Konten dari Pengguna

Diskursus Politik Identitas Jelang Kampanye Pemilu 2024

Kaharuddin
Anggota KPU Kabupaten Nunukan
31 Agustus 2023 5:47 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kaharuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Secara eksplisit, tidak ada frasa politik identitas dalam pengaturan larangan kampanye pada pemilu maupun pilkada. Namun dalam pelaksanaan Pemilu 2019 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, politik identitas dianggap menjadi ‘penyakit’ baru yang berbahaya dalam kontestasi elektabilitas calon karena berdampak polarisasi tajam ditengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dari Presiden Joko Widodo hingga Ketua Bawaslu Rahmat Bagja memberikan warning tentang bahaya politik identitas dalam kontestasi pemilu 2024 mendatang. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana penegakan hukum politik identitas, sementara tidak ada satupun frasa dalam undang-undang maupun peraturan KPU yang menegaskan larangannya.
Mengutip adagium dari bahasa latin; Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, yang diartikan bahwa tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP juga menjelaskan bahwa tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Sebelum masuk dalam pembahasan, terlebih dulu harus diterjemahkan apa yang dimaksud politik identitas, serta membedakan antara identitas politik dengan politik identitas.
ADVERTISEMENT
Identitas politik merupakan keniscayaan dan menjadi citra diri dari partai atau gerakan politik. Platform partai politik, visi dan misi, slogan, warna, bendera, hingga agama merupakan identitas politik, dan menjadi pembeda antara partai politik satu dengan yang lainnya.
Sementara politik identitas, adalah tindakan mempolitisasi, mengeksploitasi, menggunakan identitas, baik ideologi, keagamaan, suku, ras, golongan atau identitas lainnya yang melekat untuk kepentingan elektoral.
Lantas, apakah mempolitisir identitas yang dimaksud merupakan tindakan atau perbuatan yang dilarang dalam regulasi?. Mari kita buka UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam pasal 280, disebutkan bahwa kampanye dilarang mempersoalkan dasar negara Pancasila, pembukaan UUD 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan NKRI, menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.
ADVERTISEMENT
Dilarang menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat, mengganggu ketertiban umum, mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau peserta pemilu yang lain, serta larangan kampanye lainnya. Larangan ini diancam dengan pidana penjara 2 tahun dan denda Rp24 juta.
Tidak ada frasa larangan politik identitas. Namun yang dianggap membahayakan dari politik identitas adalah ketika mempolitisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sampai pada bentuk perbuatan dalam larangan kampanye yang membahayakan keutuhan Negara, menghina identitas lain, menghasut dan mengadu domba, atau hingga melakukan atau menganjurkan penggunaan kekerasan.
Menggunakan identitas SARA untuk menyerang lawan, menafikan keberagaman perbedaan identitas yang melekat dalam masyarakat, akan sangat membahayakan keutuhan Negara.
ADVERTISEMENT
Menganggap bahwa hanya calonnya yang mewakili identitas tertentu, menganggap bahwa hanya calonnya yang paling taat dalam beragama sedangkan calon lain tidak, akan mudah membelah masyarakat pada sikap mendukung calon dengan cara ekstrim atau fanatik buta.
Jika politik yang sudah mengatasnamakan agama, maka semua pelanggaran yang dilakukan akan terlihat terhormat dan bernilai pahala.
Sama seperti kejahatan yang mengatasnamakan agama, pelaku kejahatan akan merasa terhormat. Karena setiap agama memiliki konsep kemartiran, bahwa jika berjuang untuk agama, maka surga balasannya.
Ancaman disintegrasi bangsa akan terbuka, jika sudah tidak ada toleransi dan menghargai antar kelompok dalam sikap pilihan politiknya saat pemilu.
Apalagi tidak ada kekuatan dominan dalam kekuatan politik yang ada di negeri kita, sehingga sangat rentan terpecah belah akibat polarisasi di masyarakat. Rekonsiliasi pasca pemilu akan sulit dicapai jika politisasi identitas SARA sampai membelah anak bangsa.
ADVERTISEMENT
Dari pengalaman pilkada DKI Jakarta 2017 dan pemilu 2019 itu, maka regulasi harusnya mampu membatasi eksploitasi atau politisasi identitas yang dapat memecah belah persatuan.
Penggunaan identitas SARA tidak boleh menjadi bahan kampanye, tapi hanya diperbolehkan menjadi bahan sosialisasi. Kampanye hanya boleh menggunakan visi, misi dan program kerja, sedangkan identitas SARA tidak boleh dibandingkan apalagi dipertentangkan, tapi hanya bersifat untuk promosi, sosialisasi dan tidak digunakan untuk menyerang calon lain yang memiliki identitas berbeda.
Regulasi semestinya mampu memberikan batasan apa yang boleh dan apa yang dilarang dalam penggunaan identitas politik saat kontestasi. Tidak hanya tegas melarang politik identitas, tapi batasan larangannya harus mampu diterjemahkan dalam peraturan dan dapat diimplementasikan.

Cermin ke-Bhineka-an

Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Sementara politisasi identitas yang tidak menyentuh pada larangan kampanye, tidak dapat dicegah dan selama ini sudah dilakukan sejak lama secara sadar ataupun tidak sadar. Contoh, penggunaan kopiah atau peci sebagai simbol keagamaan, penggunaan baju adat sebagai simbol kedaerahan, dipakai dalam kampanye untuk meraih dukungan simpati pemilih yang memiliki kesamaan identitasnya.
ADVERTISEMENT
Politisasi identitas dalam pencalonan, di mana seorang muslim yang menjadi calon anggota legislatif (caleg), cenderung akan maju di daerah pemilihan yang pemilihnya mayoritas muslim, atau sebaliknya, tidak akan maju di daerah pemilihan yang pemilihnya mayoritas nonmuslim.
Mempolitisasi identitas seperti itu dalam pemilu legislatif (pileg) adalah hal lumrah dan wajar, karena yang dipilih adalah orang yang dianggap mewakili identitasnya untuk duduk di kursi lembaga perwakilan DPR/DPD/MPR. Para wakil rakyat akan mewakili konstituennya masing-masing yang bisa dengan basis identitas SARA.
Para wakil rakyat akan mencerminkan keragaman, ke-bhineka-an masyarakat dengan masing-masing identitasnya dalam satu lembaga perwakilan Negara. Dari para wakil rakyat ini, dititipkan aspirasi dari masing-masing identitas untuk bersama membangun bangsa, tanpa ada kelompok yang merasa ditinggalkan.
ADVERTISEMENT

Polarisasi Masyarakat

Ilustrasi masyarakat DKI Jakarta bersepeda. Foto: Dok. Istimewa
Berbeda dengan pileg, pemilu eksekutif baik pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) atau pemilihan kepala daerah (pilkada), akan menghasilkan pemimpin untuk semua identitas. Presiden dan wakil presiden terpilih atau kepala daerah terpilih, harus berdiri diatas semua golongan, diatas semua agama, diatas semua identitas, karena tugasnya membangun negeri untuk semua anak bangsa.
Dalam kampenye pilpres atau pilkada, semestinya murni politik gagasan yang mengedepankan ‘jualan’ visi, misi dan program kerja kepada masyarakat. Meskipun dalam batas kewajaran, mempolitisasi identitas untuk menarik dukungan belum ada norma yang melarang. Tapi, bangsa ini terlalu besar dan beragam jika hanya mengedepankan identitas tertentu.
Idealnya dalam demokrasi yang maju, politik gagasan adalah penentu keterpilihan seorang calon, bukan politik identitas. Sedangkan demokrasi yang tradisional masih menggunakan politik identitas, karena menjadi cara mudah dan murah untuk meraih dukungan emosional dari pemilih yang memiliki kesamaan identitas.
ADVERTISEMENT
Kita boleh mempersoalkan visi dan misi calon lain, karena hal itu merupakan politik adu gagasan, tapi kita tidak boleh mempersoalkan identitas SARA, karena itu menciptakan polarisasi masyarakat dan membahayakan integrasi bangsa.
Sekarang, tergantung kita memilih, menjadi demokrasi maju atau hanya demokrasi tradisional yang emosional.