Pengertian Hukum Makruh, Jenis, dan Contoh Perbuatannnya

Kabar Harian
Menyajikan beragam informasi terbaru, terkini dan mengedukasi.
Konten dari Pengguna
1 April 2024 12:30 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi hukum makruh. Foto: pexels.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi hukum makruh. Foto: pexels.com.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hukum makruh merupakan hukum syariat Islam yang perlu dipahami seorang muslim. Memahami hukum tersebut membantu muslim untuk mencegah dirinya menghindari hal-hal yang dianggap haram.
ADVERTISEMENT
Dalam Islam, hukum makruh termasuk dalam jenis hukum Taklifi. Itu merupakan firman Allah SWT atau sunah Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang tuntutan atau perintah, larangan, dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya.
Agar lebih paham tentang hukum makruh dalam syariat Islam, simaklah artikel ini sampai selesai. Akan dijelaskan pengertian, jenis, dan contoh perilaku yang memiliki hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Pengertian Hukum Makruh

Ilustrasi pengertian hukum makruh. Foto: pexels.com.
Berdasarkan buku dengan judul Perbandingan Sistem Hukum dalam Konteks Global yang disusun oleh Budi Pramono, dkk., ditinjau dari segi bahasa, kata makruh artinya yang dibenci atau tidak disukai.
Pengertian hukum makruh adalah suatu perbuatan apabila ditinggalkan akan lebih baik daripada mengerjakan perbuatan tersebut. Para ulama mendefinisikan hukum tersebut sebagai larangan untuk melakukan suatu perbuatan.
ADVERTISEMENT
Namun, hukum ini tak bersifat pasti seperti hukum wajib. Alasannya tak ada dalil yang menunjukkan perbuatan tersebut masuk dalam kategori haram.
Orang yang meninggalkan larangan itu berarti ia telah berhati-hati dan layak mendapat pahala. Sementara bagi yang melakukan perbuatan tersebut atau tak meninggalkan larangan itu tak akan mendapat dosa karena tak bersifat haram.

Cara Mengetahui Hukum Makruh dalam Suatu Dalil

Ilustrasi cara mengetahui hukum makruh. Foto: unsplash.com.
Mengutip jurnal dengan judul Ahkam Al Khams dalam Dinamika Pemikiran Hukum Islam dan Perubahan Sosial yang disusun oleh Sahlul Fuad, berikut sejumlah ketentuan untuk mengetahui hukum makruh dalam suatu dalil hadist maupun kitab para ulama:
ADVERTISEMENT

Jenis-Jenis Hukum Makruh

ilustrasi jenis-jenis hukum makruh. Foto: pexels.com.
Menyadur buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam karya Iwan Hermawan, para ulama sepakat membagi hukum makruh menjadi dua jenis, yaitu makruh tahrim dan makrum tanzih. Berikut penjelasannya dan contoh perbuatannya.

1. Makruh Tahrim

Makruh Tahrim adalah sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti, karena didasarkan pada dalil zhanni atau hal tersebut masih mengandung keraguan. Beberapa contoh perilaku yang termasuk dalam jenis makruh tahrim, yaitu:
a. Memakai perhiasan emas dan kain sutera bagi laki-laki
Alasan dari larangan ini adalah pemakaian perhiasan emas dan memakai kain sutera dinilai sebagai tindakan yang menyerupai kaum wanita serta meninggalkan kejantanan maupun karisma laki-laki.
Dalam suatu hadis riwayat Abu Daud dan An-Nasai, dari Ali bin Abi Thalib berkata:
ADVERTISEMENT
“Aku melihat Rasulullah SAW mengambil sutera dan meletakkannya di sebelah kanan beliau. Lalu beliau mengambil emas dan meletakkannya di sebelah kiri. Rasulullah kemudian bersabda, ‘Kedua ini haram bagi lelaki umatku."
Dalam kitab Busyrol Karim, laki-laki muslim disunahkan oleh Rasulullah memakai cincin dari perak, baik itu di jari kelingking kiri maupun kanan. Sehingga dapat disimpulkan, laki-laki boleh memakai perhiasan asalkan tak terbuat dari baham emas.
b. Larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain
Adanya larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain bertujuan agar tak terjadi permusuhan antara dua peminang. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW dari Uqbah bin Umar, bahwasannya Rasulullah bersabda:
“Orang mu’min adalah saudara orang mu’min yang lain. Maka tak halal bagi orang mumin menjual barang yang sudah dibeli saudaranya, dan tak halal pula meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya, sehingga saudara itu meninggalkannya.” (HR. Al-Bukhari)
ADVERTISEMENT
c. Berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan saat puasa
Larangan berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan saat puasa dikhawatirkan akan masuk rongga kerongkongan dan tertelan. Para ulama mengatakan hukum berkumur saat berpuasa sama dengan hukum memasukkan air ke hidung saat berwudu.
Hal tersebut didasarkan pada hadits yang diterangkan oleh Laqith bin Shabrah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Sempurnakanlah wudu dan basahi sela jari-jari. Perbanyaklah dalam istinsyaq (memasukkan air ke hidung) kecuali jika sedang berpuasa.” (HR. Arab’ah dan Ibnu Khuzaimah yang menshahihkannya)
Jika dilihat dari redaksi hadits di atas, hukum berkumur saat puasa bersifat tafsil. Maksudnya, jika berkumur saat puasa tak dilakukan berlebihan maka tak membatalkan puasa. Namun, jika dilakukan hingga masuk ke dalam kerongkongan, puasa tersebut menjadi batal.
ADVERTISEMENT

2. Makruh Tanzih

Makruh Tanzih adalah sesuatu yang dianjurkan untuk ditinggalkan, tapi tak bersifat pasti. Alasannya tak ada dalil yang menunjukkan atas haramnya perbuatan tersebut.
Para ulama berpendapat pelaku yang berbuat sesuatu yang bersifat makruh tanzih tidak tercela, sementara yang meninggalkannya memiliki sifat terpuji. Contohnya, yaitu:
a. Makan daging dan minum susu kuda
Ulama Hanafiyah menganggap bahwa makan daging maupun minum susu kuda bersifat haram, Namun, jika dibutuhkan sebagai amunisi perang maka dibolehkan tetapi dianggap makruh.
b. Makan dan minum sambil berdiri
Mengutip kemenag.go.id, praktik makan dan minum sambil berdiri disinggung dalam sejumlah hadis Nabi Muhammad SAW. Larangan ini tampak jelas dalam hadis riwayat Imam Ahmad dari Abu Said yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW melarang minum sambil berdiri.
ADVERTISEMENT
Namun, pada kesempatan lain, Rasulullah SAW juga pernah meminum air Zamzam sambil berdiri. Itu dijelaskan dalam hadis dari Sayyidina Ali yang berkata:
"Banyak orang memakruhkan minum dalam posisi berdiri. Padahal Rasulullah melakukan apa yang kulakukan.” (HR. Ahmad dan Bukhari)
Dari dasar kedua hadis tersebut, para ulama menganjurkan untuk tidak makan dan minum sambil berdiri, kecuali ada uzur atau halangan yang tidak memungkinkan untuk makan atau minum sambil duduk. Sebab, perbuatan itu menyalahi adab makan dan minum.
(IPT)