Psikolog Asing dalam RUU Praktik Psikologi

Juneman Abraham
Ketua Kompartmen Riset dan Publikasi, Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), Psikolog Sosial dan Lecturer Specialist-S3 pada Universitas Bina Nusantara, serta AdjLect SGPP. Menekuni Psikologi Korupsi, Psikoinformatika, dan Psikologi Kebijakan Publik.
Konten dari Pengguna
6 Maret 2021 6:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Juneman Abraham tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi klinik psikolog. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi klinik psikolog. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apakah psikolog asing sudah berkarya di Indonesia? Meskipun kita belum memiliki data angka yang pasti, kehadiran internet membuat kita cenderung menjawab dengan cukup yakin, “Tentu saja!”.
ADVERTISEMENT
Tanpa dikaitkan dengan kepesatan perkembangan internet pun, A.C.A. de Moraes Weintraub (2011), dalam sebuah kajian di Haiti dan Republik Demokratik Kongo, sudah mencatat bahwa psikolog asing telah banyak berkiprah di berbagai negara, khususnya dalam konteks bencana kemanusiaan. Dalam hal ini, psikolog asing hadir bukan secara perorangan atau klinis, melainkan sebagai anggota dari tim-tim nasional. Bergabung dalam tim nasional untuk memberikan layanan psikologis merupakan sebuah keniscayaan logis. Hal ini karena pada umumnya psikolog asing memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dalam bahasa lokal serta memahami konteks kultural masyarakat nasional yang dijalaninya.
Sebuah tim psikologi nasional biasanya akan mengusahakan berbagai pelatihan untuk meningkatkan keterampilan yang mampu mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut pada psikolog asing. Di samping itu, tim psikologi nasional juga terus-menerus meningkatkan kapasitas mereka sendiri. Hal ini relevan lebih-lebih dalam menghadapi masa-masa krisis di mana banyak tuntutan psikologis dari para penyintas bencana yang sangat dinamis mengitari para psikolog.
ADVERTISEMENT
Dengan pengembangan kapasitas tim, diharapkan pelayanan atau intervensi psikolog asing terhadap masyarakat nasional tidak mengalami penyimpangan atau bias-bias kebudayaan, bias gender, bias keagamaan, maupun bias sosial lainnya.
Meminimalisasikan atau bahkan mencegah bias-bias ini terjadi sangatlah penting untuk menunjukkan tanggung jawab layanan psikologis. Apabila kita menutup mata atas berbagai potensi distorsi itu, maka layanan psikologis secanggih apa pun tidak akan bernilai dan bermanfaat untuk klien atau masyarakat.
Kiprah Psikolog Asing
Di samping dalam situasi bencana, Sanjana Jain (2020) mengemukakan sebuah bidang kiprah dari psikolog asing yaitu penanganan kriminalitas. Seorang psikolog asing dapat membantu polisi di sebuah negara dalam investigasi sebuah kasus, memberikan nasihat dalam proses interogasi tersangka atau pun saksi, bekerja sebagai saksi ahli di peradilan, sampai dengan melakukan penelitian dan pengajaran.
ADVERTISEMENT
Psikolog asing dapat menggunakan teknik-teknik spesifik dalam hal pengenalan wajah, ingatan dan testimoni saksi mata, maupun teknik lain yang lebih dahulu berkembang dan dipelajari di negara asal mereka sehingga keahlian mereka dapat mendatangkan manfaat dalam konteks nasional.
Di samping bidang kebencanaan dan penanganan kejahatan nasional, tentu banyak bidang lain yang menjadi ladang kiprah psikolog asing. Salah satunya adalah arbitrase internasional. T. Cole (2017) bahkan menulis sebuah buku khusus tentang ini bertajuk “The Roles of Psychology in International Arbitration”. Dalam kiprah yang demikian luas, pemahaman komprehensif atas masyarakat yang dilayani sangat dibutuhkan.
Cole menyoroti, di antaranya, ketergesa-gesaan psikolog asing pada umumnya untuk menggunakan instrumen atau alat-alat pengukuran psikologis dalam konteks penyelesaian perselisihan orang-orang antarbangsa, yang kurang disertai pemahaman antropologis masyarakat yang memadai.
ADVERTISEMENT
Pemahaman antropologi yang dimaksud adalah pemahaman tentang fenomena kultural kolektif masyarakat yang memediasi dan menuntun tingkah laku perorangan dan kelompok. Hanya dengan pemahaman inilah, pemaknaan bersama (shared meanings) dapat terbangun antara aktor dan klien arbitrase internasional, sehingga mengefektifkan proses arbitrase itu. Salah satu hal yang tidak dapat dikecualikan dalam pemahaman antropologi, yang juga perlu dimiliki oleh psikolog asing, adalah kepekaan mengenai psikoantropologi masyarakat bekas jajahan maupun psikoantropologi masyarakat bekas penjajah.
Dengan berkembangnya internet, kiprah psikolog asing semakin terfasilitasi. Tersedia juga berbagai sumber belajar di internet untuk membantu memahami bahasa dan budaya calon klien. Tidak mengherankan bahwa keberadaan layanan telepsikologi telah mengubah sifat kehadiran psikolog asing. Kini, psikolog asing sudah semakin dapat hadir secara klinis, langsung berhadapan dengan calon kliennya, tidak lagi harus melalui mediasi tim psikologi nasional (tim atau organisasi psikologi yang berada di wilayah hukum yang sama dengan calon klien).
ADVERTISEMENT
Di samping permintaan dari calon klien sendiri, seperti dalam konteks telepsikologi, ada juga sejumlah negara yang sengaja merekrut psikolog asing karena masih minimnya jumlah psikolog berkualifikasi di wilayah nasionalnya. Di Indonesia sendiri, pada 2020 yang lalu, saya pernah menyampaikan dalam sebuah kajian RUU Praktik Psikologi, bahwa rasio/perbandingan psikolog profesi (yang memiliki SIPP/Surat Izin Praktik Psikologi) dengan jumlah penduduk Indonesia masih kurang memadai, dengan persebaran timpang yang terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Kenyataan ini dapat diklaim oleh sejumlah pihak untuk menjadi motif geografis akan kebutuhan hadirnya psikolog asing.
Kerentanan Masyarakat
Kehadiran secara klinis sebagaimana diungkap di atas membawa kerentanan tersendiri bagi klien. Bagaimana apabila psikolog asing dalam perjalanan layanannya tidak berlaku profesional? Bagaimana apabila psikolog asing melakukan hal-hal yang diduga melanggar baik etiket lokal maupun etika umum, bahkan hukum positif yang berlaku di negara klien? Oleh karenanya, tidak mengherankan, dalam sebuah regulasi bertajuk “The Practice of Telepsychology” - http://www.psychologistsboard.org.nz/cms_show_download.php?id=244, yang diterbitkan oleh organisasi profesi psikologi di sebuah negara jiran kita, Selandia Baru, yakni New Zealand Psychologist Board, terdapat sejumlah pernyataan hukum yang patut kita simak.
ADVERTISEMENT
Dalam layanan telepsikologi, pertama, apabila ada gugatan dari seorang klien dalam negeri terhadap psikolog asing, maka psikolog asing tersebut akan terkena aturan hukum negara Selandia Baru. Kedua, apabila klien asing mengajukan komplain terhadap psikolog dalam negeri, maka psikolog Selandia Baru akan terkena aturan hukum negara asing itu. Ketiga, nota kesepahaman (MoU/memorandum of understanding) dan kolaborasi antar otoritas psikologi lintas negara akan memudahkan penanganan masalah yang terjadi antara klien dalam negeri dan psikolog luar negeri.
Psychologist looking at African American girls embracing legs while sitting on chair during consultation in office. Sumber gambar: https://depositphotos.com/422403600/stock-photo-psychologist-looking-african-american-girls.html
Barangkali, ada sebagian kita yang bertanya, mengapa seorang klien dapat membutuhkan layanan psikolog asing. Sebuah diskusi di Quora.com tampaknya menyingkap jawab atas pertanyaan ini. Meskipun spekulatif, namun jawab ini patut dipertimbangkan sebagai bahan introspeksi. W.T. MacDonald (2019), salah seorang peserta diskusi, menangkap masih nyatanya gejala stigmatisasi terhadap penderita gangguan jiwa di kalangan masyarakat, termasuk masyarakat profesional, di negara-negara Asia; khususnya, ia memberikan contoh di Jepang.
ADVERTISEMENT
Ia menyatakan bahwa hal ini menyebabkan sejumlah orang Asia yang khawatir mengalami penstigmaan atas masalah kesehatan jiwa yang dialaminya memiliki kebutuhan mencari layanan psikologis dari para psikolog Barat. Hal yang diungkap oleh MacDonald terkonfirmasi juga dalam sebuah diskusi di Forumosa.com mengenai situasi layanan psikologis di Taiwan, di mana disebutkan bahwa masalah kesehatan jiwa masih menjadi bahasan yang tabu di sana. Para ekspatriat di Taiwan dengan demikian membutuhkan psikolog yang berasal dari asal negaranya sendiri.
Yang patut dicatat di sini adalah bahwa gejala stigmatisasi oleh kalangan profesional kesehatan ternyata merupakan fenomena ironi yang cukup universal dan menjadi “pekerjaan rumah” bersama, sebagaimana dilaporkan oleh Brian K. Ahmedani (2011), dalam artikelnya yang berjudul "Mental Health Stigma: Society, Individuals, and the Profession", yang terbit pada The Journal of Social Work Values and Ethics, vol. 8 no. 2.
ADVERTISEMENT
Kendati demikian, MacDonald juga mengingatkan agar kebutuhan akan psikolog asing jangan lantas membuat masyarakat tidak waspada. Hal ini karena tidak ada jaminan bahwa semua psikolog asing memiliki kualifikasi yang terstandar dan memadai. Tidak sedikit, misalnya, psikolog asing yang ia jumpai memberikan terapi-terapi yang tidak ilmiah. Lebih disesalkan lagi, ketika dipertanyakan status ilmiah terapinya, ada psikolog-psikolog asing yang berkilah, “Saya mengedepankan pendekatan yang berpusat pada kasus klien saya, sehingga saya dapat saja mengabaikan hasil-hasil riset psikologi klinis.” Dengan perkataan lain, ada potensi terjadinya malapraktik psikologi.
Kewaspadaan serupa juga ditekankan oleh C. Tsang-Feign (2019). Menurutnya, banyak negara tidak memiliki regulasi yang jelas tentang layanan psikologis; bukan hanya layanan kesehatan jiwa, melainkan berbagai kemungkinan layanan psikologi. Tidak hanya itu, banyak negara juga tidak memiliki organisasi keprofesian yang memantau para psikolog (termasuk psikolog asing) sebagai pemberi layanan psikologis.
ADVERTISEMENT
Ada sejumlah psikolog asing tidak memiliki kualifikasi pelatihan yang memadai, juga menggunakan teknik-teknik pemasaran untuk mengangkat berbagai intervensi psikologis instan tanpa dasar ilmiah, hanya untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Gejala ini memang dapat terjadi juga pada psikolog domestik, tidak eksklusif terjadi pada psikolog asing.
Kredensial dan Pengaturan Psikolog Asing
Tsang-Feign (2019) mengingatkan para calon pengguna layanan psikolog asing, bahwa kualifikasi seorang psikolog tidak hanya sebatas pernah mengikuti sebuah pelatihan intervensi/terapi tertentu, bukan juga hanya sebatas tampak ramah, komunikatif, dan baik hati. Ada kualifikasi pendidikan formal, pengalaman tersupervisi, sampai dengan lisensi secara hukum. Setiap calon klien hendaknya berusaha untuk memperoleh informasi tentang hal ini semaksimal mungkin, dengan menyimak regulasi tentang psikolog dan layanan psikologis di wilayah hukum di mana psikolog asing berasal. Ambil contoh, persyaratan lisensi psikologi di California, sebuah negara bagian di Amerika Serikat dapat disimak melalui https://www.psychologydegree411.com/licensure/california/
ADVERTISEMENT
Seluruh kondisi yang disebutkan di atas membuat sejumlah negara sangat berhati-hati dalam memberikan kewenangan praktik psikologi bagi para psikolog asing. Keawasan ini seyogyanya semakin relevan khususnya di negara-negara di mana masyarakat masih memiliki literasi yang rendah untuk menilik kredensial seorang psikolog. Dalam perbincangan sehari-hari saja, kita masih sering menemukan bahwa masyarakat masih belum dapat menyebutkan dengan tegas perbedaan antara psikolog dan psikiater, belum lagi persamaan dan perbedaannya dengan psikoterapis, pekerja sosial kesehatan jiwa, dan perawat jiwa. Lebih-lebih meninjau kredensial perorangan dari penyedia layanan psikologis.
Memang benar, bahwa telah terdapat berbagai upaya sistematis dan edukatif untuk menyelamatkan masyarakat dari layanan psikolog asing yang tidak profesional, entah itu disengaja maupun tidak. Sebagai contoh, American Psychological Association (APA), organisasi profesi psikologi terbesar di dunia, menerbitkan “APA’s Multicultural Guidelines” (2017), yang dapat dibaca melalui link berikut.
ADVERTISEMENT
Panduan ini dapat menjadi bekal seorang psikolog asing untuk berkiprah di sebuah negara. Ada sepuluh butir panduan, mulai dari pedoman bagi psikolog untuk menghargai kompleksitas identitas manusia sampai dengan arahan bagi psikolog untuk berusaha sebaik mungkin untuk lebih banyak menggunakan pendekatan berbasis kekuatan manusia (strength-based approach) ketimbang pendekatan berbasis kelemahan manusia (deficit-based approach).
Kendati demikian, kepastian hukum jelas sangat dibutuhkan agar masyarakat Indonesia terlindungi dari praktik-praktik psikolog yang kurang atau tidak bertanggung jawab, tidak terkecuali dari psikolog asing. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa dalam Rancangan Undang-Undang Praktik Psikologi yang sedang digodok oleh Pemerintah dan DPR (drafnya dapat dibaca melalui http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEG-RJ-20200707-113636-9288.pdf), psikolog asing turut diatur.
Disebutkan dalam Pasal 38 sampai dengan 43 RUU tersebut, bahwa “Psikolog asing hanya dapat melakukan layanan praktik psikologi di Indonesia sesuai dengan kebutuhan sumber daya manusia dan karakteristik masyarakat Indonesia yang ditetapkan oleh organisasi profesi. Mereka harus memiliki surat tanda registrasi sementara yang diperoleh setelah lulus uji kompetensi, di antaranya penguasaan bahasa dan budaya Indonesia, serta kemampuan melakukan praktik psikologi.
ADVERTISEMENT
Mereka harus melakukan alih ilmu pengetahuan psikologi. Mereka juga harus memberitahukan secara tertulis kepada kementerian atau lembaga terkait dan organisasi profesi jika akan memberikan layanan dalam penanganan bencana yang bersifat insidental.”
Saya sebenarnya kurang setuju dengan istilah “psikolog asing” dalam RUU Praktik Psikologi, karena istilah ini ambigu. Psikolog asing dapat bermakna psikolog yang tak dikenal, atau juga psikolog yang bekerja untuk warga negara asing. Mirip dengan istilah “pengusaha wanita” yang juga dapat menimbulkan tafsir tertentu, misalnya dapat bermakna pengusaha laki-laki ataupun perempuan yang memiliki objek usaha berupa wanita.
Agar tidak menimbulkan salah tafsir, sebagai gantinya, istilah yang tepat adalah “wanita pengusaha”, seperti dalam penamaan sebuah perkumpulan, IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia). Istilah “psikolog asing” dalam RUU Praktik Psikologi pun hendaknya diubah menjadi “Warga Negara Asing/WNA psikolog” untuk memperjelas maksudnya.
ADVERTISEMENT
Di era keterbukaan dewasa ini, kita harus senantiasa siap berkolaborasi dengan WNA psikolog dalam koridor kebutuhan lokal/nasional, etika, dan profesionalisme layanan psikologis. Untuk itu, Undang-Undang Praktik Psikologi dinantikan kehadirannya. Payung hukum ini akan memastikan kolaborasi yang sehat, bertanggung gugat, serta bertanggung jawab, baik pada saat negara menerima kehadiran WNA psikolog, maupun saat WNI psikolog berkiprah di negara lain.