Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hukum Memberi Upah Daging Kurban kepada Tukang Jagal
20 Mei 2024 19:19 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Apa hukum memberi upah daging kurban kepada tukang jagal? Pertanyaan ini sering muncul ketika Iduladha menjelang atau pun saat penyembelihan kurban berlangsung.
ADVERTISEMENT
Jika melihat kalender yang dikeluarkan setkab.go.id, IdulAdha ditandai pada tanggal 17 Juni 2024, terapi perkiraannya antara 16 atau 17 Juni 2024.
Ada baiknya sisa waktu tersebut dijadikan waktu untuk mendalami lagi mengenai kurban dan Iduladha. Mengingat tidak sedikit umat Muslim yang belum memahami hukum berkurban dan apa saja larangannya.
Hukum Memberi Upah Daging Kurban kepada Tukang Jagal, Ini Penjelasannya
Sebelum membahas hukum memberi upah daging kurban kepada tukang jagal, pahami dahulu apa sebenarnya ibadah kurban itu.
1. Makna Ibadah Kurban
Ibadah kurban bukan hanya ritual belaka, tetapi juga memiliki makna vertikal dan horizontal. Makna vertikalnya adalah spiritual, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablum minallah) sebagai wujud ketaqwaan dan keimanan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
ADVERTISEMENT
Sedangkan makna horizontalnya mencakup dimensi sosial, di mana daging hewan kurban dibagikan kepada sesama sebagai upaya untuk mensejahterakan umat.
Ibadah kurban merupakan ibadah sunnah yang dilaksanakan setelah sholat Iduladha atau selama hari Tasyrik pada tanggal 10-13 Dzulhijjah.
Kurban adalah salah satu syi'ar Islam yang mulia dan merupakan salah satu bentuk ketaatan yang paling utama.
Ibadah kurban mencerminkan keikhlasan dalam beribadah hanya kepada Allah serta sebagai bentuk ketundukan terhadap perintah dan larangan-Nya. Oleh karena itu, setiap muslim yang memiliki rezeki lebih dianjurkan untuk berkurban.
Menyembelih hewan kurban dianjurkan dilakukan sendiri oleh orang yang berkurban, terutama jika orang tersebut adalah laki-laki dan mampu melakukannya dengan baik.
Namun, jika yang berkurban adalah seorang perempuan, maka disarankan untuk diwakilkan, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
وَيُسَنُّ أَنْ يَذْبَحَ الْأُضْحِيَّةَ الرَّجُلُ بِنَفْسِهِ إنْ أَحْسَنَ الذَّبْحَ لِلِاتِّبَاعِ .أَمَّا الْمَرْأَةُ فَالسُّنَّةُ لَهَا أَنْ تُوَكِّلَ كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ
"Wa yusannu an yadhbaḥa al-uḍḥiyyata ar-rajulu binafsihi in aḥsana adh-dhabḥa lil-ittibāʿ. Ammā al-marʾatu fas-sunnatu lahā an tuwakkila kamā fī al-Majmūʿ."
Artinya: Dan disunahkan laki-laki untuk memotong hewan kurbannya sendiri jika ia memang dapat melakukannya dengan baik karena mengikuti Rasulullah saw.
Adapun perempuan maka sunah baginya untuk mewakilkannya sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab al-Majmu’. (lihat, Muhammad Khatib asy-Syarbini, al-Iqna` fi Halli Alfazhi Abi Syuja`, Beirut-Dar al-Fikr, 1415 H, juz, II, halaman: 588)
Dalam budaya masyarakat, prosesi ibadah kurban sering dilakukan oleh tukang jagal, dan kadang dibentuk tim khusus untuk menangani pembersihan, pengulitan, pemotongan, serta pembagian daging hewan kurban.
ADVERTISEMENT
Tukang jagal atau tim ini biasanya menerima upah dari orang yang berkurban, dan upah tersebut sering berupa daging hewan kurban. Bagaimana hukum mengenai pemberian upah tersebut?
2. Hukum Memberi Upah Daging Kurban kepada Tukang Jagal
Orang yang berkurban boleh memberikan atau membayar upah kepada tukang jagal atau tim yang mengurus hewan kurban.
Namun, upah ini harus dibayarkan dengan harta lain, bukan dengan daging hewan kurban. Akan tetapi, jika orang yang berkurban memberikan daging atau kulit hewan kurban kepada panitia kurban yang juga bertindak sebagai tim jagal dengan niat sedekah, maka hal itu diperbolehkan.
Syekh M. Ibrahim Al-Baijuri berpendapat bahwa orang yang berkurban tidak boleh memberikan bagian dari hewan kurban kepada tim jagal dengan niat sebagai upah. Namun, jika pemberian tersebut dimaksudkan sebagai sedekah atau hadiah, maka hal itu diperbolehkan.
ADVERTISEMENT
ـ(ويحرم أيضا جعله أجرة للجزار) لأنه في معنى البيع فإن أعطاه له لا على أنه أجرة بل صدقة لم يحرم وله إهداؤه وجعله سقاء أو خفا أو نحو ذلك كجعله فروة وله إعارته والتصدق به أفض
"Wa yuharrimu ayyadan ja'alahu ajratan liljazari, li'annahu fi ma'na al-bay'i, fa'in a'tahu lahu la 'ala annahu ajratun bal sadaqah lam yuharrim, wa lahu ihda'uhu wa ja'lahu suqaa aw khifaan aw nahw dhalik ka ja'lahu furwatan wa lahu i'aratahu wa at-tasaddaqu bihi afda."
“(Menjadikan [daging kurban] sebagai upah bagi penjagal juga haram) karena pemberian sebagai upah itu bermakna ‘jual’.
Jika kurbanis memberikannya kepada penjagal bukan dengan niat sebagai upah, tetapi niat sedekah, maka itu tidak haram. Ia boleh menghadiahkannya dan menjadikannya sebagai wadah air, khuff (sejenis sepatu kulit), atau benda serupa seperti membuat jubah dari kulit, dan ia boleh meminjamkannya.
ADVERTISEMENT
Tetapi menyedekahkannya lebih utama,” (Lihat Syekh M Ibrahim Baijuri, Hasyiyatul Baijuri, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz II, halaman 311).
Imam Nawawi dalam mazhab Syafi'i mengatakan bahwa berbagai sumber teks redaksional menyatakan bahwa menjual atau menggunakan hewan kurban sebagai upah, termasuk daging, kulit, tanduk, dan rambutnya, semuanya tidak diperbolehkan.
اتفقت نصوص الشافعي والاصحاب على انه لا يجوز بيع شئ من الهدي والاضحية نذرا كان أو تطوعا سواء في ذلك اللحم والشحم والجلد والقرن والصوف وغيره ولا يجوز جعل الجلد وغيره اجرة للجزار بل يتصدق به المضحي والمهدي أو يتخذ منه ما ينتفع بعينه كسقاء أو دلو أو خف وغير ذلك
"Atfaktu nusus ash-Shafi'i wal-ashhabu 'ala annahu la yajuz bay'u shay'in min al-hadiyi wal-adhihiya nathran kana aw tatawwu'an sawaa fi dhalika al-lahmi wal-shahmi wal-jildi wal-qarni wal-suwfi wa ghayrihi wa la yajuz ja'lul jildi wa ghayrihi ajratan lil-jazari bal yatasaddaqu bih al-mudhahi wal-muhdi aw yatakhadhu minhu ma yantafi'u bi'inihi kasaqqa' aw dalwin aw khifin wa ghayr dhalik."
ADVERTISEMENT
Beragam redaksi tekstual madzhab Syafi'i dan para pengikutnya mengatakan, tidak boleh menjual apapun dari hadiah (al-hadyu) haji maupun kurban baik berupa nadzar atau yang sunah. (Pelarangan itu) baik berupa daging, lemak, tanduk, rambut dan sebagainya.
Dalam literatur yang lain juga menyebut bahwa tidak diperbolehkannya daging hewan kurban sebagai upah
وَيَحْرُمُ الْإِتْلَافُ وَالْبَيْعُ لِشَيْءٍ من أَجْزَاءِ أُضْحِيَّةِ التَّطَوُّعِ وَهَدْيِهِ وَإِعْطَاءُ الْجَزَّارِ أُجْرَةً مِنْهُ بَلْ هُوَ عَلَى الْمُضَحِّي وَالْمُهْدِي كَمُؤْنَةِ الْحَصَادِ
"Wayahrumu al-ithlafu wal-bay'u li shay'in min ajza'i udhiyyati at-tatawwu'i wahaddihi wa i'ta'u al-jazzari ujratan minhu bal huwa 'ala al-mudhahhi wal-muhdi kamumunati al-hasadi."
“Haram menghilangkan atau menjual sesuatu yang termasuk bagian dari hewan kurban sunah dan hadyu, dan haram pula memberi upah tukang jagalnya dengan sesuatu yang menjadi bagian hewan kurban tersebut. Tetapi biaya tukang jagal menjadi beban pihak yang berkurban dan yang ber-hadyu sebagaimana biaya memanen”. (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarh Raudl ath-Thalib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1422 H/2000 M, juz, I, hlm. 545)
ADVERTISEMENT
3. Dalil Dilarangnya Memberi Upah dengan Daging Kurban
Dilarang memberikan daging kurban sebagai bayaran kepada tukang jagal atau pihak lainnya. Ibadah kurban adalah bentuk pengorbanan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, sehingga hewan kurban tidak boleh diambil kembali sebagai upah. Sebagian daging kurban harus dibagikan kepada sesama, sementara sebagian lainnya dapat dimakan oleh keluarga untuk mendapatkan berkah.
وَلِأَنَّهُ إنَّمَا أَخْرَجَ ذلك قُرْبَةً فَلَا يَجُوزُ أَنْ يَرْجِعَ إلَيْهِ إلَّا ما رُخِّصَ لَهُ فِيهِ وَهُوَ الْأَكْلُ وَخَرَجَ بِأَجْرِهِ إعْطَاؤُهُ منه لِفَقْرِهِ وَإِطْعَامُهُ مِنْهُ إنْ كان غَنِيًّا فَجَائِزَانِ
"Wa li-annahu innama akhrajadhalika qurbatan fala yajuzu an yarji'a ilayhi illa ma rukkhisa lahu feehi wa huwa al-aklu wa kharaja bi-ajrihi i'ta'uhu minhu li-faqrihi wa it'amu minhu in kana ghaniyyan fajaizan."
“Karena ia (orang yang berkurban) mengeluarkan kurbannya itu untuk mendekatkan diri kepada Allah (ibadah). Maka ia tidak boleh menarik kembali kurbannya kecuali apa yang telah diperbolehkan yaitu memakannya” (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib Syarh Raudlath-Thalib, juz, I, hlm. 545)
ADVERTISEMENT
Pada intinya, jika seseorang mengambil daging atau kulit hewan kurban untuk memberikan kepada penjagal sebagai upah, maka itu dianggap seperti menarik kembali hewan kurban itu sendiri.
Hal ini karena ada bagian dari hewan kurban yang diambil untuk membayar penjagalnya, padahal hewan kurban itu disembelih sebagai bentuk ibadah kepada Allah Swt.
Pastinya dalam menyikapi keputusan ini ada banyak perbedaan pendapat mengingat ada beragam pemikiran imam mujtahid.
Perbedaan tersebut sunnatullah. Seperti Rasulullah Saw mengajarkan dalam haditsnya yang berbunyi “ikhtilafu ummati rahmah,” yang artinya perbedaan umatku merupakan sebuah rahmat.
Jadi, sudah semestinya rahmat itu dimaknai dengan saling melengkapi, membangun dan memperbaiki, bukan menjadi perpecahan.
Semoga artikel ini bisa membantu dalam memberi wawasan mengenai pertanyaan bagaimana hukum memberi upah daging kurban kepada tukang jagal. (Andi)
ADVERTISEMENT