Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten Media Partner
BPOM cabut izin edar Viostin DS, tapi masih diberi kesempatan
20 Februari 2018 16:12 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
JAKARTA, kabarbisnis.com: Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menegaskan jika telah memberikan sanksi tegas kepada produsen suplemen Viostin DS dan Enzyplex, yang mengandung DNA babi.Kepala BPOM, Penny K. Lukito mengatakan, pihaknya juga sudah memerintahkan produsen agar menghentikan proses produksi."BPOM bahkan telah mencabut nomor izin edar kedua produk," katanya dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPOM, Jakarta Pusat, Senin (5/2/2018).Meski demikian, BPOM masih memberikan kesempatan kepada kedua produsen untuk mengevaluasi penggunaan bahan baku dari kedua produk. Penny tidak merinci sampai kapan pencabutan izin edar terhadap Viostin DS dan Enzyplex akan dilakukan. "Tapi kalau mengacu ke bahan pangan, masa evaluasi sampai bisa di-register kembali mencapai 3 tahun, di obat bisa juga seperti itu," ujarnya.Sebelumnya, gaduh soal suplemen Viostin DS dan Enzyplex tablet muncul 30 Januari 2018 lalu. Sebuah surat dari Balai Besar POM Mataram kepada Balai POM di Palangka Raya, Selasa, 30 Januari 2018 yang mengungkap kandungan babi di kedua suplemen, viral. BPOM membenarkan bahwa sampel produk yang dimaksud adalah Viostin DS produksi PT. Pharos Indonesia dan Enzyplex tablet yang diproduksi PT Medifarma Laboratories.Sebagai salah satu produsen, PT Pharos Indonesia baru mengeluarkan pernyataan resmi, sehari kemudian, Rabu, 31 Januari 2018. Namun sebagai bentuk evaluasi, PT Pharos Indonesia mengaku telah menunjuk pemasok bahan baku Chondroitin Sulfat yang baru di luar negeri. Chondroitin Sulfat adalah salah satu bahan baku Viostin DS diduga terkontaminasi DNA babi.PT Pharos Indonesia sebelumnya juga menyatakan bahwa tidak ada kesengajaan dalam penggunaan komponen babi dalam produk mereka. Sementara, hasil uji dari BPOM menunjukkan hasil berbeda, saat sebelum dan sesudah beredar, atau pre-market dan post-market.Namun, Penny tidak memberikan penegasan, apakah produsen telah melanggar ketentuan saat pre-market atau tidak. Ia juga tidak menjawab ketika ditanya apakah ada kesengajaan dari pihak produsen atau tidak. "Kami tidak bisa masuk sampai ke sana, tapi yag jelas, kami sudah lakukan tugas sebagai pengawas," ujarnya.Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Lukmanul Hakim MUI membenarkan bahwa saat pengujian di pre-market, tidak ditemukan kandungan babi pada kedua produk. Namun, LPPOM MUI tidak memiliki wewenang lebih jauh karena kedua produk memang belum mengantongi sertifikasi halal MUI. "Karena memang sifatnya sertifikasi ini sukarela," ujarnya.Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyebut sanksi kepada produsen tidak cukup hanya pencabutan izin edar. Sesuai Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kata Tulus, produsen harus memberikan kompensasi kepada konsumen yang sudah kadung membeli. "Bahkan ini sudah masuk kasus pidana karena pelanggarqn UU, harus ada tindakan pro justisia dari polisi," ujarnya. kbc10
ADVERTISEMENT