Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
4 Perupa Memaknai ”Sasih Kapat” Lewat Lukisan
13 November 2018 15:12 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
KARYA Wayan Mandhira "Tabuh Rah" (kanallbali/IST)
ADVERTISEMENT
DENPASAR, kanalbali.com -- “Sasih kapat bungane mekar, I raga sami binar” merupakan slogan yang kerap terpasang di gapura berbagai desa yang ada di Bali pada dekade 70-an.
Sasih Kapat (dalam kalender masehi biasanya jatuh pada kisaran bulan Oktober) merupakan momentum sakral dalam kebudayaan Bali dan dirayakan sebagai musim semi bagi mekarnya bunga, tumbuh suburnya pertanian, sekaligus berseminya daya cipta manusia.
Di masa silam, ketika memasuki sasih kapat, para kawi akan menajamkan mata pena dan memasuki masa-masa terbaiknya dalam menulis syair sebagai bentuk pemujaan dan rasa syukur kepada alam semesta yang melimpahkan keindahan.
“Upaya untuk memaknai kembali momen sakral itulah yang sekiranya menjadi titik pijak bagi keempat perupa muda yang tergabung dalam kelompok Sakapat,” kata Dwi S. Wibowo, penulis seni dan sastra dalam rilisnya, Selasa, 13/11.
ADVERTISEMENT
Mereka adalah I Putu Adi Suanjaya ‘Kencut’, I Wayan Sudarsana, I Wayan Noviantara dan I Wayan Bayu Mandira untuk menghadirkan karya-karyanya dalam pameran ini.
KARYA Wayan Nopiantara "Burung dan Pohon" - (kanalbali/IST)
Momen tersebut sekaligus menjadi masa awal terperciknya pembicaraan tentang pameran ini. Keinginan untuk menautkan diri dengan tradisi dari akar kultural melalui momen tersebut merupakan sebuah langkah untuk memberi makna baru bagi proses kreatif mereka dalam berkesenian
ADVERTISEMENT
. Sebagaimana para kawi di masa dahulu, keempat perupa muda ini juga ingin menajamkan daya ciptanya dalam konteks dan realitas kekinian.
Meskipun demikian, mereka tidak bermaksud untuk sekedar menyalin tafsir ke atas kanvas, melainkan lebih mendalami proses pemaknaan itu sendiri dan menerapkannya terhadap laku kesenian mereka saat ini dan di masa mendatang.
Pemuliaan terhadap daya cipta dan kreatifitas yang mereka miliki adalah bentuk dari kontekstualisasi terhadap perayaan Sasih Kapat yang mereka lakukan.
Sebagai perupa yang mencipta dan memuja keindahan, usaha untuk membangun kembali ikatan batin dengan sebuah momen sakral tersebut merupakan suatu langkah untuk menajamkan rasa di dalam dirinya.
Bukan hanya memahami tradisi sekedar sebagai obyek dalam proses penciptaan karyanya, sehingga hanya merepresentasikan tradisi melalui benda-benda dan ikonografi tertentu tanpa berusaha untuk menautkan benang merah yang kuat dengan dirinya. Padahal seni, di dalam tradisi itu sendiri, merupakan laku hidup yang semestinya terus berjalan. (kanalbali/RLS)
ADVERTISEMENT