Sejarah THR di Indonesia dari Masa ke Masa dan Peraturannya

Kabar Harian
Menyajikan beragam informasi terbaru, terkini dan mengedukasi.
Konten dari Pengguna
27 Maret 2024 15:25 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sejarah THR di Indonesia. Foto: pexels.com.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sejarah THR di Indonesia. Foto: pexels.com.
ADVERTISEMENT
Sejarah THR atau tunjangan hari raya di Indonesia menjadi salah satu bentuk perjuangan buruh Indonesia di masa lalu. THR diberikan kepada pegawai pemerintah maupun karyawan swasta dengan tujuan memenuhi kebutuhan pekerja dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri.
ADVERTISEMENT
Konsep THR di Indonesia pada dasarnya hampir sama seperti pemberian tunjangan liburan di negara Eropa, seperti Belanda dan Inggris.
Mengutip situs Kementerian Sosial Belanda government.nl, tunjangan tersebut bertujuan agar pekerja bisa berlibur dan kembali produktif saat memulai kerja kembali. Lalu, bagaimana sejarah THR di Indonesia? Simak penjelasannya dalam uraian berikut ini.

Sejarah THR di Indonesia

Ilustrasi sejarah THR di Indonesia. Foto:unsplash.com.
Berdasarkan buku berjudul Hukum yang Bergerak oleh Franz vin Benda Beckmann, dkk., THR adalah hasil perjuangan panjang serikat buruh yang dimulai sejak awal tahun 1950-an.
Pada saat itu, tak sedikit buruh di berbagai perusahaan melakukan aksi mogok dan unjuk rasa dalam waktu yang lama. Berikut ini sejarah THR di Indonesia lengkap kejadian penting dari tahun ke tahun.
ADVERTISEMENT

Tahun 1951: Munculnya THR Pramong Praja oleh Pemerintah

Mengutip buku Politik Perubahan Era Demokrasi Liberal 1950-an oleh Jafar Suryomenggolo, awalnya pemberian tunjangan hari raya di Indonesia terjadi pada tahun 1950-an. Namun, pemberian THR hanya ditujukan bagi pamong praja atau saat ini dikenal dengan PNS
Pada saat itu, THR merupakan salah satu program kabinet Sukiman Suwiryo yang dicetuskan oleh Perdana Menteri dari partai Masyumi, Soekiman Wirjosandjojo. Awalnya, konsep THR untuk pamong praja diberikan dalam bentuk persekot atau pinjaman di muka.
Nantinya, para pegawai pemerintah harus mengembalikannya dalam bentuk pemotongan gaji. Kebijakan ini terus dilakukan pasca kabinet Soekiman.
Bahkan, pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo, kebijakan ini diperkuat melalui Peratuan Pemerintah nomor 27 tahun 1954 tentang Pemberi Persekot Hari Raya kepada Pegawai Negeri.
ADVERTISEMENT
Mengutip laman sptsk-spsi.org, besaran tunjangan hari raya oleh pemerintah kala itu bervariasi, mulai dari Rp125 sampai Rp200 per orang.
Jika disetarakan dengan nilai uang saat ini besarannya, yaitu Rp1,1 juta sampai Rp1,75 juta. Tunjangan ini dicairkan setiap akhir Ramadan atau menjelang hari raya Idul Fitri.

Tahun 1952: Protes Buruh Swasta terhadap Pemerintah

Selang beberapa bulan kemudian, kebijakan ini memperoleh kecemburuan dan muncul berbagai kritik terutama dari kaum buruh. Mereka menilai kebijakan tersebut tak adil karena mereka merasa juga ikut terlibat membangkitkan perekonomian nasional.
Puncaknya, pada tanggal 13 Februari 1952 para buruh di berbagai perusahaan swasta melakukan aksi mogok kerja dan meminta pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan. Tujuannya agar para buruh mendapat THR dari perusahaan swasta tempat mereka bekerja.
ADVERTISEMENT
Aksi dari berbagai organisasi buruh ini terus berlanjut dari hari ke hari. Selain menuntut THR untuk pekerja swasta, aksi buruh yang dilakukan dari hari ke hari juga mengkritik persekot atau pinjaman yang harus dikembalikan oleh pekerja dengan cara potong gaji.
Mengutip buku Gerakan Buruh Indonesia oleh Sigit Rochadi, organisasi buruh terbesar di Indonesia pada masa itu adalah Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia atau SOBSI.
Organisasi ini terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Kelompok ini mengedepankan Haluan Kiri dan merekrut anggota tanpa melihat latar belakang ideologi, agama, suku, maupun bahasa.
Salah satu gerakannya yang paling fenomenal adalah memperjuangkan upah, THR, pensiun, hingga tunjangan kesejahteraan sosial yang dibayarkan oleh perusahaan.
Sayangnya, organisasi SOBSI harus pecah dan bubar lantaran stigma PKI yang menempel dengan organisasi partai kiri tersebut. Padahal, SOBSI menjadi motor utama perjuangan buruh di Indonesia untuk menikmati Tunjangan Hari Raya.
ADVERTISEMENT

Tahun 1954-1961: Peraturan Hadiah Lebaran

Setelah berbagai aksi menuntut THR dilakukan dari tahun ke tahun, akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil. Menteri Perburuhan Indonesia mengeluarkan surat edaran tentang Hadiah Lebaran pada tahun 1954.
Peraturan tersebut mengimbau setiap perusahaan swasta untuk memberikan ‘Hadiah lebaran’ bagi para pekerjanya sebesar seperdua-belas dari upah. Setelah surat edaran tersebut muncul, beberapa perusahaan memang sudah ada yang memberikan THR.
Namun, karena bukan sesuatu yang wajib, terjadi ketimpangan penerimaan THR antar buruh. Agar masalah itu tak terjadi lagi, pemerintah mengeluarkan surat edaran kembali pada tahun 1961.
Pemberian THR yang semula bersifat himbauan, pada surat edaran itu berubah menjadi peraturan menteri yang mewajibkan perusahaan untuk memberikan ‘Hadiah Lebaran’ bagi para pekerja yang sekurang-kurangnya telah bekerja selama tiga bulan.
ADVERTISEMENT
Peraturan tersebut dicetus oleh Ahem Eningpraja Menteri Perburuhan dalam Kabinet Kerja II yang menjabat pada periode 18 Februari 1960 hingga 6 Maret 1962. Kewajiban pemberian THR itu tercantum dalam Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1/1961.
Berkat Keluarnya peraturan menteri tersebut, setiap buruh bisa merayakan hari raya keagamaan dengan kegembiraan.

Tahun 1994: Pengubahan Istilah Hadiah Lebaran menjadi THR

Ilustrasi sejarah THR di Indonesia. Foto:unsplash.com.
Menteri Ketenagakerjaan pada tahun 1994 mengeluarkan peraturan Menteri dengan mengubah istilah ‘Hadiah Lebaran’ menjadi ‘Tunjangan Hari Raya’ atau THR yang dikenal luas masyarakat sampai sekarang.
Hak pekerja tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia NO.PER-04/MEN/1994. Dalam peraturan itu, pengusaha wajib memberikan pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus sebesar 1 bulan upah gaji.
ADVERTISEMENT
Sementara pekerja yang mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan perhitungan masa kerja kali satu bulan upah dibagi 12.
Terkait upah yang digunakan sebagai basis perhitungan THR berbeda-bisa beda sesuai dengan kebijakan perusahaan. Namun, basis perhitungannya, yaitu upah yang bersifat tetap yang terdiri gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang bersifat tetap.

Tahun 2016: Revisi Peraturan THR

Mengutip jurnal Problema Hukum Seputar Tunjangan hari Raya di Masa Pandemi Covid-19 tulisan Ida Hanifah dan Ismail Koto, Menteri Ketenagakerjaan mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Tahun 2016 untuk memperbarui aturan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia NO.PER-04/MEN/1994.
Tujuan dicabutnya ketentuan peraturan tersebut karena Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia NO.PER-04/MEN/1994 kurang melindungi hak pekerja dalam mendapatkan THR. Sehingga dipandang perlu diganti dengan Undang-Undang baru dan lebih jelas.
ADVERTISEMENT
Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Tahun 2016, hak pekerja atas tunjangan hari raya terutama bagi pekerja yang terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menjadi semakin terlindungi.
Menurut situs kemnaker.go.id, dalam peraturan terbaru THR dibayarkan sesuai hari raya keagamaan pekerja atau buruh. THR Keagamaan wajib diberikan paling lambat 7 hari sebelum hari raya. Kriteria pekerja atau buruh yang berhak mendapat THR, yaitu:
ADVERTISEMENT
Adapun rincian besaran THR yang diberikan pada pekerja atau buruh merujuk pada aturan terbaru, yaitu:

Sanksi Perusahaan yang Tidak Membayar THR Karyawan

ilustrasi sanksi perusahaan yang tidak membayar THR. Foto: Rizki Ardandhitya Dwi Krisnanda/kumparan
Sebelum adanya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Tahun 2016, perusahaan yang tak membayar hak THR karyawan tidak dikenakan sanksi apa pun.
Namun, setelah terbitnya peraturan terbaru, perusahaan yang tak melakukan kewajiban ini akan dikenakan sanksi sebesar 5% dari total THR yang harus dibayarkan.
ADVERTISEMENT
Hal ini sesuai dengan Permenaker No. 20/2016 tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan.
Perusahaan yang lalai membayar THR karyawan juga dikenakan sanksi administratif berupa sanksi teguran tertulis dan sanksi pembatasan kegiatan usaha.
Mengutip laman kominfo.go.id, pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha pada sebuah perusahaan mempertimbangkan beberapa hal.
Mulai dari sebab teguran tertulis tak dilaksanakan hingga mempertimbangkan finansial perusahaan yang dilihat dari laporan keuangan dua tahun terakhir yang diaudit oleh akuntan publik.
(IPT)