Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
15 Contoh Puisi Diafan dengan Bahasa Sehari-hari
22 Februari 2025 12:39 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Dikutip dari buku Pembelajaran Puisi Untuk Mahasiswa, Mohd. Harun, 2018, kata diafan berasal dari bahasa Yunani diaphanes, yang berarti tembus pandang atau transparan.
Dalam konteks puisi, pengertian ini merujuk pada gaya penyampaian puisi Diafan yang lembut, jernih, dan sederhana, tetapi tetap kaya akan makna simbolis dan emosional.
Contoh Puisi Diafan yang Menarik
Di bawah ini ada beberapa contoh puisi diafan menggunakan bahasa sehari-hari:
1. Bayang yang Tak Hilang
Aku melihatmu di pagi yang lembut,
cahaya jatuh di matamu yang redup.
Kau tersenyum tanpa suara,
seperti angin yang menyapa tanpa menyentuh.
Aku merasakanmu di udara yang sunyi,
ada jejak langkah yang tak terlihat.
Mungkin hanya aku yang tahu,
kau ada di sini, meski tak di sisi.
ADVERTISEMENT
Kita adalah senja yang ragu,
antara tinggal atau berlalu.
Tapi meski malam menutup hari,
bayangmu tetap berpendar di hati.
2. Rintik yang Bercerita
Hujan turun pelan,
membasahi jalan yang dulu kita lewati.
Aku diam di balik jendela,
menonton waktu berjalan tanpa menoleh.
Angin membawa sisa-sisa suara,
entah itu rinduku atau hanya kenangan yang enggan pergi.
Aku coba bertanya pada rintik,
tapi jawabannya selalu sama—sunyi.
Mungkin aku yang terlalu lama berharap,
atau mungkin kau yang terlalu cepat menghilang.
Tapi hujan tahu,
tak semua yang jatuh akan kembali pulang.
3. Jejak di Pasir
Kita pernah berjalan di tepi pantai,
meninggalkan jejak yang tak bertahan lama.
Ombak datang, menghapusnya perlahan,
seperti waktu menghapus ingatan.
Aku ingin menahan pasir di telapak tangan,
ADVERTISEMENT
tapi angin selalu punya cara untuk melepaskan.
Seperti kau yang perlahan menjauh,
tak berpaling, tak memberi alasan.
Mungkin begini cara semesta bicara,
bahwa tidak semua yang datang akan tetap tinggal.
Beberapa hanya singgah sebentar,
meninggalkan jejak, lalu menghilang tanpa jejak.
4. Senja di Ujung Jalan
Kita pernah duduk di tepi senja,
menunggu matahari tenggelam di antara cerita.
Kau bicara tentang mimpi,
aku mendengarkan seperti lagu yang tak ingin selesai.
Tapi senja tak pernah lama,
ia pergi sebelum sempat kita genggam.
Seperti percakapan yang tak tuntas,
dan langkah yang akhirnya memilih arah berbeda.
Kini aku berdiri di ujung jalan,
memandang langit yang masih sama.
Tapi di antara jingga yang meredup,
kau sudah bukan bagian dari senjaku lagi.
ADVERTISEMENT
5. Langkah yang Menjauh
Kita pernah berjalan sejajar,
mengukur jalan dengan cerita.
Langkah kita seirama,
hingga diam perlahan mengambil alih suara.
Aku menoleh, kau masih di sana,
tapi jarak mulai berbicara.
Bukan tentang waktu,
tapi tentang hati yang tak lagi searah.
Mungkin ini akhirnya,
bukan dengan kata, tapi dengan sunyi.
Beberapa orang pergi tanpa pamit,
beberapa kisah usai tanpa tanda titik.
6. Bayang yang Tertinggal
Aku berjalan di jalan yang sama,
tapi bayangmu sudah tak lagi di sana.
Dulu kau ada di setiap sudut,
di tiap langkah, di tiap detik yang lewat.
Sekarang hanya angin yang menyapa,
membawa sisa-sisa suara yang samar.
Mungkin kau pergi bukan karena ingin,
tapi karena waktu memintanya begitu.
Tapi meski ragamu tak lagi di sini,
ADVERTISEMENT
kenangan masih berdiri di sudut sepi.
Tak benar-benar pergi,
hanya berubah menjadi bayang yang tertinggal.
7. Hening yang Bicara
Malam datang tanpa suara,
hanya bintang yang menggantung di langit.
Aku duduk dengan secangkir rindu,
menunggu apa yang tak akan kembali.
Tak ada pesan, tak ada sapa,
hanya hening yang bicara lewat udara.
Katanya, waktu tak bisa diputar,
dan yang pergi tak selalu bisa dijemput pulang.
Aku tersenyum di antara sunyi,
mencoba memahami yang tak ingin kupahami.
Bahwa beberapa cerita memang harus selesai,
tanpa harus tahu bagaimana akhirnya.
8. Sisa yang Tak Hilang
Kopi di mejaku sudah dingin,
tapi namamu masih hangat di pikiranku.
Dulu, kita berbincang di sudut ini,
tentang mimpi, tentang hari esok yang tak pasti.
Sekarang hanya sunyi yang menemani,
ADVERTISEMENT
kursi di hadapanku tetap kosong.
Waktu telah membawa kita pergi,
tapi entah kenapa rasanya kau masih di sini.
Mungkin bukan ragamu yang tertinggal,
hanya kenangan yang enggan pudar.
Seperti aroma kopi yang tak hilang,
meski tak lagi ada yang menyeduhnya.
9. Tak Lagi Sama
Aku melewati tempat yang dulu kita singgahi,
tapi kini rasanya berbeda.
Jalan yang dulu penuh tawa,
kini terasa sunyi, sepi, hampa.
Kau tak ada, tapi jejakmu masih terasa,
di bangku taman, di lampu jalan, di udara.
Aku ingin berpura-pura lupa,
tapi kenangan tak pernah memberi jeda.
Mungkin dunia ini masih sama,
hanya kita yang berubah arah.
Atau mungkin hanya aku yang tertinggal,
sementara kau sudah melangkah lebih jauh.
10. Pelan-Pelan Hilang
Kita dulu seperti bintang di langit,
ADVERTISEMENT
bersinar, berdampingan, saling menemani.
Tapi malam terus berjalan,
dan satu per satu cahayanya meredup.
Aku tak tahu kapan mulai terasa asing,
entah sejak kau lebih sering diam,
atau sejak aku mulai ragu,
apakah kita masih melihat arah yang sama?
Kini namamu seperti bisikan angin,
perlahan menjauh, semakin samar.
Aku tak menahan,
karena mungkin memang begitu akhirnya—
pelan-pelan hilang.
11. Sepi yang Tak Bernama
Malam datang membawa sunyi,
tanpa kabar, tanpa suara.
Aku mencoba memberi nama,
pada sepi yang kau tinggalkan.
Apakah ini rindu?
Atau hanya kebiasaan yang tak mau pergi?
Aku mencari jawaban dalam udara,
tapi yang kudapat hanya dingin yang semakin menggigit.
Mungkin sepi ini tak butuh nama,
cukup aku yang harus terbiasa.
Karena beberapa kepergian,
ADVERTISEMENT
memang tak perlu penjelasan.
12. Antara Pergi dan Tinggal
Kau berdiri di ambang pintu,
diam, tanpa kata.
Aku tahu ada perpisahan di matamu,
tapi kau masih ragu mengucapkannya.
Aku tak meminta kau bertahan,
jika hatimu sudah ingin pergi.
Aku hanya ingin tahu,
sejak kapan kita berhenti berusaha?
Langkahmu akhirnya menjauh,
dan aku tak mencoba menahan.
Bukan karena tak ingin,
tapi karena aku tahu,
beberapa orang memang hanya mampir sebentar.
13. Hujan Tanpa Payung
Aku berdiri di bawah hujan,
tanpa payung, tanpa tempat berteduh.
Dulu, kau ada di sini,
menggenggam tanganku, berbagi hangat.
Sekarang aku basah sendirian,
melihat bayangmu di kejauhan.
Mungkin kau sudah menemukan atap baru,
tempat yang lebih nyaman dari pelukku.
Aku tak marah, tak juga bertanya.
Aku hanya membiarkan hujan bicara,
ADVERTISEMENT
tentang sesuatu yang datang deras,
dan pergi tanpa sisa.
14. Cahaya yang Meredup
Kita dulu seperti lilin di kegelapan,
saling menerangi, saling menjaga.
Tapi perlahan apinya mengecil,
dan kita hanya diam, membiarkannya padam.
Bukan karena tak cinta,
bukan karena tak peduli.
Mungkin kita hanya kehabisan tenaga,
atau lupa bagaimana cara menyala.
Kini ruangan ini gelap,
dan kita tak lagi bisa melihat satu sama lain.
Bukan karena tak ada cahaya,
tapi karena kita tak lagi saling mencari.
15. Yang Tak Terucap
Ada banyak kata yang ingin kusampaikan,
tapi selalu kutahan di ujung lidah.
Takut jika kuucapkan,
mereka hanya akan jatuh sia-sia.
Kau mungkin tak pernah tahu,
betapa sering aku menulis namamu di kepalaku.
Bukan karena masih berharap,
hanya karena belum terbiasa tanpamu.
ADVERTISEMENT
Maka biarkan kata-kata ini tetap diam,
seperti kita yang kini hanya saling diam.
Karena beberapa hal memang lebih baik tak terucap,
agar tak semakin menyakitkan.
Ciri-ciri Puisi Diafan
Puisi diafan memiliki beberapa ciri khas yang membedakannya dari jenis puisi lainnya, yaitu:
1. Kesederhanaan dan Keringanan
Menggunakan kata-kata yang sederhana dan tidak berbelit-belit. Struktur puisinya cenderung ringan dan mengalir dengan alami.
2. Makna Tersirat (Transparan tetapi Dalam)
Meski terlihat sederhana, puisi ini menyimpan makna mendalam yang bisa ditafsirkan dengan berbagai cara. Menggunakan simbolisme halus untuk menyampaikan pesan.
3. Gaya Bahasa yang Lembut dan Visual
Mengandalkan metafora ringan dan imaji visual yang jelas. Kata-katanya sering menggambarkan sesuatu yang bersifat bening, jernih, atau terang.
4. Suasana Tenang dan Kontemplatif
Puisi diafan sering menghadirkan suasana damai, reflektif, dan menenangkan. Tidak menampilkan emosi yang terlalu meledak-ledak, tetapi tetap menyentuh perasaan pembaca.
ADVERTISEMENT
5. Ritme yang Mengalir
Tidak selalu terikat oleh rima atau pola tertentu, tetapi memiliki aliran yang lembut dan harmonis.
6. Menggambarkan Hal-Hal Sehari-hari dengan Keindahan Baru
Mengangkat tema sederhana dari kehidupan sehari-hari tetapi dengan sudut pandang yang segar dan penuh makna.
Contoh puisi diafan di atas sering digunakan untuk menggambarkan keindahan alam, perasaan lembut, atau filosofi hidup yang sederhana namun mendalam. (Aya)
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara diresmikan Senin (24/2). Danantara dibentuk sebagai superholding BUMN dengan tujuan mengoptimalkan kekayaan negara melalui investasi strategis. Aset yang dikelola Rp 14.659 triliun.