Konten Media Partner

BPN: Program cetak sawah sulit imbangi alih fungsi lahan

6 Desember 2018 17:50 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
JAKARTA, kabarbisnis.com: Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengungkapkan tiap tahun area persawahan diprediksikan terus berkurang. Di sisi lain, program cetak sawah yang dilaksanakan pemerintah diklaim juga mampu mengatasinya.
ADVERTISEMENT
Namun, pengecekan melalui citra satelit beserta verifikasi lapangan dibutuhkan untuk mengecek benar-tidaknya klaim pemerintah akan realisasi luasan cetak sawah.BPN menegaskan, untuk mencegah pengurangan lahan memang tidak bisa dilawan dengan program cetak sawah semata.
Bahkan, diperkirakan tahun depan lahan sawah di Indonesia bisa berkurang lagi sampai 1,4 juta hektare. "Ini saja yang dari hasil terbaru 2018 itu kan 7,1 juta hektare ya dari citra satelit. Tapi ke depannya diprediksi bisa berkurang lagi sampai 20%," ungkap Kasubdit Pemantauan dan Evaluasi Tanah Pertanian Kementerian ATR/BPN Vevin S Ardiwijaya, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (6/12/2018).
Pengurangan yang cukup signifikan tersebut dikarenakan dari hasil verifikasi langsung ke lapangan menemukan, banyak lahan sawah yang ternyata sudah memiliki izin alih fungsi. Ada yang berubah menjadi mal, ada yang menjadi bangunan lain."Idealnya memang tiap tahun dicek terus. Alih fungsi ini kan kencang sekali untuk lahan pertanian," terangnya.
ADVERTISEMENT
Ke depan Kementerian ATR/BPN tengah fokus menggarap rancangan peraturan presiden guna mempersulit alih fungsi lahan. Pertama, untuk bisa efektif berproduksi, cetak sawah memerlukan waktu yang sangat lama. Di mana lahan sawah baru tersebut diperkirakan baru bisa berfungsi dalam jangka waktu 5-10 tahun ke depan."Jadi, tidak bisa buka sawah terus langsung bisa produksi 2-3 kali setahun. Waktunya lama itu untuk lahan baru bisa sampai 5-10 tahun," imbuhnya.
Saat ini, tambahnya, pemerintah mengklaim program cetak sawah mampu menghasilkan sekitar 60 ribu hektare sawah baru tiap tahunnya. Program dimulai sejak 2013,jika dikalkukasi artinya diperkirakan sudah mampu menghasilkan sebanyak 300 ribu ha dalam 5 tahun terakhir.
Namun, realisasi tidak demikian."Tapi itu harus diingat, klaimnya berdasarkan dana yang dikeluarkan pemerintah yang dikasih ke petani dan lain-lain. Kasus di lapangan banyak yang tidak sesuai," papar Vevin.
ADVERTISEMENT
Perbedaan luasan sawah baru tersebut diperkirakan karena pihak yang mendapat dana dari Kementan membangun sawah dengan ukuran yang tidak mendetail. Hanya berdasarkan perkiraan.
Di sisi lain, banyak juga ditemukan sawah-sawah baru dari program cetak sawah yang posisinya tidak strategis karena jauh dari masyarakat, di mana sawah sudah tercetak, namun tidak ada petani yang menggarap.
Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS, Hermanto bin Ashari Prawito menyebutkan, berkurangnya luas baku lahan pertanian sejatinya telah terkonfirmasi dari data yang sudah dirilis pemerintah. Data yang didapat juga menggunakan citra satelit, menyimpulkan berkurangnya areal persawahan.
Diharapkan tidak ada pihak yang menggunakan data, diluar data nasional tersebut, termasuk Kementerian Pertanian (Kementan). "Iya, bisa dilihat. Artinya pertahun ada sekitar 120 ha (lahan pertanian yang hilang). Itu bisa dilihat dari data nasional," ujar Hermanto.
ADVERTISEMENT
Dikatakan data itu diperoleh dari hasil dari kerja bersama tim nasional verifikasi luas lahan baku lahan sawah. Tim beranggotakan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian ATR/BPN, LAPAN, BPS, dan juga Kementerian Pertanian sender. Badan Informasi Geospasial (BIG) memiliki kewenangan untuk membuat peta berbasis spasial, yang diklarifikasi oleh satelit LAPAN.
Setelah itu, dilakukan groundcheck sampel dan peta tersebut jadi.Kemudian di SK-kan oleh Kementerian ATR/BPN.Pendapat senada diungkapkan Suhariyanto, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS). Dia bilang, pihaknya akan berpegang teguh pada data luas baku sawah terbaru yang diperoleh melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA). Ia pun mempersilakan Kementerian Pertanian jika ingin menghitung luas sawah secara mandiri.
Namun, hasil yang keluar dari institusi tersebut tidak akan digunakan sebagai acuan. "Kami akan tetep mengacu pada data yang memiliki kekuatan hukum yakni yang dihimpun Kementerian ATR, Lapan dan BIG," ujar Suhariyanto.kbc11
ADVERTISEMENT