Warisan Imajinasi Romo Mangunwijaya

Joko Priyono
Fisikawan Partikelir. Mengelola Penerbitan di Buku Revolusi. Menulis Buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan.
Konten dari Pengguna
6 Mei 2022 16:23 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Joko Priyono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Romo Mangunwijaya. Sumber gambar: Wikipedia.
zoom-in-whitePerbesar
Romo Mangunwijaya. Sumber gambar: Wikipedia.
ADVERTISEMENT
“Manusia Indonesia semakin belajar berpikir, bercita rasa, berargumentasi, dan mencipta dalam suasana jiwa yang semakin pluriform, multidimensional, dan dalam gerak yang dialektis dan dialogis.” Pernyataan itu kita temukan dalam sebuah makalah yang ditulis oleh Romo Mangunwijaya berjudul Realitas Pasca-Indonesia dan Pasca-Einstein. Makalah itu merupakan materi yang disampaikannya di Kongres Kebudayaan Indonesia yang dihelat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 29 Oktober-3 November 1991.
ADVERTISEMENT
Para pembaca diajak berpikir jauh dan panjang akan Indonesia dalam tiga dimensi: masa lalu, sekarang, dan masa depan. Dua kata termaktub berupa Indonesia dan Einstein tentu saja menarik untuk ditelisik akan makna tersirat yang hendak disampaikannya. Tulisan itu akan dikenang bagi publik bersama tulisan lainnya dalam buku Pasca-Indonesia Pasca-Einstein diterbitkan Kanisius pada Maret 1999 untuk mengenang sosok yang lahir pada 6 Mei 1929 silam itu.
Sosok Einstein diutarakan tentu tak terlepas kiprahnya di dunia ilmu pengetahuan. Ia menjadi tonggak berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya di fisika modern. Sematan pada dia sebagai pionir dalam zaman Big Science. Ia mengilhami perkembangan kosmologi, fisika kuantum, dan pencarian asal-usul alam semesta. Daya pengaruh itu agaknya hendak dimaksudkan oleh Romo Mangun dalam membaca lanskap perkembangan peradaban di Indonesia. Kendati ia harus jujur menyampaikan realitas yang sedang dialami bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Pernyataannya dalam bagian pengantar buku itu setidaknya menggambarkan perbedaan generasi dalam beberapa zaman. Salah satu masalah mendasar tersorot berupa rasa minder. Di bagian pengantarnya, ia menulis: “Rasa minder tersebut di kalangan para pemuka Generasi 1928 dapat dikatakan tidak ada, tetapi di kalangan Generasi 1945 dan 1965 semakin tebal dan mencolok. Akibatnya rasa sensitif yang berlebih-lebihan begitu mudahnya menyalakan emosi.”
Menggagas Masa Depan
Nasib sebuah peradaban ditentukan oleh banyak aspek. Salah satu hal diketengahkan oleh Romo Mangun pada persoalan pendidikan sebagai tulang punggung dalam mempersiapkan sebuah generasi. Pikiran mendasar mengenai pendidikan di Indonesia, baginya masih terjerembab pada pola yang tidak mengajarkan anak didik untuk berpikir, eksploratif, dan kreatif. Ia menegaskan: “Seluruh suasana dan gaya persekolahan adalah penghafalan tanpa memadai, taat pada komando, sedangkan bertanya apalagi berpikir kritis praktis adalah tabu.”
ADVERTISEMENT
Daya dobrak dalam mengggas kesadaran akan Indonesia terhadap sains dn teknologi tak terlepas juga upayanya bersama dengan Yayasan Obor Indonesia menerbitkan dua jilid buku berjudul Teknologi dan Dampak Kebudayaan pada tahun 1983. Nama demi nama pakar baik itu dari dalam negeri maupun luar negeri dihadirkan olehnya sebagai editor dalam membuka tabir demi tabir akan dialog dunia sains dan teknologi dalam derap perjalanan peradaban.
Sampul buku Pasca-Indonesia Pasca-Einstein. Semula buku didedikasikan untuk 70 tahun Romo Mangun Wijaya pada 6 Mei 1999, namun ia wafat di 10 Februari pada tahun yang sama.
Buku untuk Mengantar
Ada catatan penting dalam penerbitan buku tersebut. Mulanya dipersiapkan dalam menyambut usia 70 tahun Romo Mangun. Tak ayal, pengantar darinya telah disusun di tahun sebelumnya. Namun, takdir berkata lain, sebelum menginjak usia tersebut, ia telah tiada, tepatnya pada 10 Februari 1999. Dunia perbukuan mengisahkan akan maksud persembahan dalam usia seorang tokoh ternama yang telah banyak menyumbangkan gagasan dan pikirannya pada khalayak.
ADVERTISEMENT
Buku juga menjadi sarana mengantar generasi dalam menapaki zaman yang dihadapinya. Tulisan menjadi sarana untuk membuka dialog atas berbagai realitas yang terpandang. Buku sejenis, kita temukan dalam momentum persembahan 70 Tahun Sutan Takdir Alisjahbana (STA), dengan judul Perubahan, Pembaruan dan Kesadaran Menghadapi Abad Ke 21 (Dian Rakyat, 1998). Sosok tersebut menjadi perhatian Romo Mangun.
Pengakuan itu terdapat dalam tulisan berjudul Kedatangan Ilmu Eksperimental dan Teknologi di Indonesia. Menurutnya, STA pada zamannya kerap dipandang banyak orang dengan cap kebarat-baratan. Pandangan itu menjadikan Romo Mangun membuka kesadaran akan persoalan dikotomi harusnya sudah selesai. Justru yang diperlukan adalah pemahaman sekuler sebagaimana menjadikan Barat maju dalam urusan sains dan teknologi. Sekuler dimaksudkan olehnya: jiwa yang mendewasakan diri.
ADVERTISEMENT
Kita tertegun dengan pernyataannya yang tentu saja memliki relevansi dalam situasi zaman ini. Pernyataan dengan nada tegas tersebut berupa: “Jika bangsa kita tidak mau masuk ke dalam alam penghayatan sekuler (sekali lagi: lain dari sekulerisme!), maka bangsa kita tetap akan mengurung diri dalam dunia magis-mistik-mitologis dan dunia perasaan like-or-dislike belaka, yang mustahil mengokulasikan diri pada batang dunia sains dan teknologi.”
Imajinasi Romo Mangun perlu terus menjadi refleksi dengan tilikan mendalam guna membaca Indonesia menyeluruh. Einstein terkenang dengan ungkapannya, ”imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.” Romo Mangun mengimajinasikan Indonesia, entah cepat dan lambat akan terjadi. Berbeda dengan Einstein, imajinasi yang dimaksudkan terkoneksi juga dengan pengetahuan bangsa, bagaimana terbentuknya kesadaran terhadap ilmu pengetahuan, budaya ilmiah, dan pikiran kritis tiap generasi.[]
ADVERTISEMENT