa dilakukan jika merasakan emosi negatif adalah cukup dengan menerimanya. Karena, segala emosi positif maupun negatif yang dirasakan adalah hal yang natural untuk dialami.
Hadapilah emosi negatif tersebut dengan cara yang sehat. Terkadang emosi juga berperan untuk memberikan kesadaran dan menutun Anda untuk menjadi lebih baik. Hanya dengan mengakui dan menerima, maka membuat Anda dapat jujur serta menghadapinya dengan realitas. Tidak selalu hal yang positif adalah baik.
ADVERTISEMENT