Krisis Bongbong-Duterte: Bab Baru Kekacauan Politik FIlipina

Jonathan Jordan
Research Fellow for Area Studies, Indonesian Institute of Advanced International Studies (INADIS) Lulusan S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia Peminat kajian Rusia, Eropa Timur dan Eurasia serta diplomasi olahraga
Konten dari Pengguna
31 Januari 2024 17:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Jonathan Jordan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bendera Filipina (Sumber: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bendera Filipina (Sumber: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Jagat politik negara tetangga, Filipina, dihebohkan dengan pernyataan mantan presidennya, Rodrigo Duterte, yang mengkritik tajam presiden saat ini, Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr. karena dianggap ingin mengubah konstitusi agar memungkinkannya berkuasa lebih dari satu periode sesuai konstitusi Filipina. Duterte juga menyebut Bongbong sebagai ‘pecandu narkoba’ sehingga pemikirannya sudah tidak waras.
ADVERTISEMENT
Memburuknya hubungan Bongbong dan Duterte menjadi isu yang membawa ketidakpastian pada arah politik negara ini. Hal ini mengingat naiknya Bongbong sebagai presiden Filipina tidak lepas dari dukungan presiden sebelumnya, Rodrigo Duterte, yang mencalonkan putrinya, Sara, sebagai wakil Bongbong.
Duet Bongbong Marcos-Sara Duterte merupakan penggabungan dua kekuatan politik yang ada di Filipina, dengan Bongbong merupakan putra mantan presiden Filipina tahun 1965-1986, Ferdinand Marcos, sedangkan Sara adalah putri Rodrigo Duterte, pemimpin populis yang memenangkan pilpres Filipina pada 2016.
Namun, hubungan kubu Bongbong dan Duterte agak merenggang akhir-akhir ini karena ambisi politik masing-masing; Bongbong ingin berkuasa lebih dari satu periode, meskipun konstitusi Filipina melarang hal tersebut, sedangkan Duterte berharap tetap dapat mempunyai kekuasaan dengan pencalonan putrinya sebagai presiden kelak.
ADVERTISEMENT
Drama Bongbong dan Duterte merupakan jalan terjal perpolitikan Filipina yang sudah mengalami banyak tantangan selama beberapa dekade. Filipina merupakan negara kepulauan di Asia Tenggara yang memiliki budaya Latino yang kuat, karena pernah dijajah Spanyol selama berabad-abad. Akibatnya, masalah politik ala Amerika Latin seperti kekerasan politik, KKN, dan masalah sosial lainnya kerap terjadi di negara ini.
Pada paruh kedua abad ke-20, politik Filipina didominasi sosok Ferdinand Marcos, yang berkuasa selama 21 tahun (1965-86). Rezim Marcos merupakan salah satu rezim terkorup sepanjang sejarah dan ditandai juga dengan represi politik, termasuk pembunuhan tokoh oposisi Benigno ‘Ninoy’ Aquino pada 1983. Di tahun yang sama, Bongbong yang masih berusia 26 tahun ditempatkan Marcos sebagai gubernur provinsi Ilocos Norte.
ADVERTISEMENT
Namun, kekuasaan Marcos berakhir pada 1986 setelah pemilu curang ketika Marcos mengumumkan kemenangan melawan istri mendiang Aquino, Corazon ‘Cory’ Aquino. Namun, rakyat Filipina turun ke ibu kota Manila meminta penghitungan suara adil, dan akhirnya Cory Aquino terpilih sebagai presiden, sedangkan Marcos dan keluarganya, termasuk Bongbong, kabur ke Amerika Serikat.
Menangnya Aquino diharapkan mengubah Filipina ke demokrasi dan pembangunan yang lebih baik. Namun, angin segar demokrasi perlahan pudar karena presiden setelahnya, Fidel Ramos dan Joseph Estrada, mewariskan rezim yang korup dengan segudang permasalahan politik.
Sekalipun upaya perbaikan kualitas pemerintahan sempat tampak di dua presiden selanjutnya, Gloria Macapagal-Arroyo dan Benigno ‘Noynoy’ Aquino III (putra Benigno dan Cory Aquino), namun segudang permasalahan sosial masih merajalela di Filipina, seperti angka kriminalitas yang jauh melebihi rerata Asia Tenggara dan ketimpangan ekonomi yang besar antara ibu kota, Manila, dengan wilayah-wilayah lain.
ADVERTISEMENT
Arah baru dalam politik Filipina muncul pada 2016, ketika pemimpin populis Rodrigo Duterte terpilih menjadi presiden. Terkenal dengan gayanya yang eksentris, di satu sisi Duterte dikritik karena ‘perang narkoba’ yang dianggap sebagai bentuk justifikasi penghabisan lawan politik dan sering berbicara kasar di depan umum, namun di sisi lain Duterte dipuji karena dianggap setidaknya bisa ‘merapikan’ beberapa masalah sosial, KKN dan kriminalitas yang ada di negara tersebut.
Setelah masa jabatan Duterte habis pada 2022, Duterte membawa putrinya sebagai cawapres pendamping Bongbong Marcos, dan akhirnya memenangkan hampir 60% suara mengalahkan kandidat lainnya seperti wapresnya sendiri Leni Robredo dan petinju berprestasi Manny Pacquiao. Dalam strateginya, kemenangan Bongbong dan berkuasanya kembali klan Marcos dilihat sebagai bentuk hasil kampanye efektif dengan menggaet pemilih muda yang tidak mengalami era Ferdinand Marcos, serta mengandalkan popularitas Duterte yang mencalonkan putrinya sebagai wapres.
ADVERTISEMENT
Mengapa ‘kekompakan’ Bongbong-Duterte kini bisa renggang dapat dilihat sebagai persaingan antara dua kekuatan politik besar yang terjadi ketika ‘kerja sama’ sudah dianggap tidak bermanfaat lagi. Di perpolitikan Asia Tenggara yang terlihat dengan kekuatan kelompok ‘figur kharismatik’ ketimbang spektrum ideologis tertentu, hal ini sejatinya sudah menjadi fenomena yang umum.
Contohnya, di Malaysia, Mahathir Muhammad yang kembali berkuasa pada 2018 dapat menang karena dukungan Anwar Ibrahim, bekas rivalnya. Namun, hubungan Mahathir-Anwar retak lagi dua tahun kemudian.
Krisis politik yang terjadi di Filipina menjadi bentuk refleksi atas masalah perpolitikan Asia Tenggara, di mana ego sektoral dan individu bermain sangat kuat ketimbang spektrum ideologis yang jelas. Bagaimana perpolitikan Indonesia pasca 2024, apakah akan mengalami tantangan yang sama, harus dilihat secara bijak oleh pemilih kita.
ADVERTISEMENT