Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Film Lokal Bisa Bikin Dunia Jatuh Cinta sama Budaya Indonesia?
14 April 2025 15:19 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Juanpieter Sodakain tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu menonton film luar, terus tiba-tiba jadi penasaran sama budaya asing yang dibawakan di dalamnya? Padahal sebelumnya kita belum tahu banyak, tapi karena filmnya seru dan emosional, jadi terasa “dekat” sama budayanya.
ADVERTISEMENT
Jika pernah, berarti secara tidak langsung kamu pernah menjadi salah satu orang yang terpengaruh dari upaya soft power oleh suatu negara. Jadi pada dasarnya, menggunakan media film sebagai sarana untuk memperkenalkan suatu nilai kebudayaan pada audiens global seperti contoh tadi sejalan dengan konsep yang berasal dari Joseph Nye dalam prinsip yang namanya soft power.
Menurut Joseph Nye, untuk menyebarkan suatu pengaruh negara di negara lain itu tidak harus terus-menerus soal senjata, kekuatan militer, atau kekerasan, cukup lewat budaya, nilai ataupun suatu daya tarik. Dalam artikel ini, pembahasan akan lebih fokus pada bagaimana cara Indonesia menggunakan sarana film-film lokalnya untuk mempromosikan kebudayaannya, yang dalam istilah lain bisa disebut juga dengan diplomasi budaya.
ADVERTISEMENT
Film Bukan Cuma Soal Hiburan
Sebagai masyarakat yang hidup di zaman globalisasi ini pasti sangatlah mudah untuk kita dapat mengakses film-film dari luar negeri melalui gadget kita atau dengan datang langsung ke bioskop. Bagi penggemar film animasi barat terutama keluaran Disney pasti sudah tidak asing dengan film animasi seperti Moana atau Coco yang sempat populer pada masa penayangannya. Dalam alur ceritanya, film Moana sangat kental dengan nilai kebudayaan dari masyarakat Polinesia sementara Coco yang lekat dengan kebudayaan Meksikonya.
Bagi banyak masyarakat awam Indonesia mungkin pada awalnya tidak terlalu familiar dengan budaya-budaya dari Polinesia ataupun Meksiko, tetapi dengan masuknya film-film tersebut dengan mengangkat nilai kebudayaan di dalamnya kita sebagai audiens global yang awalnya tidak mengenal bisa menjadi tahu dan mungkin saja bagi kita untuk mulai menumbuhkan ketertarikan pada kebudayaan tersebut setelah menonton filmnya.
ADVERTISEMENT
Nah, film-film seperti itulah yang sebenarnya sedang menjalankan tugas penting dalam usaha diplomasi budaya dan yang sedang kita terus usahakan juga pada industri perfilman kita saat ini, karena jika ditelaah lebih jauh lagi bisa dikatakan industri perfilman memang salah satu bentuk strategi soft power yang sangat mudah masuk dalam lingkup suatu negara.
Karena film dibuat dengan tujuan hiburan, jadi budaya yang disisipkan pun pasti lebih mudah diterima dan masuk kepada para penonton global dibanding dengan dibawakan langsung lewat pementasan budaya atau sejenisnya yang tidak semudah diakses dan memiliki peminat yang sebanyak film pada umumnya.
Film Lokal Duta Budaya di Kancah Internasional
Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia memang memiliki banyak sekali potensi kekayaan budaya di dalamnya. Dari Sabang hingga Merauke, rasanya tidak terhitung berapa banyak macam rupa kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia mulai dari tradisi, adat istiadat, bahasa, kesenian dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Jadi, jika negara lain bisa mengangkat nilai budayanya lewat film, mengapa kita tidak bisa?
Oleh karena itu, penting dan wajib buat perfilman lokal untuk terus promosi nilai kebudayaan Indonesia dengan disisipkan kedalam penceritaan film. Tidak cuma sebatas nilai kebudayaan lokal namun, nilai-nilai universal seperti persahabatan, cinta, dan kekeluargaan juga tidak kalah penting dimasukkan untuk menjembatani pemahaman antara nilai kebudayaan Indonesia dengan audiens global.
Ditengah gempuran kuat film Internasional terutama film keluaran hollywood, nyatanya beberapa film-film lokal kita masih dapat terbukti menembus pasar global dan bersaing dengan film-film internasional lainnya sembari mempromosikan nilai kebudayaan lokal yang direpresentasikan dalam penceritaannya.
Contoh pada film Sekala Niskala yang kental dengan nilai kebudayaan bali yang telah tayang di festival film internasional bergengsi yaitu Toronto International Film Festival (TIFF) kemudian film yang sedang hangat diperbincangkan yaitu Pabrik Gula yang kental dengan unsur nilai kebudayaan dari Jawa Timur yang pada 27 Maret lalu mengadakan gala premiernya di US dan berencana tayang di beberapa negara lain seperti Malaysia dan Singapura.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya kedua film tersebut, jadi bukti kalau Indonesia sendiri sudah melakukan proses diplomasi budaya lewat industri perfilmannya. Dengan tayang di festival film bergengsi, memberi keuntungan berupa audiens yang lebih luas dan dengan tayang di layar-layar luar negeri maka dapat memberi pemahaman dan gambaran lebih tentang bagaimana keberagaman kekayaan budaya Indonesia yang tercermin lewat film lokalnya kepada audiens asing yang mungkin sebelumnya tidak mengetahui atau kurang mendalami aspek nilai kebudayaan yang Indonesia miliki.
Bagaimana Film Lokal Bisa Tembus Dunia? Ini Peluang dan Strateginya
Indonesia sendiri punya satu keunggulan sekaligus peluang yang tidak banyak negara lain miliki yaitu keanekaragaman budaya. Dengan memasukkan unsur kebudayaan, menggali kemudian menonjolkan aspek kebudayaan yang unik tidak cuma dari satu wilayah tapi dari beragam macam wilayah di Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara lain maka akan menjadi aroma segar bagi dunia perfilman global dan jadi ciri film lokal di kancah Internasional.
ADVERTISEMENT
Peluang lain buat film lokal juga datang dari bagaimana saat ini pasar film global tidak cuma fokus pada film Hollywood tapi juga mulai banyak melirik film-film asia seperti Nezha 2 dari Tiongkok atau Your Name dari Jepang yang tentunya bakal jadi peluang untuk membuka jalan lebih luas buat film lokal kita supaya bisa dapat perhatian lebih dari audiens global. Di tambah adanya platform streaming service pasti akan lebih memudahkan akses film-film lokal untuk audiens global tanpa harus pergi dahulu ke bioskop.
Melihat luasnya peluang, maka langkah pertama untuk mengembangkan diplomasi budaya film lokal dapat dengan meningkatkan kualitas produksi film lokal agar setara dengan film internasional dari segi kualitas, kemudian bisa lebih menggali ragam budaya yang masih belum banyak dieksplor dan tidak cuma dari satu daerah atau wilayah tertentu saja.
ADVERTISEMENT
Dengan lebih banyak memanfaatan platform selain bioskop seperti streaming service atau festival film internasional juga efektif untuk meraih audiens lebih luas yang diikuti dengan mengembangkan infrastruktur distribusi perfilman lokal untuk memaksimalan upaya film lokal agar dapat menembus pasar global.
Yang tidak kalah penting juga, yaitu kolaborasi bersama pelaku film internasional, dari kolaborasi ini tidak hanya akan mengembangkan industri film lokal dari sisi kualitas, tapi juga diharapkan dalam penceritaannya dapat disisipkan kembali nilai dari kebudayaan Indonesia seperti pada film kolaborasi The Raid yang punya unsur pencak silat di dalamnya.
Kedepannya, semakin banyak film lokal yang tayang di luar negeri, maka semakin kuat juga citra Indonesia sebagai negara yang kaya budaya bukan cuma lewat tarian atau kuliner, tapi juga lewat industri film lokalnya. Di titik ini, film lokal tidak cuma jadi hiburan, tapi juga alat diplomasi budaya yang punya dampak besar di kancah global.
ADVERTISEMENT
Artikel ini nyatanya ditulis sebagai upaya membangun kesadaran dan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang pentingnya peran industri film lokal dalam melakukan diplomasi budaya. Lebih dari itu, artikel ini diharapkan bisa menumbuhkan rasa bangga dan kecintaan terhadap film-film produksi dalam negeri yang tidak hanya menghibur, tapi juga membawa misi budaya Indonesia ke panggung dunia.
Karena pada akhirnya lewat suatu film, dunia bisa mengenal dan jatuh cinta dengan Indonesia bukan cuma pada keindahannya, tapi juga pada kebudayaannya.
Juanpieter Ferdinand Sodakain, mahasiswa Hubungan Internasional UKI