Konten Media Partner

Melihat Tradisi Ngaben Massal di Pulau Nusa Penida, Bali

26 September 2019 15:38 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Arak-arakan warga yang melakukan pengabenan melintasi pesisir pantai (kanalbali/KR7)
zoom-in-whitePerbesar
Arak-arakan warga yang melakukan pengabenan melintasi pesisir pantai (kanalbali/KR7)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
KLUNGKUNG, kanalbali - Setiap lima tahun sekali warga Desa Batumulapan, Pulau Nusa Penida, menggelar tradisi ngaben (tradisi upacara pembakaran mayat) massal. Uniknya, upacara adat ini digelar di laut dan pesisir pantai.
ADVERTISEMENT
Puncak upacara dilaksanakan pada Kamis (26/9) yang diikuti oleh dua keluarga, yakni Arya Kenceng Tegeh Kori dan Arya Tanwikan. Total sawa (jasad) yang diabenkan sebanyak 37 sawa dengan rincian Arya Tanwikan sebanyak 8 sawa dan Arya Kenceng Tegeh Kori sebanyak 29 sawa.
“Kami menggelar lima tahun sekali, dan tahun ini giliran dua merajan (tempat sembahyang) ini,” terang Jero Bendesa Adat Batu Mulapan, Wayan Suweca, Kamis (26/9).
Iring-ringan ngaben ini tidak melalui jalan raya melainkan melewati laut sejauh kurang lebih satu setengah kilo meter dari lokasi upacara.
“Setelah disucikan dan sarana siap, iring-iringan dimulai, langsung di pantai dan pasti semua akan basah karena harus masuk ke laut, utamanya pengusung bade (tempat mayat) dan petulangan (simbolisais pembawa roh biasanya dalam bentuk binatang, dalam acara ini berbentuk gajah) Gajah mina," jelasnya.
Upacara di tengah laut disebut dengan niwakang. Artinya antara bade dan petulangan di pertemukan di tengah laut oleh para pengusung, yang diringi gamelan baleganjur.
ADVERTISEMENT
Semakin keras hentakan gamelan maka semakin semangat untuk mengusung niwakang bade dan petulangan ini. Hal inilah yang menarik para wisatawan dan warga lokal untuk datang menyaksikan tradisi ini.
Meski bade diarak ke tengah laut, namun ritual ngaben tetap dilaksanakan di pamuun (lokasi pembakaran) atau kuburan setempat. Untuk di Desa Pakraman Batumulapan, ada dua banjar (RW) yakni Banjar Kauh dan Banjar Kangin. Di dua banjar tersebut ada beberapa kelompok pamerajan (klan).
Jadwal ngaben diatur, sehingga kelompok atau beberapa kelompok gabungan warga, dapat giliran ngaben setiap lima tahun sekali, yakni pada sasih ngaben (musim ngaben).
“Tahun depan jadwal dari warga banjar yang lain,” ucapnya.
“Ini Bagus, selain melestarikan tradisi momen foto-fotonya juga menarik apalagi juga banyak wisatawan yang datang kan tambah semarak,” ujar Dewa Santana, salah satu warga lokal.
ADVERTISEMENT
Menurut Dewa Sentana, hampir semua warga di pesisir sejatinya punya ‘tradisi’ mengarak bade ke tengah laut. Namun karena abrasi keras, tradisi mengarak bade ke tengah laut semakin jarang dilakukan. Hanya ada di beberapa banjar atau desa pakraman yang masih bisa ditemukan. Selain di Batumulapan, adalah Banjar Kutapang, Desa Kutampi, dan Banjar Semaya, Desa Suana, Kecamatan Nusa Penida.
Sementara dua wisatawan asal Serbia, Ninos dan Givana, mengaku mendapat informasi dari media terkait acara ngaben.
“Saya datang Rabu pagi, sudah lihat upacaranya dari kemarin pagi siang dan malam saya di sini, ke hotel cuma buat tidur saja, dan momen terakhir hari ini benar-benar luar biasa,” ujar Ninos. (kanalbali/KR7)