Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Kisah Imam Syafii, Pencetus Mazhab dan Pejuang Ilmu yang Gigih
27 Mei 2024 14:22 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, Imam Syafi'i merupakan imam besar dengan pengikut terbanyak, yang mazhabnya menjadi landasan pemikiran masyarakat muslim (Azkiya et.al., Perkembangan Mazhab Syafi’i Sebagai Landasan Pemikiran Masyarakat Indonesia: 210).
Dengan demikian, segala kisah yang tertuang di balik fatwa-fatwa Imam Syafi'i menjadi penting untuk dipelajari. Hal ini tentunya berkaitan dengan nasab ilmu yang menjadi landasan, serta kisah juang yang dapat membangun keimanan.
Kisah Imam Syafii
Mempelajari kisah hidup salah satu imam besar dari empat imam mazhab tersebut, Imam Syafi’i, dapat menjadi wujud upaya mengenal sang imam beserta keilmuwannya.
Simak kisah Imam Syafii dari mulai latar belakang hingga wafatnya, berikut ini:
1. Latar Belakang Imam Asy-Syafi’i
Imam Syafi’i merupakan pendiri Mazhab Syafi’i, yaitu mazhab fikih yang banyak pengikutnya. Beliau adalah satu-satunya imam mazhab dari keturunan Bani Muthalib, yang nasabnya tersambung sampai Rasulullah, melalui Abdul Manaf.
ADVERTISEMENT
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi'i bin Said bin ubaid bin Abdul Yazid bin Hasyim bin Muthalib Bin Abdul Manaf. Beliau lahir di Gaza, tahun 150 H, bersamaan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.
Imam Syafi’i kecil dibesarkan di Askolan, sebuah kota yang berjarak sekitar 15 km dari Gaza, yang dihuni oleh suku-suku dari Yaman. Imam Syafi'i dibesarkan dalam keluarga yang berkekurangan (miskin) dan ayahnya meninggal saat ia berusia 2 tahun.
Karena khawatir akan keselamatan Syafi'i kecil dan garis keturunannya, sang Ibu akhirnya membawanya hijrah ke tanah leluhurnya, Mekkah, agar lebih dekat dengan keluarga besarnya. Ibunya bernama Fatimah binti Abdullah al-Azdiyah, dari suku Azd.
ADVERTISEMENT
2. Awal Proses Pencarian Ilmu Sang Imam
Imam Syafi'i tumbuh dalam kemiskinan dan kesulitan hidup, sehingga saat mencari ilmu, ia terpaksa menulis pada pecahan lantai, kulit binatang, daun palem, dan tulang binatang, karena ia tidak mampu membeli kertas.
Ketika usia 7 tahun, beliau telah menghafal seluruh bacaan Al-Quran. Dari sana, ia mulai belajar dan menghafal hadis nabi. Untuk itu, imam Syafi’i pergi ke daerah pedalaman dan tinggal selama 10 tahun bersama suku Hudzail, untuk mempelajari tata bahasa Arab.
Di sana, Imam Syafi'i menghafal puisi dan kisah-kisah suku Hudzail, yaitu salah satu Suku Arab yang fasih dalam berbahasa. Ia juga belajar memanah dan menjadi sangat mahir, sehingga ia dapat mengenai sasaran dengan 10 anak panah secara berturut-turut.
3. Ketertarikan Sang Imam Pada Ilmu Fikih
Awalnya, Imam Syafi'i cenderung tertarik pada puisi dan sastra Arab. Namun, pertemuannya dengan Muslim bin Khalid Al-Zanji, seorang Mufti Mekkah, berhasil mengubah keinginannya, sehingga beliau mulai memperdalam ilmu fikih.
ADVERTISEMENT
Sejak saat itu, Syafi'i muda belajar fikih dan agama kepada Muslim bin Khalid Al-Zanji. Tak lama kemudian, beliau sudah menguasai banyak ilmu fikih, sehingga sang guru memberinya izin untuk memberikan fatwa meskipun usianya masih belia.
Selain berguru kepada Muslim bin Khalid Al-Zanji, Imam Syafi'i juga berguru pada ulama-ulama Mekkah lain, di antaranya Sufyan bin Uyainah Daud bin Abdirrahman Al Athar Abdul Majid bin Abdul Aziz al-Azhadi, Saidi bin Salim al-Qaddah, dan Ismail Bin Qashthantin.
4. Persiapan Imam Syafi’I Berguru pada Imam Malik
Imam Syafi'i belum merasa puas dengan apa yang telah dicapainya, kemudian ia mendengar kabar tentang Malik bin Anas, Imam Darul Hijrah pendiri mazhab Maliki, yang telah mencapai tingkat kemuliaan dalam bidang ilmu dan hadis.
Hal ini membuat Syafi'i muda memutuskan untuk berhijrah ke Madinah, guna menuntut ilmu kepada Imam Malik. Namun, sebelumnya, beliau mempelajari tentang imam Malik melalui kitab “Muwatta” yang ia pinjam dari seorang pria Mekkah.
ADVERTISEMENT
Bahkan, dalam riwayat lain, ia menghafal kitab tersebut, guna mempersiapkan diri menemui sang guru yang diketahui sangat sibuk itu. Syafi'i muda akhirnya pergi menemui Imam Malik dengan membawa sebuah surat rekomendasi dari Gubernur Mekkah.
5. Imam Syafi’I sebagai Murid Imam Malik
Hijrahnya Syafi’i muda kali ini membuat beliau meneguhkan hati untuk mendalami fikih secara keseluruhan. Hari pertama menemui imam Malik, sang imam memberikannya pujian serta nasihat, tentang cahaya Allah di hati Syafi’i dan nasihat untuk menghindari dosa.
Imam Malik meminta Syafi’i untuk datang kembali di esok hari. Di hari ke dua itu, ia diminta untuk membacakan kitab yang ia bawa. Dikisahkan, bahwa imam Malik terpesona dengan keterampilan membaca beliau, sampai Syafi’i diminta membaca beberapa hari.
Selama berguru pada Imam Malik, Imam Syafi’i memperdalam ilmu hadisnya, dengan cara meriwayatkan, mempelajari, dan mengkaji masalah-masalah yang imam Malik fatwakan. Beliau menekuni hal itu hingga sang guru wafat, pada tahun 179 H.
ADVERTISEMENT
6. Imam Syafi’i menjadi Hakim di Yaman
Setelah imam Malik wafat, imam Syafi’i dipercayai untuk bekerja sebagai hakim di Yaman, berkat kegigihannya berguru pada berbagai ulama , termasuk imam Malik. Di samping menjadi hakim, imam Syafi’i juga berguru pada beberapa ulama di Yaman.
Setelah 2 tahun bekerja, beliau sempat dituduh memberontak dan masuk dalam daftar 9 orang Alawiyyin (oposisi Abbasiyah), sebab kondisi politik Yaman yang memanas. Karenanya, imam Syafi’i pun diperintahkan untuk menghadap pada penguasa Abbasiyah saat itu.
Untuk menemui sang penguasa, Sultan Harun Ar-Rasyid, beliau melakukan perjalanan menuju Irak pada tahun 184 H. Namun, pada akhirnya beliau dibebaskan dari tuduhan, berkat usahanya dan rekomendasi Muhammad bin Hasan As-Syaibani.
Muhammad bin Hasan As-Syaibani merupakan murid terbaik dari imam Abu Hanifah yang saat itu menjabat sebagai qadi pada pemerintahan Abbasiyah. Beliau menyatakan pengetahuannya tentang Imam Syafi’i yang alim dan tidak sesuai dengan tuduhan.
7. Hijrahnya Imam Syafi’i ke Kota Baghdad
ADVERTISEMENT
Setelah dibebaskan, Imam Syafi'i memutuskan untuk tinggal di Baghdad, pada usia 34 tahun. Beliau belajar di bawah bimbingan Muhammad Bin Hasan As-Syaibani untuk mempelajari mazhab Hanafi atau Ahlul Ra’yi.
Pada masa ini, beliau akhirnya menggabungkan fikih Hijaz, yang didominasi tradisi, dengan fikih Irak, yang didominasi akal. Sebab itu, imam Syafi’i dikenal sebagai salah satu dari para imam fikih yang menggabungkan kedua pendekatan tersebut.
Selama di Baghdad, sang imam juga belajar dengan ulama-ulama lainnya, seperti Kiyas bin Al-Jarrah al-Kufi dan Ismail bin Atiyah al-Bashri. Di sela-sela proses belajar tersebut, beliau kerap mengunjungi Mekkah dan mengadakan kajian di sana.
8. Pertemuan Imam Syafi’i dengan Imam Ahmad
Dalam suatu riwayat, imam Syafi’i bertemu dengan imam Ahmad bin Hambal muda saat beliau mengadakan kajian di Mekkah. Saat itu, keduanya terlibat percakapan, sebab awalnya imam Syafi’i merasa asing dengan kehadiran imam Ahmad muda pada kajiannya.
ADVERTISEMENT
Dari percakapan tersebut, diketahuilah bahwa imam Ahmad muda ini berasal dari Baghdad dan mencari ilmu di Mekkah, sehingga keduanya saling mendoakan karena berasal dari kota yang sama, yaitu kota yang menjadi saksi kekhalifahan umat Islam .
Imam Ahmad mempelajari keterkaitan beberapa hadis yang beliau kurang fahami kepada imam Syafi’i, salah satunya tentang puasa arafah. Pada riwayat lain, dikatakan bahwa imam Ahmad beberapa kali menceritakan tentang imam Syafi’i dan mengutip riwayatnya.
9. Kembalinya Imam Syafi’i ke Mesir
Sebelum berangkat ke Mesir, imam Syafi’i sempat ditawari untuk menjadi hakim pada Dinasti Abbasiyah, setelah kepemimpinannya beralih pada Al-Makmun. Namun, sang imam menolak tawaran tersebut dan memilih untuk melanjutkan penyebaran ilmu.
Pada masa ini, dikisahkan bahwa imam Syafi’i menyatakan kerinduan hatinya yang mendalam pada tanah Mesir, meski ia tak tahu pasti apa yang ia rindukan, antara kekayaan serta kemewahan ataukah kematian yang menjemputnya.
ADVERTISEMENT
Tahun 199 H menjadi tahun hijrahnya imam Syafi’i ke Mesir. Beliau tinggal selama 5 tahun di sana dan menyebarluaskan karyanya, meninggalkan kenangan baik dan memperoleh keberhasilan, karena popularitas, kecintaan orang-orang, serta penyebaran mazhabnya.
10. Kisah Wafatnya Imam Syafi’i
Setelah mendapatkan keberhasilan dalam menebarkan ilmunya itu, imam Syafi’i kemudian jatuh sakit, dan penyakitnya semakin parah waktu demi waktu. Pada akhirnya, beliau pun meninggal dunia, pada malam Kamis setelah maghrib.
Pada saat itu, usianya menginjak angka 54 tahun, dan bertepatan dengan akhir malam bulan Rajab, tahun 204 H atau 820 M. Beliau wafat ketika berada di rumah Abdullah bin Hakam, seseorang yang juga mewasiatkan dan mengurus pemakamannya.
Imam Syafi’i dimakamkan pada hari Jumat, di makam keluarga bernama Al-Hakam di Al-Qarafa As-Sughra. Makam tersebut kemudian dibangunkan kubah pada masa kesultanan Salahuddin Al-Ayyubi, sekitar tahun 575 H atau 1179 M.
ADVERTISEMENT
Selain itu, di sampingnya juga dibangun sebuah Madrasah bernama “As-Salahiyah,” yang di pintu masuknya tertulis beberapa kalimat pengenalan sekaligus pujian tentang sang imam. Tempat ini kemudian dijadikan sebagai pusat penyebaran mazhab Syafi'i.
(Sumber kisah: Youtube, Jelajah Zaman Official, Imam Syafi’i – Kisah Perjuangan Menuntut Ilmu Ulama Terkemuka Pendiri Madzhab Syafi’i)
Demikian ulasan mengenai kisah imam Syafii, seorang pencetus mazhab dan pejuang ilmu, yang dapat pembaca simak. Jangan lupa untuk mempelajari kisah-kisah lainnya, agar wawasan dan keimanan semakin meningkat. Wallahu A’lam.