Konten dari Pengguna

Tradisi Syawalan di Berbagai Daerah Indonesia

Kabar Harian
Menyajikan beragam informasi terbaru, terkini dan mengedukasi.
17 April 2024 11:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi tradisi syawalan. Foto: pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi tradisi syawalan. Foto: pixabay.com
ADVERTISEMENT
Tradisi syawalan adalah salah satu tradisi yang masih dijalankan masyarakat Indonesia di berbagai daerah. Tradisi tersebut dilaksanakan sesuai konsep kebudayaan yang diwariskan turun temurun oleh para ulama atau masyarakat daerah setempat.
ADVERTISEMENT
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata syawalan memiliki arti acara maaf-maafan pada hari Lebaran. Umumnya, masyarakat mengartikan syawalan sebagai tradisi untuk menyambut hari raya Idul Fitri.
Namun, model pelaksanaannya di setiap daerah cukup berbeda-beda. Artikel ini akan mengungkap sejarah dan berbagai tradisi Syawalan yang dilakukan masyarakat di berbagai daerah yang perlu diketahui.

Sejarah Tradisi Syawalan di Indonesia

Ilustrasi sejarah tradisi Syawalan. Foto: pexels.com.
Menyadur buku Tradisi-Tradisi Islam Nusantara Perspektif Filsafat dan Ilmu Pengetahuan oleh Puji Rahayu, tradisi syawalan merupakan salah satu hasil akulturasi kebudayaan Hindu-Budha dengan Islam yang dilakukan para tokoh ulama dan Walisongo di Pulau Jawa.
Banyak tokoh Islam yang telah mengubah struktur budaya yang ada di masyarakat setempat dengan model keislaman tanpa harus menghilangkan kebudayaan atau tradisi yang sudah ada sejak lama.
ADVERTISEMENT
Adanya alkulturasi tersebut ternyata menjadi cara agar masyarakat Jawa dapat menerima Islam dengan baik. Alasannya, ketika Islam bersinggungan dengan tradisi Jawa, akan timbul ketegangan antara masyarakat dan tokoh ulama.
Konon, tradisi Syawalan dipopulerkan oleh Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said yang merupakan putra dari Pangeran Arya Mangkunegara Kartasutera Raja Kerajaan Mataram.
Beliau menggagas pertemuan antara punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Pada acara tersebut, setiap prajurit melakukan sungkem pada raja dan permasyuri. Setelah itu, acara tersebut diakhiri makan bersama.
Tradisi ini kemudian ditiru oleh para tokoh ulama menjadi tradisi syawalan, tradisi silaturahmi atau halal bihalal, dan sungkeman. Karena kondisi masyarakat daerah Indonesia berbeda-beda, hasil dari alkulturasi yang dilakukan tokoh ulama pun sangat beragam.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, simak berbagai tradisi Syawalan di Indonesia sebagai bentuk alkulturasi budaya pada uraian berikut ini.

Tradisi Syawalan di Berbagai Daerah Indonesia

Berikut macam-macam model tradisi Syawalan yang dilakukan di berbagai daerah dihimpun dari berbagai sumber.

1. Tradisi Lebaran Kupatan di Jawa Tengah dan Jawa Timur

Ilustrasi tradisi lebaran kupatan. Foto: unsplash.com.
Tradisi lebaran kupatan masih dilaksanakan hingga sekarang oleh masyarakat daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Masih dari sumber yang sama, tradisi ini murni berasal dari tanah Jawa sejak pemerintahan Paku Boewono IV.
Tradisi lebaran kupatan dilakukan bertepatan pada tanggal delapan Syawal. Tradisi ini berangkat dari upaya-upaya Walisongo memasukkan ajaran Islam.
Sejak zaman dulu, orang Jawa selalu menggunakan simbol-simbol tertentu. Kupat atau ketupat bagi orang Jawa memiliki filosofi yang dalam.
ADVERTISEMENT
Menyadur Majalah Tebu Ireng Edisi 34, ketupat dibuat dengan berbahan dasar beras dan santan. Beras yang dimasukkan ke dalam janur kuning yang sudah dianyam dan direbus akan menjadi gumpalan yang kempal.
Hal ini memiliki makna bahwa seluruh masyarakat harus menjaga kerukuran dan kebersamaan. Sementara beras yang dicampur dengan santan memiliki makna sedoyo lepat nyuwun ngapunten yang disingkat menjadi santen.
Hal ini memiliki makna ketika sudah menjaga kerukunan dan kebersamaan, setiap orang harus saling menghormati dan saling memaafkan.
Dengan adanya tradisi lebaran kupatan ini, diharapkan setiap orang mau mengakui kesalahan dan memudahkan diri untuk saling memaafkan.

2. Tradisi Grebeg Syawal di Cirebon

ilustrasi grebeg syawal. Foto: Nadya Yasmine Khaerunnisa/Kumparan.com.
Berdasarkan jurnal Makna Filosofis Tradisi Syawalan oleh Afghoni, Grebeg Syawal di Cirebon adalah salah satu tradisi Syawalan yang dilakukan setiap tanggal 7 Syawal. Tradisi ini dilakukan sebagai tanda selesainya puasa sunah Syawal.
ADVERTISEMENT
Tradisi ini dihadiri oleh semua anggota Keraton Cirebon dan seluruh masyarakat untuk melakukan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Tradisi ini sebagai bentuk wujud syukur kepada Allah SWT dan mengharap berkah yang melimpah.
Para peziarah yang datang akan membawa kembang tujuh rupa yang dicampur uang receh. Kembang tersebut dilemparkan ke pintu utama makam Sunan Gunung Jati yang disebut Lawang Gede.
Sebagai bentuk pengharapan berkah, para peziarah akan mengambil kembali bunga dan dibawa pulang. Sementara uang receh yang sudah dilemparkan akan dikumpulkan pengurus makam untuk biaya perawatan dan pembangunan komplek Makam Sunan Gunung Jati tersebut.

3. Tradisi Sedekah Laut di Pesisir Jawa

tradisi sedekah laut di Demak. Foto: https://jatengprov.go.id/
Dikutip dari jurnal Tradisi Syawalan di Morodemak, Bonang, Demak oleh Khoirul Anwar, sedekah laut merupakan tradisi Syawalan yang populer bagi masyarakat pesisir, seperti Cilacap, Kendal, Kaliwungu, Demak, Jepara, Kudus, Juwana, Pati, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kegiatan ini dilaksanakan secara rutin setiap tahun pada hari ketujuh atau kedelapan bulan Syawal. Setiap acara sedekah laut yang dilakukan masyarakat daerah tersebut memiliki nilai historisnya masing-masing.
Syawalan di Kendal dilakukan untuk memperingati wafatnya Kyai Asari, seorang ulama dan tokoh agama setempat yang sangat dihormati.
Syawalan di Jepara dimaksudkan sebagai peringatan terhadap kepahlawanan Ratu Kalinyamat yang melakukan penyerangan terhadap Malaka yang dikuasai Portugis.
Sedekah laut di Demak merupakan bentuk ungkapan syukur masyarakat atas nikmat yang diberikan Tuhan dan sebagai bentuk tolak balak atas segala mara bahaya. Tradisi ini terdiri atas berbagai acara, meliputi ritual selamatan, perlombaan, dan hiburan umum.

4. Tradisi Syawalan Megono Gunungan di Pekalongan

Megono gunungan Pekalongan. Foto: humas.polri.go.id
Megono merupakan makanan khas kabupaten Pekalongan yang sudah ada sejak dahulu. Tradisi megono gunungan berasal dari tradisi Syawalan yang dilakukan secara sederhana oleh masyarakat di rumah atau di masjid.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan buku Tradisi Syawalan di Pekalongan oleh Mukhammad Kam Taufiq, tradisi ini menjadi agenda tahunan masyarakat Pekalongan setelah adanya musyawarah warga dengan Dinas Pemerintah.
Setelah musyawarah tersebut, tradisi ini dilakukan di objek wisata Linggoasri setiap hari kedelepan bulan Syawal. Acara tersebut menggunakan 20 kg beras ketan dan dibuat menjadi gunungan rakasasa dengan sayur gori atau nangka.
Hingga kini, tradisi ini masih dilestarikan karena mengandung nilai silaturahmi, nilai ekonomi, dan nilai sosial budaya yang sangat kuat.
(IPT)