Perkara Perselisihan Pilkada dan Paradigma Mahkamah Konstitusi

Kahfi Adlan Hafiz
Peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Pengamat Pemilu dan Demokrasi, Lulusan Fakultas Hukum UGM.
Konten dari Pengguna
17 Mei 2021 11:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kahfi Adlan Hafiz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Terdapat dua mazhab besar yang memengaruhi model pemahaman dan penegakan hukum, klasik dan progresif. Aliran klasik digawangi Montesquieu, Immanuel Kant hingga Kelsen, cenderung melihat hakim sebagai corong undang-undang (bouche de la loi). Pandangan berbeda ditunjukkan oleh Ehrlich, Hommes, dan lainnya yang masuk dalam Aliran Progresif, kemudian melihat undang-undang hanya menjadi sumber bagi hakim untuk mencari hukum dan tak terbatas pada itu. Oleh karenanya, di negara-negara kontinental dengan hukum yang sudah terkodifikasi secara kaku, penemuan hukum (rechtsvinding) menjadi penting, karena hakim dituntut memberikan pandangannya untuk mengkontekstualisasi bunyi undang-undang dalam suatu peristiwa hukum.
ADVERTISEMENT
Aliran-aliran tersebut memang tidak ditentukan dalam undang-undang. Masing-masing hakim terkadang memilih aliran dan penafsiran yang berbeda. Di AS misalnya, hakim-hakim terbelah menjadi dua, konservatif (judicial restraint) yang sangat tekstual dalam melihat bunyi undang-undang, dan progresif (judicial activism) yang kerap kali mengembangkan metode penafsiran hukumnya agar lebih kontekstual, bahkan memainkan konstruksi dan logika hukum, misalkan dengan argumentum a contrario. Bagi hakim progresif, ini tak jarang dilakukan agar asas het recht hink achter de feiten aan, atau hukum selalu berjalan terseok-seok di belakang zaman, tidak selalu benar.
Di Indonesia, hakim memang tidak terbelah secara gamblang, walaupun terdapat tokoh-tokoh hakim yang dikenal karena progresivitasnya semacam Bismar Siregar atau Artidjo Alkostar. Di Mahkamah Konstitusi, mantan Ketua MK Mahfud MD juga dikenal sebagai hakim yang cukup progresif, terutama pada Perkara Perselisihan Hasil Pilkada (PHPKada). Banyak Putusan MK pada kepemimpinannya, yang memutus diskualifikasi kepada cakada terpilih, yang biasanya menjadi pihak terkait. Maka tak heran, Stefanus Hendrianto (2018) dalam “Law and Politics of Constitutional Courts: Indonesia and the Search for Judicial Heroes”, menyebut Mahfud MD sebagai salah satu pahlawan yudisial di Indonesia.
ADVERTISEMENT
PHPKada di MK
Tak seperti era Mahfud MD, Perkara Perselisihan Hasil Pilkada 2020 di MK, belakangan biasa saja. Bunyi undang-undang kemudian menjadi sangat agung, seolah pepatah “Bouche de la loi” aktif kembali. Menurut statistik, dari 136 permohonan, ada 97 permohonan yang tidak dapat diterima dan 36 permohonan yang masuk dalam pemeriksaan lanjutan. Dari 36 perkara tersebut, hanya 19 perkara yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya. Bila dibaca putusan-putusan Hakim MK terkait PHPKada 2020 ini, tak ditemukan adanya dissenting opinion, yang artinya setiap putusan bulat diputuskan majelis hakim. Dapat disimpulkan tidak ada pembelahan aliran hakim, selain karena kebulatan putusan juga terdapat pemicu tertentu yang membuat para majelis hakim bersepakat untuk menerobos undang-undang.
ADVERTISEMENT
Tingginya angka permohonan yang tidak diterima, disebabkan filter ambang batas dan tenggat waktu. Pada UU 10/2016, selisih suara pemohon dengan pemenang pilkada tidak boleh melewati ambang batas dan permohonan diajukan paling lambat tiga hari pasca diumumkannya hasil suara oleh KPU.
Menurut data dari Perludem (2021), ada 72 perkara yang tidak diterima karena melewati ambang batas, dan 13 perkara akibat tenggat waktu. Permohonan-permohonan yang terjegal ini, sebetulnya mendalilkan beberapa pelanggaran yang serius. Namun karena persoalan ambang batas dan tenggat waktu, pengungkapan pelanggaran tersebut terabaikan.
Tetapi, bila ada pemicu tertentu, MK kerapkali melakukan terobosan hukum dengan mengenyampingkan ambang batas dan tenggat waktu. Misalkan kasus DPT di Pilkada Nabire yang tidak masuk akal karena melebihi jumlah populasi, sehingga membuat MK memutus Pemungutan Suara Ulang (PSU), dengan mengenyampingkan selisih suara pemohon yang jauh melewati ambang batas.
ADVERTISEMENT
Kemudian di Boven Digoel, di mana calon terpilihnya adalah mantan terpidana yang belum melewati jangka watu lima tahun dari selesainya masa pemidanaannya. Dalam kasus ini, walaupun selisih suara pemohonn melewati ambang batas, MK tetap mendiskualifikasi calon terpilih dan memerintahkan PSU.
Hal yang sama juga terjadi di Sabu Raijua, ketika kasus WNA memenangi pilkada kemudian menghebohkan publik. Parahnya, selisih suara pemohon jauh melewati ambang batas dan permohonan diajukan sudah melewati tenggat waktu.
MK tetap memutus diskualifikasi kepada cakada terpilih, dan memerintahkan PSU. Dari beberapa perkara tadi, ternyata pemicu MK menerobos hukum adalah pelanggaran yang sebetulnya tak perlu lagi dibuktikan karena sudah diketahui khalayak umum.
Dalil-Dalil Pelanggaran yang Diabaikan
Perlu dilihat pula bagaimana MK melihat perselisihan hasil pilkada. Secara normatif, MK memang dituntut untuk melihat persoalan perolehan suara, sehingga dalil-dalil yang berhubungan dengan perolehan suara. Akhirnya, MK terlalu menekankan soal keadilan formil, bukan keadilan substantif. Tak jarang, MK dipelesetkan menjadi ‘Mahkamah Kalkulator’.
ADVERTISEMENT
Bila melihat dalil-dalil para pemohon, dapat dibagi dua, pelanggaran pra-pemilihan dan pelanggaran saat dan pasca-pemilihan. Pelanggaran pra-pemilihan semacam politik uang, politisasi bansos, netralitas ASN, pemanfaatan fasilitas negara, dan sebagainya, tidak terlalu disentuh MK.
Dalam dalil-dalil sejenis, MK cenderung terpaku pada pembuktian Bawaslu, yang sedari awal ditugasi untuk memeriksa pelanggaran-pelanggaran pra-pemilihan. Bila Bawaslu menyatakan “tidak dapat menemukan unsur pelanggaran”, atau “Laporan tidak memenuhi syarat formil dan materiil”, maka nasib dalil tersebut di MK sudah dapat diprediksi.
Di sisi lain, karena menggunakan paradigma ‘hasil suara’, MK seringkali mengatakan “bila pelanggaran tersebut terbukti, pemohon tidak dapat membuktikan implikasi pelanggaran tersebut terhadap perolehan suara pemohon”. Oleh karenanya, beban pembuktian pemohon atas dalil ini sangat besar.
ADVERTISEMENT
Pemohon bukan hanya harus membuktikan adanya pelanggaran tersebut, tetapi juga harus membuktikan implikasi pelanggaran terhadap perolehan suara. Padahal pengaruh pelanggaran pra-pemilihan terhadap sikap pemilih, tidak dapat dinilai secara kasat mata. Alhasil, tak ada satupun dalil pelanggaran pra-pemilihan yang dinyatakan MK beralasan menurut hukum.
Berlainan dengan dalil pra-pemilihan, pelanggaran saat dan pasca pemilihan mendapat perhatian lebih. Persoalan DPT tambahan, pemilih ganda, pembukaan kotak secara ilegal, hingga perusakan suara oleh petugas KPPS, menjadi dalil-dalil yang sering diperhatikan MK. Tentu dengan catatan permohonan harus lolos persyaratan ambang batas dan tenggat waktu sebagai filter utama perkara.
Hal ini dikarenakan, pelanggaran pemilihan yang sifatnya seringkali administratif, lebih mungkin dibuktikan implikasinya terhadap perolehan suara. Tentu saja ini berkaitan dengan peran MK yang hanya sebagai pengadil “perselisihan suara” yang lebih banyak bicara soal angka, bukan bagaimana angka itu diperoleh sedari hulu.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, walaupun MK beberapa kali melakukan penerobosan hukum, namun ini dikhususkan pada pelanggaran-pelanggaran tertentu saja. Sejatinya, terobosan-terobosan hukum MK sudah cukup progresif, tapi melihat beberapa dalil yang kesannya diabaikan, dapat dinyatakan progresivitas MK setengah hati.