Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Jalan Terjal Pupuk Bersubsidi
19 September 2023 15:45 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Joko Ade Nursiyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sektor pertanian Indonesia masih menemui jalan terjal. Selain digerakkan tenaga kerja rata-rata berusia tua, sektor ini juga masih dihadapkan masalah pupuk bersubsidi.
ADVERTISEMENT
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, sektor pertanian dihuni sekitar 91 persen petani berusia di atas 40 tahun. Diketahui, mayoritas dari mereka hanya menamatkan bangku SD ke bawah. Maka tidak mengherankan, bila sentuhan teknologi yang melapisi sistem pembelian pupuk bersubsidi belum seimbang dengan kemampuan petani.
Hampir satu dekade pelaksanaan, permasalahan yang dihadapi petani perihal pupuk bersubsidi masih sama. Selain kelangkaan yang menyebabkan harga pupuk bersubsidi melangit, pengawasan yang masih lemah, prosedur untuk menebus pupuk bersubsidi dinilai menyulitkan.
Hal ini terlihat dari sejumlah syarat untuk bisa memperoleh pupuk bersubsidi. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian menyebutkan, syarat untuk memperoleh pupuk bersubsidi di Indonesia selain wajib menjadi anggota kelompok tani, memiliki Rancangan Definitif Kebutuhan Kelompok elektronik (e-RDKK), dan Kartu Tanda Penduduk (KTP), petani juga harus mempunyai kartu tani sebagai alat pembayaran serta penyaluran kredit perbankan yang ditunjuk pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sekilas persyaratan tersebut terlihat mudah. Namun kenyataannya perlu dikaji ulang. Diketahui, rentetan proses agar pupuk bersubsidi sampai di tangan petani masih terlalu panjang.
Setidaknya ada lima proses agar pupuk bersubsidi sampai di tangan petani. Dimulai dari lini (gate) pertama, yakni area produksi pupuk. Kemudian masuk ke lini kedua, yang merupakan area pengepakan serta penyimpanan. Dilanjutkan pada lini ketiga, yaitu pendistribusian ke distributor. Berikutnya, pupuk bersubsidi disalurkan ke pengecer pada level kecamatan atau kios-kios pupuk di desa. Barulah kemudian sampai ke petani.
Selain memakan waktu lama untuk menjangkau petani, gaya penyaluran pupuk yang demikian juga rawan diselewengkan. Belum lama ini kasus penyelewengan pupuk bersubsidi terjadi di sejumlah wilayah.
Di Pandeglang misalnya. Terdapat sebanyak 25 ton pupuk bersubsidi berjenis NPK dan urea akan diselundupkan ke Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Temuan itu juga mengungkap ada sebanyak 38 ton pupuk bersubsidi berhasil diselundupkan dalam tiga tahap.
ADVERTISEMENT
Panjangnya tahapan penyaluran pupuk bersubsidi juga memicu munculnya pengais rente ekonomi. Maka tidak mengagetkan bila harga faktual di level petani banyak ditemukan kejanggalan dan ketimpangan.
Buntutnya, petani belum sepenuhnya menikmati pupuk bersubsidi. Penggunaan kartu tani yang selama ini hadir dengan sentuhan teknologi cenderung terbengkalai. Bila kondisi ini dibiarkan, bukan tak mungkin, lima atau sepuluh tahun ke depan, sektor pertanian berada dalam malapetaka.
Perbaikan Menyeluruh
Masalah ketimpangan harga dan sengkarut pemanfaatan kartu tani sebenarnya dapat diatasi. Perbaikan dimulai dengan melakukan pembaruan (updating) data penerima manfaat kartu tani secara berkala. Keaktualan data penerima manfaat kartu tani akan menjamin efektivitas penyaluran pupuk bersubsidi.
Manfaat lainnya, pemerintah bisa memantau perubahan penerima manfaat kartu tani. Alih fungsi profesi di sektor pertanian pun juga terlihat.
ADVERTISEMENT
Penyaluran pupuk bersubsidi yang ditunaikan pemerintah diharapkan mampu menakar perubahan jenis dan jumlah komoditas petani, baik temporer maupun permanen.
Di samping itu, kartu tani juga perlu dilengkapi regulasi penggunaan yang fleksibel. Langkah ini untuk menjangkau para petani yang menggarap lahan tidak tetap, serta mereka yang hendak berpindah bank penyedia layanan kartu tani.
Fleksibilitas penggunaan kartu tani juga perlu didukung pendampingan petani. Dengan menyusun petunjuk teknis sederhana dan ringkas serta penyuluhan yang intens, petani yang berusia tua pun akan mampu menebus pupuknya dengan mudah.
Teknologi yang dihadirkan dalam setiap lini penyaluran pupuk bersubsidi bukan sekadar ada, melainkan demi memberantas penyelewengan. Kehadiran Distribution Planning and Control System (DPCS) patut diacungi jempol, meski penerapannya jauh panggang dari api. Kalau dikatakan mampu memantau mobilitas stok pupuk bersubsidi, seberapa yakin sistem pelaporan terbebas dari manipulasi data?
ADVERTISEMENT
Selain itu, DPCS sepertinya belum mengakomodir laporan balik (feedback) dari petani sebagai penerima pupuk bersubsidi. Tanpa adanya perbaikan, tidak mengherankan bila kejadian seperti di Pandeglang akan terus berulang.
Di satu sisi, rantai distribusi yang panjang tentu menimbulkan biaya transportasi yang besar. Efek sampingnya, biaya transportasi akan mendesak harga pupuk bersubsidi saat ditebus petani semakin mahal.
Arahnya mudah ditebak, mahalnya harga pupuk menyebabkan pengeluaran bertani membengkak. Hal itu tecermin dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang dirilis BPS setiap bulannya. Sepanjang 2022 hingga Agustus 2023, NTP bergeming di kisaran 109. Daya tawar petani yang tergambar dari Indeks harga yang Diterima (It) tercatat sebesar 124. Sedangkan Indeks harga yang Dibayarkan (Ib) hanya mencapai 114. Artinya, subsidi pupuk yang digelontorkan pemerintah sejauh ini belum sepenuhnya menekan ongkos bertani.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, rantai penyaluran pupuk bersubsidi yang panjang memberi angin segar kepada sejumlah oknum penikmat nilai tambah ekonomi. Untuk itu, selain memakai skema penyaluran ringkas dan pengawasan stok pupuk bersubsidi di setiap jalur (Quality Gates), pemerintah juga perlu bermitra dan mengoptimalkan peran BUMN dalam proses distribusi pupuk bersubsidi, seperti jasa kirim pos.
Perbaikan menyeluruh ini pastinya tidak bisa ditunaikan secara terpisah atau ala kadarnya. Peningkatan intensitas pembinaan kartu tani, memangkas rantai distribusi pupuk bersubsidi dibarengi sistem pengawasan terpadu masih perlu dieksekusi dengan serius.
Karena tanpa keseriusan, ujung-ujungnya petanilah yang menjadi korban. Akankah kesejahteraan yang selama ini mereka gadaikan harus diperparah dengan polemik pupuk bersubsidi yang masih dibiarkan?