Drama dan Tragedi Saat Aku Akan Liburan ke Thailand

Konten dari Pengguna
15 Januari 2020 2:28 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Emong tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi traveler yang sedang menunggu penerbangan di bandara Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi traveler yang sedang menunggu penerbangan di bandara Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
November 2019 sepertinya menjadi salah satu bulan yang paling berkesan bagiku. Bulan itu dibuka dengan nonton konser K-Pop gratis, berbagai birthday party (it's my birthday month) dari tante dan teman-temanku, dan yang paling membekas adalah 'drama' sekaligus tragedi di Bandara Internasional Soekarno–Hatta saat aku akan liburan ke Thailand. Aku sebut tragedi karena insiden itu terasa begitu sangat menyakitkan bagiku.
ADVERTISEMENT
'Drama' itu dimulai sejak awal aku akan berangkat ke Thailand, bahkan kala hendak check-in pesawat. Di bagian check-in pesawat aku sempat ditahan oleh pihak Angkasa Pura. Alasannya sederhana, karena nama di tiket keberangkatanku enggak sesuai dengan nama di KTP dan pasporku. Whaatt??!! (Alay dikit)
"Yang membeli tiket dan mengisi data saat pembelian tiket adalah diriku sendiri. Terus kok bisa salah?" pikirku saat itu.
Ilustrasi paspor Indonesia Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Jadi nama yang tertera di tiket pesawatku saat itu adalah Elma Lisa. Sedangkan nama asliku di KTP dan paspor adalah Elmalisa Br Bancin. Jadi intinya nama keluarga aku yaitu Br Bancin-nya enggak ada terus pakai spasi pula.
Dan yang lebih anehnya, kesalahan ini hanya terjadi untuk tiket pesawat tujuan Jakarta-Thailand. Sedangkan tiket pesawat pulang yang aku beli untuk tujuan Thailand-Singapura dan Singapura-Jakarta enggak ada masalah. Padahal aku membeli semua tiketnya di e-commerce yang sama dan pada waktu yang berdekatan alias hanya dalam satu hari.
ADVERTISEMENT
"Kak, terkadang aku lupa kalau level bodohmu itu di atas rata-rata. Alami terus murni pula," respons adikku saat aku menceritakan hal ini.
Ilustrasi mencari tiket pesawat. Foto: Abil Achmad Akbar/kumparan
Aku pun mencoba merimangi (Bahasa Indonesia-nya merenungkan) apa yang merasukiku saat membeli dan mengisi data diri untuk tiket tersebut. Tapi percuma, aku enggak ingat apa-apa karena tiket itu aku beli di awal Agustus 2019.
Dan yang paling menegangkan adalah saat abang-abang yang ngurusin check-in bilang, kemungkinan aku enggak bisa flight. Atau pun seandainya bisa flight, bisa saja nantinya aku dipulangkan oleh pihak imigrasi Thailand. Dan, rasa panik itu pun mulai muncul.
Aku melihat abang-abang Angkasa Pura itu sibuk bertanya kepada rekan kerjanya tentang bagaimana agar aku bisa 'aman'. Saat itu masih subuh dan antrean belum panjang, jadi dia terlihat tidak begitu terburu-buru mengurus tiketku. Sedangkan aku sudah mulai gemeteran, keringat dingin mulai terasa di tanganku.
ADVERTISEMENT
Setelah hampir setengah jam panik sembari memikirkan kemungkinan terburuk, aku pun teringat kalau punya teman yang kerja sebagai staf Angkasa Pura. Aku menghubunginya dan dia yang biasanya kerbo banget kalau tidur, kala itu bisa bangun. Ya, dia bangun setalah aku menerornya dengan menelpon belasan kali.
Setelah aku menjelaskan permasalahanku, dia pun menyarankan aku untuk memberikan ponselku pada abang-abang check-in itu. Untungnya (tipikal orang Indonesia, selalu ada keuntungan di setiap musibah) temanku kenal dengan abang-abang itu. Jadi setelah berbicara panjang dengan temanku (btw aku enggak tahu apa yang mereka bicarakan), abang itu pun nyuruh aku tanda tangan di sebuah form perjanjian. Aku lupa isi formnya, tapi intinya pihak Bandara Soekarno–Hatta menyatakan bahwa benar nama yang tertera di tiket itu adalah aku, meski nama tidak sesuai dengan KTP dan paspor. Huff...!!
Ilustrasi check-in di Bandara. Foto: Dok. Wikimedia Commons
Akhirnya masalah tiket dan check-in sudah terselesaikan. Aku mulai tenang. Semua berjalan lancar hingga aku melewati bagian imigrasi. Masalah baru pun muncul saat pemeriksaan terakhir sebelum memasuki ruangan tunggu naik pesawat.
ADVERTISEMENT
Drama season kedua dimulai saat koperku melewati CT-Scan, dan tragedi itu pun terjadi. Tiba-tiba mas-mas yang periksa, nyuruh aku untuk buka koper karena ada cairan yang dilarang masuk cabin pesawat. Aku sempat heran, karena sejak pemeriksaan awal di bandara tidak ada yang mempermasalahkan barang-barang di dalam koperku.
Koperku pun dibuka dan digeledah oleh mas-mas itu. Saat itu yang ada di dalam koperku hanya 3 baju kaus, 1 celana jeans, 1 sendal, dan 2 travel bag yang masing-masing isinya produk skin care serta peralatan mandiku. Aku memang sengaja membawa koper yang isinya dikit dan tidak menggunakan bagasi hanya cabin. Alasannya, semua temanku yang sudah pernah ke Thailand menyarankan agar aku belanja di Bangkok.
ADVERTISEMENT
Semua pemeriksaan koperku aman sampai mas-mas itu membuka travel bag-ku. Dari travel bag yang isinya peralatan mandi, dia mulai mengeluarkan beberapa produk seperti sabun cair, body oil, dan hair mask. Dan dari travel bag yang satunya dia mulai mengeluarkan produk yang lebih banyak lagi. Mulai dari body lotion sekaligus sunscreen, toner, micellar water, acne defyer, hingga beberapa produk dari dokter skin care.
Ilustrasi security check Foto: Shutter Stock
Oke, sebelum kalian bertanya aku akan menjelaskan kenapa aku bawa banyak skin care. Jadi awalnya aku sebenarnya enggak begitu mengerti dunia per-skin care-an, namun semuanya berubah saat aku ngalamin breakout. Sejak akhir Oktober 2019, entah kenapa muka aku kayak tongkol jagung. Seperti pepatah, saat itu jerawatku mati satu tumbuh tiga bahkan lima. Di atas jerawat, tumbuh jerawat baru. Mateng dan kuning, mirip biji jagung.
ADVERTISEMENT
Aku yang biasanya hanya pakai produk drug store dan beberapa krim dokter, mulai stres. Memasuki November, jerawatku makin subur dan selalu muncul yang baru. The war against acne is never ending.
"You get stressed and breakout then breakout because your stressed about the breakout. It's a never ending cycle," kira-kira begitulah keadaanku saat itu.
Ilustrasi jerawat. Foto: Shutterstock
Dokter skin care yang biasanya aku konsultasi bilang, pemicu jerawatku karena faktor tidur kurang alias sering begadang, makanan yang enggak sehat, polusi udara, hormon, dan stres. Akibatnya, hampir sebulan aku selalu pakai masker penutup setengah wajah kalau keluar kosan, termasuk saat di kantor.
Untuk pertama kalinya aku melakukan perawatan total untuk masalah jerawatku. Mulai dari treatment wajah sampai menggunakan skin care yang berlayer-layer ala Korean beauty. Sehingga saat itu aku impulsif membeli berbagai produk skin care yang 'katanya' bagus untuk kulit berjerawat.
ADVERTISEMENT
Dan dengan alasan 'lagi perawatan total' inilah aku pun akhirnya membawa semua produk skin care yang dipakai ke Thailand. Enggak tahu apakah kulitku yang sensitif ini akan baik-baik saja dengan cuaca di Thailand atau justru makin meradang.
Terlebih lagi, aku akan liburan sekitar delapan hari. Dan karena waktu liburanku yang lumayan panjang itulah mengapa aku lebih memilih membawa semuanya tanpa dipindahkan ke botol travel size.
Ilustrasi skincare Foto: Charisse Kenion
"Mba ini produknya harus ditinggalkan karena enggak bisa masuk cabin pesawat. Ukurannya lebih dari 100 ml," kira-kira gitulah ucapan mas-mas di bagian CT-Scan saat itu. Dan tiba-tiba air mulai terasa di ujung mataku.
Bagaimana tidak, sekitar 10 produk skin care aku ditahan oleh pihak bandara kerena alasan size-nya enggak layak untuk masuk cabin. Padahal saat itu produk yang isinya full dan di atas 100 ml hanya dua, selebihnya tinggal setengah. Dan size terberat yang aku bawa saat itu hanya 125 ml. Namun, mas-mas itu bilang yang mereka lihat bukan isinya, tapi size di kemasannya. Ini adalah momen di mana ucapan "sakit tapi enggak berdarah" begitu bermakna.
ADVERTISEMENT
Membayangkan harus merelakan semua skin care itu membuatku terguncang. Jika ditotalkan semua harga produk itu hampir setengah gaji bulananku. Untuk pertama kalinya aku nekat spend lots of money untuk beli skin care demi jerawat. Bahkan ada satu produk yang aku beli saat sale 12.12 di situs Sociolla dan baru menerima barangnya pada 19 November 2019, tepatnya sehari sebelum aku berangkat ke Thailand. Jangankan dipakai, produk itu bahkan belum aku buka segelnya. Dan nahasnya ditahan oleh pihak bandara.
Opsi yang disarankan oleh mas-mas itu hanya dua. Pertama, meninggalkan produk itu dan menyuruh temanku untuk mengambilnya. Kedua, memasukkannya ke bagasi pesawat.
Aku pun mencoba pilihan pertama dengan menghubungi temanku yang membantuku saat check-in tadi. Celakanya, dia saat itu juga sedang cuti dan enggak berada di Jakarta. Dan yang paling mengecewakan adalah dia enggak mengenal siapa pun di bagian CT-Scan, tempat aku bermasalah. Temanku pun mencoba meminta bantuan ke rekan kerjanya yang lain, tapi saat itu enggak ada yang bisa menolong. Terlebih lagi tidak semua mereka saling kenal.
Kiehl's, Cetaphil, dan The Body Shop. Foto: dok. Kiehl's, Cetaphil, dan The Body Shop
Lalu aku pun mencoba opsi kedua, dengan membeli bagasi. Aku sudah mempersiapkan hati untuk beli bagasi yang 5 kg di bandara dengan harga yang lumayan bikin sakit kepala. Padahal apabila disatukan, berat semua skin care ku itu enggak sampai 2 kg. Mungkin hanya sekitar 1 kg lewat sedikit. Tapi saat itu aku mencoba baik-baik saja, demi kelangsungan hidup beberapa bulan ke depan. Semua demi my babies alias skin care-ku.
ADVERTISEMENT
Tapi sial, antrean di bagian check-in sudah panjang banget. Dan lagi-lagi demi semua skin care, aku pun mencoba bertahan untuk antre. Hingga akhirnya diumumkan bahwa pesawat yang akan aku naikin, siap boarding.
"Kami akan menyimpan barang-barang mbak hingga pergantian shift yang bertugas. Nanti kalau sampai pergantian shift enggak ada yang mengambil, produknya terpaksa kami buang," ungkap mas-mas itu. Hati ini makin perih ceunah!
Beberapa skin care Korea yang diberi temanku.
Ini pertama kalinya barang aku ditahan oleh pihak bandara, dan pedihnya itu luar biasa mendalam. Selama ini aku tidak pernah bermasalah ketika akan traveling dengan menggunakan pesawat.
Mood liburan yang sudah aku nantikan sejak Agustus, langsung kacau hanya dalam beberapa jam. Sebelum pesawat take off, aku selalu memohon kepada temanku agar menyelamatkan semua my baby. Dan di dalam pesawat tanpa disadari aku nangis membayangkan semua skin care yang aku tinggalkan.
ADVERTISEMENT
Selama tiga jam penerbangan Jakarta-Bangkok, aku selalu kepikiran dengan semua barang-barangku yang ditahan. Aku yang semalaman belum ada tidur, sama sekali enggak bisa istirahat di pesawat. Saat itu aku enggak mau memikirkan kemungkinan terburuk dan berharap ada yang menyelamatkan skin care-ku.
Begitu landing di Bandara Don Mueang, Thailand, aku pun langsung mencari wifi bandara dan mengecek chat temanku, baru ngantre di bagian imigrasi. Bak disambar petir, aku mendapat info kalau my babies enggak bisa lagi 'diselamatkan'. Saat itu ingin rasanya aku kembali ke Jakarta, tapi mustahil.
Selama di Thailand aku terpaksa menggunakan beberapa produk skin care dasar yang aku beli di drug store dan mereknya pasaran di Indonesia. Misalnya seperti Pond's, Garnier, dan Lux.
Beberapa skin care drug store yang aku beli di Bangkok
Meski aku menikmati liburanku saat itu, tapi aku belum mengikhlaskan semua skin care-ku itu. Bahkan hingga saat aku menulis cerita ini. Yang lebih menyakitkan adalah belum ada satu pun dari produk-produk itu yang bisa aku repurchase. Mahal sis.
ADVERTISEMENT
Orang-orang sekitarku yang tahu musibahku dan mengerti pentingnya skin care, memberi aku banyak dukungan. Enggak hanya dari kata-kata tapi juga produk skin care. Aku bersyukur untuk tahun 2019, 90 persen christmas gift yang aku dapatkan berupa produk skin care jerawat. Mba Dhini (bos quh) ngasih tea tree water, Kak Intan (asred kumparanWoman) ngasih berbagai skin care dan makeup. Bahkan ada beberapa temanku yang sempat liburan ke negara-negara per-skincare-an seperti Korea, Jepang, dan Kanada, membawakanku oleh-oleh skin care.
Beberapa skin care yang aku dapat.
Dan kini, perjuanganku melawan jerawat mulai berhasil. Meski masih ada jerawat yang muncul, tapi untungnya enggak separah dulu. Namun menyisakan acne scars yang cukup membuat pusing.