Konten Media Partner

Kata Majelis Desa Adat di Bali soal Tradisi Tusuk Keris ke Dada

2 November 2019 10:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bendesa Agung Majelis Desa Adat Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet
zoom-in-whitePerbesar
Bendesa Agung Majelis Desa Adat Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet
ADVERTISEMENT
DENPASAR, kanalbali - Tradisi Ngurek (menusukkan keris di dada) yang memakan korban hingga meninggal di Karangasem, mendapatkan banyak perhatian. Menurut Bendesa Agung Majelis Desa Adat, Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet, tradisi itu sebenarnya bukan hal yang wajib.
ADVERTISEMENT
"Ngurek itu dari segi agama bukanlah sebuah kewajiban karena tidak ada sastra agama yang mewajibkan. Tapi itu sudah menjadi tradisi keagamaan yang diadopsi dalam ritual agama dan pertunjukan," kata Ida Penglingsir.
"Saya sendiri tidak menganjurkan, tapi juga tak bisa melarang," ujarnya. Namun bila makin banyak kejadian seperti itu, pihaknya akan melakukan kajian mendalam bersama pihak-pihak lain.
Menurutnya, Ngurek awalnya merupakan bagian dari upacara Dewa Yadnya (persembahan untuk Dewa-red). Pelakunya pun tidak sadarkan diri dan mendapat kekuatan menjadi kebal. Namun, Ngurek kini sering ditemukan di pertunjukan-pertunjukan yang bernapaskan spiritual.
Ida Penglingsir bilang, secara historis dalam bahasa Bali, Ngurek berarti melubangi diri. Adegan ini ada dalam drama Calon Arang, Rangda Ing Dirah dari Kediri melakukan perubahan dari Rangda (simbol kejahatan) menjadi Barong (Kebaikan) yang merupakan personifikasi dari Rwa Bhineda (dua hal yang berpasangan-red)
ADVERTISEMENT
Ketika terjadi pertempuran, Rangda menyihir tentara yang akan membunuhnya dengan keris. Tentara tersebut malah menusukkan keris itu ke tubuh mereka sendiri. Namun karena ada perlindungan dari Barong, mereka pun kebal.
Ngurek sejatinya ritual di mana sang pelaku mendapatkan kekuatan menjadi kebal. Terlebih lagi pelaksanaanya hanya dilakukan pada waktu tertentu. "Nah kalau jadi pertunjukan, kan tidak mungkin orang mendapat kekuatan setiap hari untuk dipertunjukan di hadapan turis?" ungkapnya.
Gede Suardana (40) pelaku Ngurek saat dirawat di RSUP Sanglah, Denpasar (IST)
Jika Ngurek akhirnya memakan korban, menurut Ida Penglingsir pasti terdapat kesalahan teknis ketika pelaksanaannya. "Nah ketika Ngurek ini dijadikan pertunjukan, pertanyaanya apakah mereka yang melakukan benar-benar mendapat kekuatan atau mereka sebenarnya sadar dan memakai teknik?" tanyanya.
"Kalau dalam keadaan sadar, bisa saja terjadi kesalahan ketika melakukan teknik itu," tambahnya lagi.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, ketua Forum Kerukunan Umat Beragama itu menjelaskan kemungkinan kondisi psikologis pelakunya yang sebenarnya kurang siap untuk melakoni tradisi ini. Dalam beberapa pertunjukan, demi keamanan terkadang pelaku Ngurek menggunakan keris yang tidak terlalu tajam. "Bisa saja keris yang digunakan ketajamnya bagus," tegasnya.
Menurutnya, perlu diwaspadai pula , dalam upacara sering kali pelaku melakukannya karena kesurupan. Pelaku memiliki kesensitifan dengan suasana magis, sehingga ketika ritual dilakukan, pelaku malah terlarut dalam suasana itu.
"Ketika kesurupan, pelaku belum tentu dapat kekuatan, karena secara psikologis mereka lemah, maka dari itu pemangku (pemuka spiritual-red) harus bisa membedakan orang yang kesurupan dan mana yang mendapatkan kekuatan," imbuhnya.
Pria asal Puri Denbencingah, Klungkung itu, memberikan saran. Jika tidak mendapatkan kekuatan dan dilakukan secara sadar pelaku harus benar-benar ahli dan berpengalaman. Selain itu, keris yang digunakan juga harus diperhatikan.
ADVERTISEMENT
Seperti diberitakan sebelumnya, setelah sempat menjalani perawatan intensif di RSUP Sanglah, Denpasar, Gede Suardana (40) yang mengalami luka tusuk di dada setelah melakukan kegiatan Ngurek dinyatakan telah meninggal. (kanalbali/KR13/KR14)
Tradisi Ngurek di Bali (Foto: Flickr @AKP_Agus Kurniawan Putra)