Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Konsep Uang dalam Islam dan Panduan Transaksinya
13 Juli 2023 9:10 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Konsep uang dalam Islam didefinisikan sebagai alat tukar pada kegiatan muamalah. Uang bukanlah komoditas dan kepemilikan pribadi, melainkan alat yang dipakai untuk dalam kegiatan perdagangan.
ADVERTISEMENT
Mengutip jurnal Konsep Uang: Ekonomi Islam vs Ekonomi Konvensional susunan Santi Endriani (2015), perbedaan konsep uang dalam Islam dan pandangan konvesional bisa dilihat dari statusnya. Uang dalam Islam tidak identik dengan modal. Uang diposisikan sebagai public goods yang status kepemilikannya bisa dimiliki oleh siapa saja.
Maka, orang yang menimbun uang dan memperkaya diri dengan uang itu tidak diperkenankan dalam Islam. Selain mencerminkan sikap serakah, menimbun uang juga bisa mengakibatkan tidak jalannya perekonomian secara menyeluruh.
Penimbunan uang dapat mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Para pakar ekonomi Islam telah membahas masalah ini lebih lanjut dalam bab-bab kajian mereka.
Konsep Uang dalam Islam dan Pengaplikasiannya
Dalam Islam, uang diposisikan sebagai aset bersama (public goods). Dijelaskan dalam buku Ekonomi Makro Islam karya Eko Sudarmanto, dkk., segala bentuk kepemilikan pribadi, termasuk uang, hanya bisa diakui dalam batas-batas tertentu.
ADVERTISEMENT
Para ulama menyebut bahwa Islam tidak mengakui pendapatan (uang) yang diperoleh secara tidak sah. Maka, untuk mendapatkannya, seorang Muslim harus bekerja keras dan tidak boleh mengandalkan sesuatu yang haram.
Kepemilikan kekayaan tidak boleh hanya dimiliki oleh sebagian kecil orang. Uang seharusnya berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam hal ini, Islam menjamin kepemilikan masyarakat untuk dialokasikan pada kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari oleh hadits Rasulullah SAW.
Ali bin Ja’di al-Lu’lui menceritakan kepada kami, dikabarkan dari Hariz bin Utsman, dari Hibban bin Zaid al-Syar‟abi, dari seorang laki-laki pada awal tahun hijrah, diceritakan oleh Musaddad, oleh Isa bin Yunus, oleh Hariz bin Utsman, oleh Abu Khidzasy, dan lafadz ini adalah lafadz Musaddad, sesungguhnya dia telah mendengar dari salah seorang sahabat Nabi pada perang berkata, Nabi Saw bersabda: “Orang-orang muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, rumput, dan api” (HR. Abu Daud)
ADVERTISEMENT
Melalui hadits tersebut, dapat dipahami bahwa sejatinya semua orang di dunia ini memiliki kesempatan yang sama. Apabila seorang Muslim dikaruniai harta dan uang yang berlimpah, maka ia diwajibkan untuk membayar zakat setiap tahun.
Baca juga: Alasan Ekonomi Syariah Melarang Adanya Riba
Zakat tersebut harus dibayarkan apabila kekayaan sudah mencapai batas (nisab). Apabila tidak mau berzakat, maka ia akan mendapatkan azab yang pedih di akhirat kelak. Allah SWT berfirman dalam Surat At-Taubah ayat 34 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orangorang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.”
ADVERTISEMENT
Saat mentransaksikan uang, umat Muslim juga dilarang untuk melakukan riba dalam segala bentuknya. Misalnya riba fadhl, riba yad, riba nasi’ah, riba qardh, dan riba jahiliyah.
(MSD)