Konten dari Pengguna

Pengalaman Menjelajahi Bangkok untuk Pertama Kali

2 Desember 2019 15:39 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Emong tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
"Kalo Thailand mah gampang. Apalagi Bangkok, gak jauh beda sama Jakarta. Lo gak bakalan ilang," itulah komentar semua teman-temanku saat aku cerita akan ke Thailand.
ADVERTISEMENT
Meski terdengar sepertinya akan mudah, tetapi perasaan khawatir itu tetap ada. Terlebih lagi ini merupakan pertama kalinya aku traveling ke Thailand. Ya, meski baru pertama kali, tapi aku dan seorang temanku--yang ternyata lebih buta tentang Thailand--nekat backpaker-an ke Thailand.
Tak banyak hal yang kami ketahui tentang Thailand. Kami hanya tahu Thailand adalah negara asal Lisa Blackpink. Hahaha.
Lisa tampak menikmati putihnya pasir pantai di Phuket. Foto: Instagram @lalalalisa_m
Untuk menambah info mengenai backpaker ke Thailand, aku sering konsultasi dengan Kak Andari--editor kumparanTravel. Termasuk melakukan penukaran uang rupiah ke bath--mata uang Thailand--, pembelian sim card Thailand, hingga booking penginapan dengan lokasi yang strategis. Semua ini aku persiapkan dari Jakarta.
Enggak cuma itu, aku pun sering menonton vlog orang-orang tentang bagaimana cara menggunakan BTS dan MRT, yang merupakan transportasi publik di Thailand. Aku juga membaca semua artikel atau blog orang-orang yang membahas mengenai Thailand.
BTS di Thailand Foto: Shutter Stock
20 November 2019, hari untuk berangkat ke Thailand pun akhirnya tiba. Yuhuuyy....!!!
ADVERTISEMENT
Sesampainya di Bandara Don Mueang, hal pertama yang aku lakukan adalah mengambil sim card Thailand yang sebelumnya sudah aku beli dari Indonesia. Sim card seharga Rp 60 ribu itu memiliki kuota internet unlimited selama delapan hari. Harga ini jauh lebih murah daripada membeli langsung di Thailand.
Buat kalian yang tak mau menggunakan sim card lokal selama di Bangkok, tak perlu khawatir. Hampir di setiap tempat di Bangkok menyediakan wifi gratis, seperti di stasiun BTS, dermaga kapal, hotel, mal, hingga tempat makan pinggir jalan. Kecepatan internet wifi di Bangkok juga yang lumayan kencang.
Sim Card Thailand
Benar saja, kesan pertamaku tentang Bangkok adalah suasananya yang sangat mirip dengan Jakarta. Gedung-gedung tinggi, hiruk-pikuk kendaraan di jalan raya, mobilitas warga yang tinggi, macet, dan bising suara klakson.
ADVERTISEMENT
Di jam-jam sibuk, BTS--atau di Jakarta dikenal dengan LRT--jadi pilihan terbaik untuk menghindari macet. Cara menggunakan BTS ternyata sangat simpel dan mudah, bahkan untuk pemula seperti aku.
Selain itu, sebagai bucin-nya Blackpink, menggunakan BTS menjadi suatu kesenangan tersendiri. Bagaimana tidak, iklan serta poster jumbo Blackpink yang jadi model iklan Bank Thailand tersebar di berbagai stasiun dan BTS di Bangkok. Blackpink in BTS Area, ceunah!!
Tingkat mobilitas penduduk yang tinggi diimbangi dengan sarana transportasi publik, turut dengan cepat mengaktivasi produktivitas kota. Transportasi publik menghubungkan para penumpangnya ke semua lokasi wisata populer, sehingga sangat gampang untuk mengakses tempat-tempat yang hendak dituju.
Buat yang tak mengerti tulisan Bahasa Thailand seperti aku, enggak perlu khawatir menjelajahi Bangkok. Pasalnya, di semua papan petunjuk, menu makanan, hingga peta BTS akan ada diselipkan terjemahan dalam Bahasa Inggris. Bahkan hal ini berlaku untuk menu makanan yang dijual oleh pedagang kaki lima. Sehingga saat memesan makanan, kamu tidak akan dipusingkan dengan tulisan mereka.
ADVERTISEMENT
Enggak hanya itu, sebagian besar masyarakat lokal di Bangkok juga bisa menggunakan Bahasa Inggris. Sebut saja pedagang buah, sopir angkot, hingga pengemudi kapal. Yah, walaupun hanya conversation sederhana tapi setidaknya aku masih bisa bertanya atau sekadar berkomunikasi dengan mereka. Bisa dibilang, Bangkok sangat ramah pada turis asing.
Bener kata temanku, aku enggak bakalan tersesat di Bangkok.
Thai Pork Noodle Bowl seharga 65 Bath (sekitar Rp 30 ribu) merupakan kuliner Thailand pertama yang aku makan. Tak ada yang spesial dengan kuliner ini, hanya saja daging babinya terasa begitu nikmat. Bangkok juga ramah bagi wisatawan muslim, karena banyak tempat makan yang menjual kuliner yang berlabel halal.
Selama di Bangkok aku menginap di kawasan Pratunam yang hanya berjarak beberapa meter dengan Platinum Fashion Mall. Orang-orang bilang kawasan ini merupakan surga belanja karena harganya yang murah dengan kualitas produk jempolan alias terbaik.
ADVERTISEMENT
Harga barang-barang fashion mulai dari baju, sepatu, tas, pernak-pernik, hingga produk makeup dijual paling mahal hanya berkisar 500 Bath atau sekitar Rp 233 ribu. Nice!!
Sekarang aku tahu alasan semua temanku menyarankan untuk cuma membawa koper kosong dari Indonesia.
Hari pertama di Bangkok, aku hanya menghabiskan waktu dengan meng-explore kawasan Pratunam dan mencoba berbagai street food khas Thailand. Bagi aku yang merupakan pencinta kuliner daging babi, green tea atau matcha, mi, dan seafood, Bangkok adalah surga. Hahaha...!!
Dengan alasan ini, aku paham mengapa Bangkok disebut sebagai salah satu kota dengan street food terbaik di dunia.
Berbagai kuliner green tea dan matcha yang aku coba di Bangkok
Sausage Thailand with pork harganya 50 Bath
Octopus yang dijadikan sate
Makanan lokal kedua yang aku coba ada Pad Thai Seafood seharga 100 Bath. Bentuknya mirip dengan kwetiau goreng dengan tambahan taoge, dan rasanya sedikit asam. Aku kurang cocok dengan kuliner ini. Tapi seafood-nya juara.
Pad Thai Seafood
Di hari kedua aku mulai menjelajahi Bangkok. Tempat pertama yang aku kunjungi adalah kuil Buddha Wat Arun. Untuk menuju lokasi ini sebenarnya gampang, namun sedikit rumit. Di awali dengan menggunakan BTS hingga stasiun Saphan Taksin, lalu melanjutkan dengan menggunakan kapal seperti bus sungai (river buses), Cross River Ferry, dan Taksi Air.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Bangkok menggunakan semua moda transportasi darat dan air di tengah kota. Sehingga untuk menuju beberapa daerah tertentu, aku harus menggunakan jalur transportasi air berupa tourist boat, semacam bus air yang bisa menampung puluhan penumpang.
Dengan boat ini, aku menyusuri Sungai Chao Phraya yang membelah Bangkok menuju Wat Arun. Biaya naik boat menuju Wat Arun tergolong murah hanya 20 Bath, tapi ini tidak berlaku untuk semua boat. Ada beberapa pengelola boat yang mematok harga 60 Bath. Jadi harus pintar memilih boat-nya.
Dari Saphan Taksin menuju Wat Arun memerlukan waktu sekitar 20 menit. Selama di perjalanan aku bisa menikmati pemandangan menarik yang terdapat di pinggiran Sungai Chao Phraya. Deretan gedung pecakar langit dan hotel bintang lima, seperti JW Marriott, Shangri-La, Royal Orchid Sheraton, atau Mandarin Oriental, berada di sekitar sungai. Belum lagi berbagai gedung kampus, gedung teater, dan museum nasional. Sungguh sebuah pengalaman yang menyenangkan.
Wat Arun
Saat berkunjung ke Wat Arun (dan semua candi yang ada di Bangkok) diwajibkan untuk menggunakan pakaian tertutup dan sopan, karena lokasi itu dianggap sebagai tempat ibadah yang suci. Namun jika kamu terlanjur menggunakan pakaian yang terbuka atau minim, tak perlu khawatir. Kamu masih bisa masuk dengan menyewa pakaian di samping loket penjualan tiket masuk. Harga tiket masuk Wat Arun sebesar 50 Bath, biaya sewa pakaian 20 Bath dengan deposit sebesar 500 Bath yang akan dikembalikan saat kamu selesai menggunakan pakaian mereka.
ADVERTISEMENT
Jika berkunjung ke Wat Arun, aku sarankan untuk mencoba Pork Tom Yam yang lokasinya dekat toilet. Tom Yam seharga 50 Bath itu jadi salah satu kuliner terenak yang aku makan di Bangkok. Kuliner ini mengandung daging babi, jadi mungkin tidak bisa dinikmati semua kalangan.
Setelah puas menjelajahi Wat Arun, aku pun berkunjung ke Wat Pho. Lokasi Wat Arun dengan Wat Pho sangat dekat, sehingga bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Biaya tiket masuk Wat Pho sebesar 100 Baht.
Meski sama-sama kuil, uniknya di Wat Pho terdapat bangunan patung Budha yang sangat besar. Posisi patung sendiri sedang tertidur atau biasa disebut dengan Sleeping Buddha. Disekitar Wat Pho ada juga bangunan megah yang tidak kalah cantik. Bangunan berkonsep Eropa kuno yang merupakan kantor Kementerian Pertahanan Thailand.
Wat Pho Foto: Pixabay
Patung Buddha tidur di Wat Pho (Foto: Flickr / Dave Cranwell)
Sebenarnya masih ada satu kuli lagi yaitu Grand Palace, namun aku tidak sempat berkunjung ke sini karena sudah terlalu sore. Kuil-kuil di kawasan ini dibuka untuk umum hanya hingga pukul 18.00 waktu setempat.
ADVERTISEMENT
Oh iya, selama traveling di Thailand ada baiknya untuk selalu membawa paspor di dalam tas. Alasannya, karena ada beberapa spot wisata yang mewajibkan foreigner tourist untuk memperlihatkan paspor. Grand Palace misalnya.
com-The Grand Palace. Foto: Shutterstock
Puas menjelajahi wisata kuil, aku dan temanku pun melanjutkan perjalanan kami ke Asiatique The Riverfront, mal terbuka besar di Bangkok, yang lokasinya masih disekitar Sungai Chao Phraya. Dari Wat Arun menuju lokasi ini, kami menggunakan boat dengan tarif 50 Bath.
Begitu sampai di Asiatique The Riverfront, aku langsung dihadapkan dengan bangunan mirip gudang dengan deretan restoran alfresco dining di depannya. Layaknya mal, di sini terdapat banyak kios yang menjajakan berbagai macam barang dagangan mulai dari makanan, pakaian, suvenir, dan aksesori unik.
Asiatique The Riverfront, Thailand. Foto: Shutter Stock
Jajanan di Asiatique The Riverfront Foto: Mela Nurhidayati/kumparan
Di ujung sebelah kiri, terdapat sebuah wahana kincir raksasa bernama Asiatique Sky. Kincir raksasa ini hanya beroperasi mulai dari sore hari. Dengan menaiki kincir ini, kamu bisa menikmati pemandangan Bangkok di malam hari dari ketinggian. Sayang, saat itu aku gagal naik kincir ini karena antreannya yang sangat panjang.
ADVERTISEMENT
Setelah lelah seharian berkeliling Wat Arun dan Wat Pho, Asiatique jadi tujuan akhir yang sempurna untuk menutup perjalanan di kawasan Sungai Chao Phraya dengan makan enak, suasana tepi sungai yang asyik. Berada di kawasan riverfront saja, aku betah berfoto-foto pemandangan temaram Bangkok di tepi dermaga bersama hembusan angin malam nan sejuk. Buat yang sekadar kepingin chill out, tempat ini sangat recommended.
Buat kalian yang pengin dinner romantis dengan pasangan, kawasan Asiatique bisa menjadi salah satu pilihan terbaik. Pengelola menawarkan jasa Chao Phraya Dinner Cruise alias menikmati makan malam prasmanan ala hotel bintang lima di atas kapal pesiar yang melintasi Sungai Chao Phraya. Harganya sekitar Rp 300 ribu, bisa dibeli di aplikasi Traveloka atau Tiket.com. Btw ini bukan promosi ya.
Asiatique bukanlah tujuan akhir perjalanan kami hari itu. Usai menikmati keindahan Asiatique, kami pun kembali ke Saphan Taksin dan lagi-lagi menggunakan boat. Kali ini boat-nya gratis karena disediakan oleh pihak pengelola Asiatique.
ADVERTISEMENT
Sesampainya di Saphan Taksin, kami pun langsung menuju kawasan Khaosan Road dengan menggunakan 'metromini' Bangkok. Bus yang kami gunakan ini sangat mirip dengan metromini, hanya saja pintunya dibuka dan ditutup otomatis oleh sopir, mirip Transjakarta. Meski pintunya tertutup rapat, namun jendela 'metromini' ini tidak memiliki kaca. Sehingga angin dapat langsung menampar wajah, apalagi laju kendaraan sangat cepat. Tarifnya lumayan murah, hanya 20 Bath.
Tak perlu khawatir ditipu soal ongkos saat menggunakan transportasi umum di Bangkok. Semua moda transportasi umum di Bangkok memiliki tiket, jadi harga ongkos yang harus kamu bayar sudah tertera di tiket.
Di perjalanan menuju Khaosan Road, kami pun menyempatkan diri untuk singgah ke kawasan Chinatown. Tak banyak yang bisa diceritakan dari kawasan ini. Sesuai namanya, di sini tersedia berbagai makanan khas China.
ADVERTISEMENT
Dekorasi di lokasi ini didominasi dengan pernak-pernik budaya China yang berwarna merah. Sejujurnya, aku ke Chinatown hanya karena penasaran dengan tempat Lisa dan teman-temannya biasa hangout di Bangkok. Hahaha.
Lisa Blackpink waktu foto di kawasan Chinatown, Bangkok.
Dari Chinatown kami pun melanjutkan perjalanan ke Khaosan Road. Dengan berjalan kaki, kami menuju halte untuk menunggu bus. Berbeda dengan kawasan Chinatown yang bising dan ramai akan pengunjung, lokasi tempat kami menunggu bus menuju Khaosan Road sangat hening dan tenang. Padahal jaraknya kurang dari 1 km dari Chinatown.
Aku berspekulasi daerah itu merupakan kawasan tempat tinggal keluarga kerjaan atau pemerintahan Thailand. Spekulasi ini muncul karena aku melihat ada bangunan yang sangat luas dengan desain bak istana di drama-drama. Di sepanjang jalan dan pagar bangunan itu terpampang foto-foto Raja Thailand dengan ukuran super besar.
ADVERTISEMENT
Emang sih di setiap sudut Bangkok aku sering melihat poster besar atau billboard iklan yang menampilkan foto Raja Maha Vajiralongkorn, Raja Thailand yang memerintah sekarang. Tapi vibe-nya terasa sangat beda di kawasan yang aku lupa namanya itu.
Raja Maha Vajiralongkorn yang baru dinobatkan terlihat selama prosesi penobatannya, di Bangkok, Thailand. Foto: REUTERS / Soe Zeya Tun
Hanya butuh waktu sekitar lima menit untuk menuju halte yang dekat dengan Khaosan Road dari kawasan Chinatown. Jika tadi kami menggunakan 'metromini', dari halte Chinatown kami menggunakan bus mirip Transjakarta ke halte terdekat dengan Khaosan Road dan tarifnya hanya 11 Bath. Untuk menuju ke Khaosan Road, aku perlu berjalan beberapa meter lagi.
Fyi, Bangkok adalah kota ramah terhadap pejalan kaki. Menikmati Bangkok di malam hari akan lebih nyaman dengan berjalan kaki. Dengan begitu aku bisa melihat lebih dekat dan merasakan lebih dalam suasana Kota Bangkok.
Kawasan Khaosan Road di Bangkok Foto: Shutter Stock
Khaosan Road. Dari informasi yang aku dapat di internet, Khaosan Road disebut sebagai surga bagi para backpackers seluruh dunia. Alasannya, karena makanan dan barang-barang yang dijual di sini relatif murah. Kawasan ini merupakan night market yang mulai buka dan ramai dari sore hingga larut malam. Di sini pengunjungnya kebanyakan wisatawan mancanegara, sedangkan masyarakat lokalnya hanya para pedagang saja.
ADVERTISEMENT
Di Khaosan Road banyak dijual berbagai street food yang dijajakan pedagang kaki lima. Mulai dari street food biasa saja, hingga yang ekstrem bahkan terlihat menjijikkan.
Beberapa pilihan kuliner ekstremnya seperti sate buaya, kalajengking goreng, ulat sagu, hingga kecoak. Dengan motto hidup "You only live once," aku pun menantang diri mencoba kuliner itu, kecuali sate buaya karena mahal.
Bukan cuma mahal, dari semua kuliner yang aku sebutkan tadi, penampakan sate buaya yang terlihat paling menjijikkan. Bagaimana tidak, seekor buaya yang sebelumnya sudah direbus dan dikuliti, ditampilkan secara utuh di hadapan konsumen. Penjual akan memotong daging buaya, jika ada yang beli satenya. Penampakan dan proses penyajiannya mirip babi guling di Bali.
Sate Buaya Foto: Mela Nurhidayati/kumparan
Kalajengking Goreng Foto: Mela Nurhidayati/kumparan
Ulat Sagu Goreng Foto: Mela Nurhidayati/kumparan
Ulat Goreng Foto: Mela Nurhidayati/kumparan
Selain soal kuliner, Khaosan Road juga dikenal dengan massage Thailand serta nightlife-nya. Di sini banyak bar-bar yang menawarkan minuman alkohol dengan harga murah. Kerasnya suara musik dari tiap-tiap bar menambah kebisingan kawasan ini.
ADVERTISEMENT
Tapi berhubung aku dan temanku bukan party people, kami pun memutuskan untuk langsung pulang setelah mencicipi berbagai street food di Khaosan Road.
"Pusing cuy," kata temanku.
Untuk pulang ke penginapan, kami lebih memilih menggunakan jasa Grab car karena sudah terlalu malam. Untuk alternatif lain, sebenarnya ada juga tuk tuk--mode transportasi mirip bajaj--dan taksi. Namun sopir kedua angkutan ini sering menetapkan harga yang tak masuk akal, terutama untuk wisatawan asing. Jadi untuk meminimalisir penipuan tarif, Grab car jadi pilihan terbaik.
Tuk tuk. Foto: Pixabay
Hari ketiga, hari terakhir kami di Bangkok karena besok kami akan ke Pattaya (next time aku akan ceritakan petualanganku di Pattaya). Awalnya, di hari ini aku cuma pengin habiskan waktu untuk sekadar tidur di hotel, nongkrong cantik di dog cafe, dan belanja di Platinum Fashion Mall. Namun, rencana itu gagal karena temanku ngajak ke Golden Mount atau dalam Bahasa Thailand-nya Wat Saket.
ADVERTISEMENT
Dari hotel kami nginap menuju Golden Mount tergolong gampang. Kami hanya perlu menaiki boat yang biasa ngetem di seberang Platinum Fashion Mall. Ongkosnya cuma 11 Bath yang dibayarkan pada kernet wanita. Boat ini ukurannya sedikit lebih kecil daripada boat yang kami naikin saat ke Wat Arun.
"Ini bukan boat, ini mah metromini air," celetuk temanku saat kami naik boat tersebut.
Pernyataannya itu enggak salah. Pasalnya meski transportasi air, laju boat ini sangat kencang bak metromini. Maka tak mengherankan riak airnya juga sangat kencang. Dan apabila boat yang kami tumpangi berpapasan dengan boat lain yang berlawan arah, maka airnya akan masuk ke dalam boat dan bisa saja mengenai penumpang.
Boat ini akan berhenti di tempat-tempat tertentu yang bentuknya mirip halte bus untuk mengangkut atau pun menurunkan penumpang. Dan di setiap pemberhentian yang bentuknya sangat sederhana, seadanya, bahkan menjurus ke kumuh itu, selalu ada peta kawasan yang dilalui boat ini. Tak usah khawatir, petanya juga bertuliskan Bahasa Thailand dan Bahasa Inggris sehingga memudahkan turis luar.
ADVERTISEMENT
Jalur yang dilalui boat ini lebih cocok disebut semacam kanal daripada sungai karena lebarnya hanya sekitar lima meter. Di pinggir kanal, aku bisa melihat pemukiman warga yang kumuh. Mungkin karena terdapat di area pemukiman penduduk, air kanalnya berbau busuk dan kotor.
Diperlukan waktu sekitar 15 menit menggunakan boat menuju Golden Mount. Dari lokasi pemberhentian boat, kami perlu jalan beberapa meter lagi menuju Golden Mount.
Di pintu masuk, kami disambut dengan jejeran foto raja-raja yang pernah memimpin Thailand, mulai dari foto raja pertama hingga raja yang saat ini masih berkuasa. Di bawah foto masing-masing raja, juga tertera informasi mengenai tahun kepemimpinan.
Sekadar informasi, di Thailand membicarakan keluarga kerajaan merupakan sesuatu yang sensitif dan dilarang. Katanya sih jika ada turis asing atau warga lokal yang menggosipkan keluarga kerajaan, maka akan berurusan dengan pihak berwajib.
ADVERTISEMENT
Okay, kembali membahas Golden Mount. Kuil yang satu ini diidentik dengan stupa emas yang ada di puncak. Untuk mencapai stupa tersebut aku harus menaiki 318 anak tangga dan membayar tiket masuk seharga 50 Bath. Di sepanjang perjalanan menaiki tangga, terdengar lantunan doa dari biksu yang dikeluarkan melalui speaker yang letaknya di setiap sudut.
ADVERTISEMENT
Walaupun memiliki ratusan anak tangga, berjalan di sini tidak membuat kita cepat lelah sebab tangga didesain landai. Di beberapa titik juga terdapat tempat untuk beristirahat dan lonceng-lonceng serta gong. Lonceng-lonceng ini dibunyikan oleh orang-orang sambil mengucapkan doa. Dari puncak Golden Mount, aku bisa melihat sekeliling Kota Bangkok termasuk King Rama Bridge yang melintas di atas Sungai Chao Praya.
ADVERTISEMENT
Desain Golden Mount, mengingatkanku akan Taman Alam Lumbini yang terdapat di kampungku, Berastagi. Dekorasinya kedua kuil ini sama-sama didominasi dengan warna emas.
Taman Alam Lumbini di Karo, Sumatera Utara Foto: Shutter Stock
Sore hari, setelah puas nongkrong di Golden Mount, aku pun kembali ke Platinum Fashion Mall karena ingin belanja. Untuk kembali ke Platinum Fashion Mall dari Golden Mount, kami pun menggunakan rute jalur dan transportasi yang sama.
Di hari terakhir di Bangkok, aku sempat menyicipi sandwich Subway. Buat penggemar drama Korea mungkin sudah enggak asing lagi dengan sandwich ini. Kuliner ini sering jadi sponsor di drama-drama Korea. Nah, sandwich ini ternyata punya cabang di Bangkok, salah satunya ada di kawasan Platinum Fashion Mall.
Namun, terrnyata rasa sandwhich ini tak senikmat yang aku bayangkan saat menonton drama Korea selama ini. Aku kurang suka dengan sandwhich ini karena terlalu banyak sayurnya dan rasanya aneh. Untuk ukuran sandwhich seharga 120 Bath atau setara Rp 56 ribu, aku rasa ini enggak terlalu worth it. Tapi bagi temanku yang juga baru pertama kali mencobanya, sandwhich ini sangat enak. Yah, semua kembali lagi ke selera masing-masing.
ADVERTISEMENT
Dan begitulah cerita perjalananku selama tiga hari meng-explore Bangkok. Kota ini begitu seru untuk dikunjungi dan mungkin next time aku akan ke sini lagi.