Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Bolehkah Puasa tanpa Sahur dan Niat? Ini Hukumnya
11 Maret 2024 18:54 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Dalam menjalankan ibadah puasa, terdapat beberapa prinsip dan tata cara yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Dua di antaranya adalah sahur dan niat. Sahur, yaitu makanan atau minuman yang dikonsumsi sebelum terbit fajar, dan niat, yaitu tekad atau kesepakatan hati untuk melaksanakan ibadah puasa pada hari tersebut, Namun, tak sedikit orang yang puasa tanpa sahur dan niat karena lupa atau bangun kesiangan.
ADVERTISEMENT
Dalam rukun puasa, niat menjadi salah satunya. Sementara sahur merupakan hal yang dianjurkan ketika berpuasa namun bukan sesuatu yang wajib atau bisa disebut sunah.
Hukum Puasa tanpa Sahur dan Niat
Dalam agama Islam, penting untuk dicatat keberadaan empat mazhab berbeda, yaitu mazhab Shafi'i,Hanafi, Maliki dan Hambali. Masing-masing mazhab ini dikaitkan dengan perspektif dan interpretasi uniknya sendiri dari berbagai aspek yang berkaitan dengan hukum Islam. Salah satu aspek yang berbeda pandangan oleh keempat mazhab ini adalah hukum tentang puasa tanpa sahur dan niat. Patut diketahui bahwa keempat mazhab ini memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Mengutip dari buku Fikih Empat Madzhab Jilid 2, Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, berikut penjelasan tentang hukum puasa tanpa sahur dan niat.
ADVERTISEMENT
1. Niat puasa menurut madzhab Asy-Syafi'i
Menurut madzhab Asy-Syafi'i, niat merupakan landasan puasa, bukan sekadar syarat sah atau wajib. Sedangkan sahur tidak sesuai dengan syarat sahnya puasa, bisa sebut juga sunah karena tidak wajib.
Niat berpuasa menurut mazhab Asy-Syafi’i harus selalu diperbaharui pada setiap hari puasa. Dan hal ini juga harus dilakukan pada malam hari, maksudnya dilakukan pada malam menjelang subuh, meskipun sudah senja, dan meskipun malam itu kita melakukan sesuatu yang dapat membatalkan puasa karena puasa hanya dihitung pada siang hari.
Menurut madzhab Asy-Syafi’i, niat puasa ditanamkan ke dalam hati dengan mengucapkan: “Saya niat puasa Ramadhan besok…” atau “Saya niat puasa nadzar besok…”.
Pada periode ini, niat puasa sunnah menurut Asy-Syafi'i boleh dilakukan kapan saja, termasuk siang hari, dengan syarat sebelum matahari tepat di atas kepala, yaitu sebelum tengah hari, dan dengan syarat belum melakukan hal yang dapat membatalkan puasa tersebut. misalnya jika sudah makan atau minum apa pun.
ADVERTISEMENT
Selain terukir dalam hati, hendaknya niat juga dibacakan secara lisan karena bacaan lisan dapat membantu dan menguatkan niat, misalnya dengan membaca: “Saya niat puasa Ramadhan besok pada bulan Ramadhan karena Allah subhanahu wa ta'ala . "
Menurut mazhab Asy-Syafi’i, niat berpuasa tidak dapat terwakilkan dengan memakan sesuatu hanya pada waktu sahur, pada suatu puasa apapun, kecuali jika saat makan itu terbetik di dalam pikirannya akan berpuasa di esok hari dan meniatkannya dengan niat puasa.
Demikian pula jika waktunya sangat mendesak dan dekat dengan waktu subuh, yaitu waktu imsak atau waktu subuh, dan dia belum makan sahur, maka makan dengan sahurnya. dianggap berniat berpuasa.
2. Niat puasa menurut madzhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, niat puasa Ramadhan merupakan syarat sahnya puasa, terlepas pada saat haid dan setelah melahirkan. Sedangkan sahur tidak menjadi syarat sahnya puasa.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, menurut madzhab Hanafi, puasa yang dilakukan tanpa niat terlebih dahulu tidak sah, sebab untuk membedakan antara puasa yang masuk dalam ibadah dengan puasa yang hanya menjadi kebiasaan atau semacamnya, misalnya untuk diet atau pengobatan.
Niat puasa menurut madzhab Hanafi dianggap cukup jika seseorang sudah terukir dalam hatinya bahwa ia akan berpuasa di bulan Ramadhan, misalnya. Namun disunnahkan baginya untuk melafalkan niat tersebut.
Sedangkan niatnya bisa dilakukan kapan saja, mulai dari matahari terbenam hingga siang hari berikutnya. Menurut hukum syariah adalah berlangsung sejak cahaya menyebar di ufuk timur, saat fajar, hingga matahari terbenam.
Jika waktu ini dibagi dua maka waktu terakhir yang dimaksudkan adalah saat matahari berada diatas kepala, sekitar jam 11.
ADVERTISEMENT
Menurut mazhab Hanafi, niat berpuasa di bulan Ramadhan harus tetap dilakukan setiap hari, namun niat tersebut sudah terlanjur tersurat ketika seseorang makan sahur, kecuali orang tersebut makan sahur dan berniat untuk tidak melakukannya.
Jika seseorang niat di awal malam, misalnya setelah shalat Isya, lalu ia membatalkan niatnya sebelum fajar, maka pembatalannya dianggap sah menurut madzhab Hanafi, untuk semua puasa.
Menurut madzhab Hanafi, niat puasa dibolehkan tanpa menyebutkan bentuk puasanya. Namun, akan lebih tepat bila berniat memasukkan jenis pelaksanaan cepat dan menginapkannya di malam hari.
3. Niat puasa menurut madzhab Maliki
Menurut pendapat mazhab Maliki, niat tidak terletak pada rukun puasa, melainkan termasuk dalam syarat sahnya. Dengan kata lain, menurut mazhab Maliki, puasa tanpa niat tidak sah, baik puasa wajib maupun puasa sunnah. Sedangkan sahur tidak termasuk dalam syarat sahnya puasa.
ADVERTISEMENT
Niat yang dibahas dalam mazhab Maliki adalah niat berpuasa, sedangkan niat mendekatkan diri kepada Allah hanya sekedar perkenalan.
Sesuai dengan niat madzhab Maliki, wajib menentukan jangka waktu puasa yang akan dilaksanakan. Apabila seseorang berniat berpuasa secara khusus, kemudian tidak yakin apakah pada saat itu ia berniat berpuasa sunnah, puasa nadzar, atau puasa qadha, maka puasa tersebut dianggap hanya sebagai puasa sunah.
Menurut mazhab Maliki, waktu niat berpuasa adalah sejak matahari terbenam hingga terbit fajar. Jika seseorang mempunyai niat di akhir, katakanlah satu detik sebelum fajar, maka niatnya masih dianggap sah.
Sebaiknya niatkan puasa lebih awal agar tidak terburu-buru, karena makan, minum, tidur dan berhubungan badan setelah niat puasa tidak memengaruhi niat tersebut.
ADVERTISEMENT
Lain halnya jika hilang akal karena hilang kesadaran atau menjadi gila setelah berniat melakukannya, maka niat berpuasa menjadi tidak sah dan harus diperbarui jika masih sesuai jadwal.
Sebaliknya, jika niat puasa dilakukan pada siang hari, menurut mazhab Maliki, maka niat makan tidak sah untuk puasa apa pun, sekalipun puasa sunah.
Menurut Mahdzab Maliki, niat puasa cukup dilakukan satu kali jika puasa dilakukan setiap hari seperti puasa Ramadhan atau puasa kafarah, dengan syarat puasanya terus menerus.
Jika puasanya terganggu, misalnya karena sakit, bepergian atau sejenisnya, maka niat berpuasa harus dijaga setiap malamnya dengan tetap dalam keadaan tersebut. Setelah benar-benar pulih atau tidak bepergian, satu niat saja sudah cukup untuk puasa berikutnya.
ADVERTISEMENT
Apabila puasa Ramadhan diqadha, atau puasa yang tidak dilakukan setiap hari, maka menurut mazhab Maliki, niat puasanya harus dilakukan setiap malam, hanya satu kali sehari pada malam pertama saja tidak cukup.
Menurut mazhab Maliki, niat berpuasa juga sepenuhnya diungkapkan dengan niat yang sah yaitu makan sahur, meskipun niat berpuasa tidak terpikirkan sama sekali saat makan sahur, tentunya kita bisa melihatnya jika seseorang telah makan sahur maka makan itu berarti berniat berpuasa.
Ketika ada seseorang bertanya untuk apa makan pada jam segini (jam sahur), lalu dijawab "Sedang bersahur untuk melakukan puasa di esok hari," itu sudah cukup sebagai niat puasa.
4. Niat puasa menurut madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali, niat puasa merupakan syarat sahnya puasa, selain tidak adanya darah haid dan darah nifas. Sahur bukan syarat sah berpuasa.
ADVERTISEMENT
Niat puasa bisa dilakukan kapan saja mulai dari magrib hingga terbit fajar untuk puasa wajib, sedangkan untuk puasa sunnah niatnya bisa dilakukan bahkan setelah zuhur, asalkan tidak melakukan hal apapun yang dapat membatalkan puasa, misalnya makan atau minum terlebih dahulu.
Apabila hendak berpuasa, menurut madzhab Hambali, seseorang harus menentukan jangka waktu puasa yang akan dilaksanakan, misalnya ingin berpuasa pada bulan Ramadhan atau puasa lainnya, namun tidak termasuk kewajiban tersebut.
Itulah penjelasan tentang hukum puasa tanpa sahur dan niat menurut keempat dalam islam. Dalam menjalankan ibadah puasa, sahur dan niat memiliki peran penting dalam memperkuat kualitas ibadah tersebut. Namun, bagi sebagian orang, terkadang kondisi tertentu membuat mereka tidak mampu untuk sahur atau terlupa untuk berniat sebelum memulai puasa.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, perlu diingat bahwa dalam Islam, niat merupakan bagian esensial dari ibadah puasa, karena dengan niatlah seseorang menegaskan tekadnya untuk menjalankan puasa sebagai ibadah kepada Allah Swt.(ADI)