Aku Masih Tersangkut di Bali

Judith Aura Tiara
Diari virtual plus lapak penulisan kreatif Judith, alumnus Sastra Inggris Universitas Padjadjaran dan reporter di kumparanWOMAN.
Konten dari Pengguna
4 Februari 2021 11:15 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Judith Aura Tiara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini dibuat untuk menyuapi rasa kangenku dengan Bali, sekaligus mengenang kunjungan terakhirku ke Bali dua tahun lalu, setahun sebelum pandemi.
Sunset di Pantai Kuta, Februari 2019. Foto: Dok. Judith Aura Tiara
Untuk seseorang yang baru tiga kali mengunjungi Bali, dengan rentang waktu yang jauh di sela-sela tiap kunjungannya, aneh rasanya bisa merasa se-'terikat' ini dengan Pulau Dewata. Setiap kunjungan hanya berlangsung sekitar satu minggu, namun, kenangannya panjang umur hingga bertahun-tahun. Mungkin karena Apa (panggilanku untuk almarhum Bapakku) secinta itu dengan Bali, sehingga aku pun secara tidak sadar ikut terikat?
ADVERTISEMENT
Atau mungkin karisma Bali itu sendiri tidak terelakkan? Atau memang karena memori yang kuciptakan di sana begitu menyenangkan?

Pertama

Serangkaian kunjunganku ke Pulau Dewata dimulai pada tahun 2004. Aku masih kecil seperti piyik; berusia baru lima tahun, tapi ingatanku akan kunjungan tersebut masih lekat dengan kuat, bahkan setelah hampir 17 tahun lamanya. Bangun di pagi hari dan langsung berlari dengan semangat menuju Pantai Kuta, menggali-gali pasir pantai menjadi parit kecil dan menunggu ombak mengisinya sampai penuh, berenang di kolam renang bersama kedua abangku. Insiden tidak sengaja terkunci di luar kamar hotel, bahkan sampai sakit mata karena terkena debu di restoran—ah, masih menempel lekat sekali di otakku.
Flapjaks Gelato di Kuta, Februari 2019. Foto: Dok. Judith Aura Tiara

Kedua

2007, aku kembali mengunjungi Bali. Kali ini hanya bersama Apa dan kedua abangku, beserta satu teman dekat Apa. Yang membuat perjalanan kali ini berbeda adalah moda transportasinya. Pada 2004 aku menumpangi pesawat, di 2007, kami mengendarai mobil pribadi.
ADVERTISEMENT
Perjalanan memakan waktu dua hingga tiga hari tanpa menginap di hotel sepanjang perjalanan. Ya, hanya istirahat tidur di mobil yang diparkir di pom bensin, tapi serunya terasa sekali. Road trip yang memang benar-benar segalanya on the road. Saat melewati Ngawi, sempat-sempatnya ditakuti oleh Apa kalau aku akan dimasukkan ke ponpes di sana kalau aku nakal.
Kemudian sesampainya di Bali, rutinitas tahun 2004 terulang kembali: bermain di Pantai Kuta (lagi) dan menginap di daerah Kuta (lagi). Yang berbeda dari kunjungan sebelumnya, kami mengunjungi Kintamani yang dingin dan banyak anjing-anjing putih lucu. Satu hal lagi yang membuat kunjungan kali ini berbeda dan jauh berkesan: mobil kami sempat rusak di sana; AC mobil mati, jadi jendela mobil harus dibuka sedikit supaya enggak terpanggang di dalam mobil.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, tidak ada hal yang grand yang kami lakukan selama di Bali. Hal-hal sederhana saja. Kami tidak makan di restoran mewah; hanya makan di warung Surabaya dengan sate telur puyuh dan nasi putih (andalanku), makan pecel yang pedas luar biasa di warung tenda pecel pincuk Madiun, dan makan sate ayam di Tiara Dewata Denpasar.
Tempat wisata yang dikunjungi juga hanya pantai, mal, Kintamani, dan beberapa toko baju di pinggiran jalan Kuta. Tapi, kok, rasanya berkesan sekali, ya? Those memories never fail to bring the widest smile to my face. Bahagia memang sesederhana itu, sebenarnya: menikmati waktu dengan orang-orang terkasih.

Ketiga

Memori indah soal Bali yang kuperoleh dari dua kunjungan di masa kecil itu membuatku kekeuh untuk menabung dan bisa kembali lagi ke Bali. Setelah sekian lama, akhirnya, pada 2019, aku kembali ke Bali. Kali ini, aku mengunjunginya dengan kawan-kawan kuliahku.
ADVERTISEMENT
Berbekal dengan anggaran yang tidak terlalu besar, kami pun mencoba untuk menikmati waktu liburan selama tujuh malam dengan sebaik-baiknya dan sepuas-puasnya. Enggak ada datang ke klub-klub terkenal, minum minuman mahal, atau menginap di hotel bintang lima. Kami hanya menginap di beach inn, lagi-lagi, di daerah Kuta. Makan pun tetap di warung makan pinggir jalan, dan kali ini, sarapan pagi kami selalu di warung nasi jawa. Kadang, kami makan di McDonalds, itu pun pakai bonus voucher gratis kentang goreng. Hehe.
Patung Kepala Garuda Wisnu Kencana, Februari 2019. Foto: Dok. Judith Aura Tiara
Sebelum berangkat, kami memastikan untuk menyusun itinerary supaya waktu kami tidak terbuang sia-sia di sana. Lokasi yang akan dikunjungi sudah diatur sebaik-baiknya demi memanfaatkan waktu dan dana yang tersedia. Pantai Kuta, Melasti, Sanur, dan Pandawa berhasil masuk ke dalam itinerary, sukses juga disambangi.
ADVERTISEMENT
Taman Festival Bali alias Ghost Town di Padang Galak, Garuda Wisnu Kencana, dan Bali Safari Park juga kami singgahi. Kemudian, jalan-jalan di sepanjang Kuta Square sembari window shopping alias enggak beli apa-apa. Beli es krim gelato, kadang yang single scoop, kadang yang double.
Terus juga kesampaian menonton Tari Kecak di GWK. Beli oleh-oleh murah dan bagus di pusat oleh-oleh yang terkenal di Bali. Dan yang paling berkesan: Berkumpul bersama kawan-kawan di malam hari sambil main drinking game 'Never Have I Ever', tapi, minumnya enggak alkohol; melainkan soda yang ditenggak one shot, sampai kembung habis-habisan karena habis sampai tiga botol ukuran 1,5 liter. Hehe. Anggaranku memang tidak besar, tapi rasa puasnya melebihi kapasitas.
Spotted: Tiga kawanku ngaso di Pantai Melasti, Kuta Selatan, Februari 2019. Foto: Dok. Judith Aura Tiara
Hanya satu yang sangat aku sesali, sih. Aku hampir selalu lupa untuk memotret pemandangan. Hampir setiap saat aku terlalu terlena dan keasyikan sendiri menikmati waktu dan suasana, sampai-sampai aku lupa kalau kamera sudah dengan manis tergantung di leher. Untungnya, sesekali teringat untuk memotret juga, meskipun hanya sedikit dan hasilnya sama sekali enggak estetik.
ADVERTISEMENT
Itu pun diambil menggunakan kamera ponsel, jadi, kameraku sukses menganggur selama tujuh hari. Sebagian besar foto yang terpajang dengan indah di berkas komputerku adalah jasa dari temanku yang memang penggiat fotografi; karena dialah, aku jadi memiliki banyak kenangan super estetik yang bisa disimpan dalam bentuk fisik, bukan hanya dalam memori otak semata.
Sebelumnya, aku sudah berencana ingin kembali berkunjung ke Bali di tahun 2020 lalu. Tapi, apa daya. Pandemi merusak semuanya. Aku harus diam di rumah demi menjaga kesehatan seluruh umat (kontribusi memutus rantai penyebaran virus itu menyelamatkan umat manusia, iya kan?) Jadi, aku terpaksa harus mengucapkan "dadah, Bali," di tahun 2020. Tapi, aku harap, tahun ini aku bisa kembali ke Bali. Eh, tunggu pandemi membaik dulu, ketang. Enggak mau maksain.
ADVERTISEMENT
Asli, deh. Rindunya. Ingin rasanya jalan-jalan di pinggir pantai lagi tanpa pakai sandal, merasakan hangat dan lembutnya pasir pantai; kembali berenang di laut saat sedang surut; dihajar sinar matahari Bali yang terik lagi, meskipun menyakitkan dan bikin sunburn.
Memang, tempat yang kukunjungi di Bali bukan tempat yang super terkenal atau keren atau hits. Tapi, memori yang kuciptakan di sana—dari yang paling sederhana dan remeh hingga yang paling wah—justru membuat Bali jadi beribu-ribu kali lebih berharga. Ah, memang benar-benar sudah nyangkut, ya, aku.
Sedikit tambahan dari aku yang pelit saat liburan: untuk yang tertarik berlibur di Bali (habis pandemi, lho, ya!) jangan takut dengan persepsi biaya berlibur di Bali itu pasti mahal. Anggaran secukupnya tetap bisa membuat liburanmu mengesankan, kok. Caranya? Sebelum berlibur, perencanaan anggaran dan itinerary sebaik-baiknya itu hukumnya wajib. Supaya apa? Supaya enggak bablas. Pintar-pintar cari tempat wisata, penyewaan kendaraan, sampai warung makan. Pelajari lokasi sekitar hotel atau penginapan. Liburan tertata, anggaran pun terjaga.
ADVERTISEMENT
Dan yang paling penting: enjoy your time and create memories you know you'll always cherish for a long, long time.
Oke. Tunggu aku, ya, Bali. Habis pandemi.
Aku, temanku, dan mural di bekas Taman Festival Bali (Ghost Town) Padang Galak, Februari 2019. Foto: Dok. Alisha Nurfauziah