Konten dari Pengguna

Sejarah Demokrasi di Indonesia dari Masa ke Masa

Kabar Harian
Menyajikan beragam informasi terbaru, terkini dan mengedukasi.
14 April 2024 14:16 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sejarah Demokrasi di Indonesia. Foto: Unsplash/Marija Zaric
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sejarah Demokrasi di Indonesia. Foto: Unsplash/Marija Zaric
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa. Sejarah demokrasi di Indonesia mengalami dinamika yang cukup kompleks dan menjalani perkembangan yang sangat dinamis.
ADVERTISEMENT
Demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya yaitu pemerintahan rakyat.

Sejarah Demokrasi

Ilustrasi Sejarah Demokrasi di Indonesia. Foto: Unsplash/Element5 Digital
Konsep demokrasi lahir dari tradisi pemikiran Yunani tentang hubungan negara dan hukum, yang dipraktikkan antara abad ke-6 SM sampai abad ke-4 M. Demokrasi yang dipraktikkan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung, yaitu hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas.
Demokrasi langsung tersebut berjalan secara efektif karena negara kota (city state) Yunani Kuno merupakan kawasan politik yang kecil, suatu wilayah dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 300.000 orang.
Cara berdemokrasi yang unik dari demokrasi Yunani itu ternyata hanya dinikmati kalangan tertentu (warga negara resmi). Sementara masyarakat yang berstatus budak, pedagang asing, perempuan, dan anak-anak tidak bisa menikmati demokrasi.
ADVERTISEMENT
Demokrasi Yunani Kuno berakhir pada Abad Pertengahan. Pada masa ini masyarakat Yunani berubah menjadi masyarakat feodal yang ditandai dengan kehidupan keagamaan yang terpusat pada Paus dan pejabat agama dengan kehidupan politik yang diwarnai dengan perebutan kekuasaan di kalangan para bangsawan.
Demokrasi tumbuh kembali di Eropa menjelang akhir Abad Pertengahan, ditandai oleh lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) di Inggris. Magna Charta adalah suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja John.
Dalam Magna Charta ditegaskan bahwa raja mengakui dan menjamin beberapa hak dan hak khusus bawahannya. Terdapat dua hal yang sangat mendasar pada Piagam ini:
Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di Eropa adalah gerakan pencerahan (renaissance) dan reformasi. Renaissance merupakan gerakan yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno.
ADVERTISEMENT
Sebagian ahli, salah satunya sejarawan Philip K. Hitti, menyatakan bahwa gerakan pencerahan di Barat merupakan buah dari kontak Eropa dengan dunia Islam yang ketika itu sedang berada pada puncak kejayaan peradaban dan ilmu pengetahuan.
Para ilmuwan Islam pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, al-Razi, al-Kindi, Umar Khayam, dan al-Khawarizmi tidak saja berhasil mengembangkan pengetahuan Parsi Kuno dan warisan Yunani Kuno, melainkan berhasil pula menjadikan temuan mereka sesuai dengan alam pikiran Yunani.
Pemuliaan ilmuwan muslim terhadap kemampuan akal ternyata telah berpengaruh pada bangkitnya kembali tuntutan demokrasi di masyarakat Barat. Dengan ungkapan lain, rasionalitas Islam memiliki sumbangsih tidak sedikit terhadap kemunculan kembali tradisi berdemokrasi di Yunani.
Gerakan reformasi merupakan penyebab lain kembalinya tradisi demokrasi di Barat, setelah sempat tenggelam pada Abad Pertengahan. Gerakan reformasi adalah gerakan revolusi agama di Eropa pada abad ke-16.
ADVERTISEMENT
Tujuan dari gerakan ini merupakan gerakan kritis terhadap kebekuan doktrin gereja. Selanjutnya, gerakan reformasi ini dikenal dengan gerakan Protestanisme Amerika. Gerakan ini dimotori oleh Martin Luther King yang menyerukan kebebasan berpikir dan bertindak.
Gerakan kritis terhadap kejumudan gereja dan monarki absolut bertumpu pada rasionalitas yang berdasar pada hukum alam dan kontrak sosial (natural law dan social contract).
Salah satu asas dalam prinsip hukum alam itu adalah pandangan bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (natural law) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal, berlaku untuk semua waktu dan semua orang, baik raja, bangsawan, maupun rakyat jelata.
Unsur universalitas hukum alam pada akhirnya memengaruhi kehidupan politik di Eropa. Politik tidak lagi berdasarkan kepatuhan absolut dari rakyat kepada raja, tetapi didasarkan pada perjanjian (social contract) yang mengikat kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Lahirnya istilah kontrak sosial antara yang berkuasa dan yang dikuasai tidak lepas dari dua filsuf Eropa, John Locke (Inggris) dan Montesquieu (Perancis). Pemikiran keduanya telah berpengaruh pada ide dan gagasan pemerintah demokrasi.
Menurut Locke (1632-1704), hak-hak politik rakyat mencakup hak atas hidup, kebebasan dan hak kepemilikan, sedangkan menurut Montesquieu (1689-1744), sistem pokok yang dapat menjamin hak-hak politik tersebut adalah melalui prinsip trias politica.
Trias politica adalah suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara menjadi tiga bentuk kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Masing-masing dari ketiga unsur ini harus dipegang oleh organ tersendiri secara merdeka.
Gagasan demokrasi dari kedua filsuf Eropa itu pada akhirnya berpengaruh pada kelahiran konsep konstitusi demokrasi Barat. Konstitusi demokrasi yang bersandar pada trias politica ini selanjutnya berakibat pada munculnya konsep welfare state (negara kesejahteraan).
ADVERTISEMENT
Konsep negara kesejahteraan yang pada intinya merupakan suatu konsep pemerintahan yang memprioritaskan kinerjanya pada peningkatan kesejahteraan warga negara.

Sejarah Demokrasi di Indonesia

Ilustrasi Sejarah Demokrasi di Indonesia. Foto: Unsplash/Aditya Joshi
Dikutip dari buku Pancasila, Demokrasi, & Pencegahan Korupsi Pendidikan Kewarganegaraan, Achmad Ubaedillah, (2015:89), sejarah demokrasi di Indonesia dapat dibagi ke dalam empat periode yaitu periode 1945-1959, periode 1959-1965, periode 1965-1998, dan periode pasca-Orde Baru.

1. Periode 1945-1959

Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Parlementer. Sistem parlementer mulai diberlakukan sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan. Namun demikian, model demokrasi ini dianggap kurang cocok untuk Indonesia.
Lemahnya budaya berdemokrasi masyarakat Indonesia untuk mempraktikkan demokrasi model Barat, telah memberi peluang sangat besar kepada partai-partai politik untuk mendominasi kehidupan sosial politik.
Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan sistem Demokrasi Parlementer pada akhirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi kesukuan dan agama. Pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik di masa ini tidak mampu bertahan lama, koalisi yang dibangun sangat mudah pecah.
ADVERTISEMENT
Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional yang tengah dibangun. Persaingan tidak sehat antara faksi-faksi politik dan pemberontakan daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam berjalannya demokrasi itu sendiri.
Faktor-faktor disintegratif di atas, ditambah dengan kegagalan partai-partai dalam Majelis Konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yang menegaskan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945.
Dengan demikian, masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir, digantikan oleh Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) yang memosisikan Presiden Soekarno menjadi pusat kekuasaan negara.

2. Periode 1959-1965

Periode ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy). Ciri-ciri demokrasi ini adalah dominasi politik presiden dan berkembangnya pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI) dalam panggung politik nasional.
ADVERTISEMENT
Hal ini disebabkan oleh lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai usaha untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan politik melalui pembentukan kepemimpinan personal yang kuat. Sekalipun UUD 1945 memberi peluang seorang presiden untuk memimpin pemerintahan selama lima tahun, ketetapan MPRS No. III/1963 mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Dengan lahirnya ketetapan MPRS ini secara otomatis telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun sebagaimana ketetapan UUD 1945.
Kepemimpinan Presiden Soekarno tanpa batas ini terbukti melahirkan tindakan dan kebijakan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya, pada tahun 1960 Presiden Soekarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak memiliki wewenang untuk berbuat demikian. Dengan kata lain, sejak diberlakukan Dekrit Presiden 1959 telah terjadi penyimpangan konstitusi oleh Presiden Soekarno.
ADVERTISEMENT
Dalam pandangan sejarawan Ahmad Syafi'i Ma'arif, Demokrasi Terpimpin sebenarnya ingin menempatkan Presiden Soekarno ibarat seorang ayah dalam sebuah keluarga besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di tangannya. Hal tersebut bertentangan dan merupakan kekeliruan yang sangat besar bagi implementasi UUD 1945.
Demokrasi Terpimpin model Presiden Soekarno mengandung pengingkaran terhadap nilai-nilai demokrasi, yakni lahirnya absolutisme dan terpusatnya kekuasaan pada diri pemimpin, dan pada saat yang sama hilangnya kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.
Kondisi ini masih diperburuk dengan peran politik Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mendominasi di kehidupan politik Indonesia. Bersandar pada Dekrit Presiden 5 Juli sebagai sumber hukum, didirikan banyak badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional yang digunakan oleh PKI sebagai wadah kegiatan politik.
ADVERTISEMENT
Front Nasional telah dimanipulasi oleh PKI untuk menjadi bagian strategi taktik komunisme internasional yang menggariskan pembentukan Front Nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Strategi politik PKI untuk mendulang keuntungan dari karisma kepemimpinan Presiden Soekarno dilakukan dengan cara mendukung pemberedelan pers dan partai politik yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintahan seperti yang dilakukan Presiden atas Partai Masyumi.
Perilaku politik PKI yang sewenang-wenang ini tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh partai politik lainnya dan kalangan militer (TNI), yang pada waktu itu merupakan salah satu komponen politik penting Presiden Soekarno.
Akhir dari sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno yang berakibat pada perseteruan politik ideologis antara PKI dan TNI adalah peristiwa berdarah yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965.
ADVERTISEMENT

3. Periode 1965-1998

Periode ini merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde Barunya. Sebutan Orde Baru merupakan kritik terhadap periode sebelumnya, Orde Lama. Orde Baru, sebagaimana dinyatakan oleh pendukungnya, adalah upaya untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin.
Seiring pergantian kepemimpinan nasional, Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno telah diganti oleh elite Orde Baru dengan Demokrasi Pancasila. Beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya yang menetapkan masa jabatan presiden seumur hidup untuk Presiden Soekarno telah dihapuskan dan diganti dengan pembatasan jabatan presiden lima tahun dan dapat dipilih kembali melalui proses Pemilu.
Demokrasi Pancasila secara garis besar menawarkan tiga komponen demokrasi. Pertama, demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas negara hukum dan kepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Kedua, demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara. Ketiga, demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya bahwa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas yang tidak memihak.
Hal yang sangat disayangkan di masa ini adalah alih-alih pelaksanaan ajaran Pancasila secara murni dan konsekuen, Demokrasi Pancasila yang dikampanyekan oleh Orde Baru baru sebatas retorika politik belaka. Dalam praktik kenegaraan dan pemerintahannya, penguasa Orde Baru bertindak jauh dari prinsip-prinsip demokrasi. Ketidakdemokratisan penguasa Orde Baru ditandai oleh:
ADVERTISEMENT

4. Periode Pasca-Orde Baru

Periode pasca-Orde Baru sering disebut dengan era Reformasi. Periode ini erat hubungannya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksanaan demokrasi dan HAM secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan Orde Baru pada Mei 1998, setelah lebih dari tiga puluh tahun berkuasa dengan Demokrasi Pancasilanya.
Penyelewengan atas dasar negara Pancasila oleh penguasa Orde Baru berdampak pada sikap antipati sebagian masyarakat terhadap dasar negara tersebut.
Pengalaman pahit yang menimpa Pancasila, yang pada dasarnya sangat terbuka, inklusif, dan penuh nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan tokoh reformasi untuk menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi.
Bercermin pada pengalaman manipulasi atas Pancasila oleh penguasa Orde Baru, demokrasi yang hendak dikembangkan setelah kejatuhan rezim Orde Baru adalah demokrasi tanpa nama atau demokrasi tanpa embel-embel di mana hak rakyat merupakan komponen inti dalam mekanisme dan pelaksanaan pemerintahan yang demokratis.
ADVERTISEMENT
Wacana demokrasi pasca-Orde Baru erat kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat madani (civil society) dan penegakan HAM secara sungguh-sungguh.
Dengan memahami sejarah demokrasi di Indonesia dan pembagian periodenya, diharapkan dapat melihat bagaimana sistem politik dan penyelenggaraan negara telah mengalami perubahan yang konstan.(glg)