news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Uniknya Tradisi Ngejot dan Natab Banten Kumara Anak Sulung Saat Galungan di Bali

Konten Media Partner
10 Juni 2022 12:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak yang mendapatkan sesaji Banten Kumara mendapatkan perlakuan khusus di Hari Raya Galungan di Bali - KRI
zoom-in-whitePerbesar
Anak yang mendapatkan sesaji Banten Kumara mendapatkan perlakuan khusus di Hari Raya Galungan di Bali - KRI
ADVERTISEMENT
KLUNGKUNG, kanalbali.com - Ada tradisi unik di Desa Nyanglan, Klungkung, Bali yang masih dilaksanakan saat Hari Raya Galungan. Yakni, tradisi ngejot (memberikan-red) dan natab banten (menyiapkan sesaji-red) kumara untuk anak pertama yang baru lahir dengan rentang usia di bawah enam bulan sesuai penanggalan bulan Bali.
ADVERTISEMENT
Bendesa Agung Desa Nyanglan, Jro Mangku Suanda didampingi Bendesa Nyanglan Kaja, IB Nyoman Sutha, Kamis (10/6) menceritakan, makna pelaksanaan ngejot banten kumara itu.
Banten kumara berasal dari dua kata banten dan kumara, banten yang berarti “persembahan /sesajen dalam upacara agama”, sedangkan kumara adalah Dewa penjaga anak-anak, anak alit.
Artinya, banten kumara adalah persembahan yang ditujukan pada Dewa Kumara, Dewa yang menjaga anak-anak. Kaitannya dengan ngejot/pemberian pada bayi, mempunyai makna ikut serta mendoakan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa agar anak yang lahir ke dunia berumur panjang dan tumbuh dengan sempurna baik jasmani dan rohani.
Dijelaskan, pelaksaan ngejot Banten Kumara tidak terpisah dari upacara Manusa Yadnya yang merupakan korban suci untuk membersihkan dan memelihara hidup seseorang.
Anak yang mendapatkan sesaji Banten Kumara mendapatkan perlakuan khusus di Hari Raya Galungan di Bali - KRI
Kehidupan adalah salah satu anugrah Tuhan yang utama, karena hidup berarti berkarma (bekerja). Ngejot banten kumara yang didasarkan atas pemberian yang tulus ikhlas adalah dipandang sebagai kewajiban hidup untuk menambah karma yang baik.
ADVERTISEMENT
“Biasanya krama (warga) yang sebelumnya sempat menerima banten yang serupa sebelumnya, nanti dia sifatnya mengembalikan lagi ke yang memberi. Saling beri istilahnya," katanya.
Tapi ada pula yang belum menerima pemberian banten itu, tapi tetap memberikan. Ini biasanya karena ada hubungan keluarga, tetangga dan lainnya.
Nah setelah menerima banten dari krama lain, dilanjutkan dengan Natab Banten Kumara oleh si anak tersebut. Biasanya yang berhak Ngayabin (mendoakan) adalah sosok yang dituakan, misalnya nenek atau nenek buyut bagi si anak tersebut. Waktu Natab Banten Kumara dilakukan siang, setelah semua proses persembahyangan Galungan tuntas.
Seperti yang dilakukan kepada I Putu Ranggasutha Suambara. Balita dua bulan ini merupakan anak pertama dari pasangan suami istri I Nengah Ambara Yoga dan Luh Made Sariasih, warga Banjar Tengah, Desa Nyanglan, Klungkung. Ranggasutha merupakan salah satu dari belasan anak di Desa Nyanglan baik Kaja atau Tengah-Kelod yang menerima Banten dan Natab Banten Kumara saat Hari Raya Galungan.
ADVERTISEMENT
"Anak yang berhak menerima jotan dan natab Banten Kumara ini hanya anak pertama saja baik itu laki-laki atau perempuan. Kalau anak kedua dan seterusnya tidak lagi. Makanya ketika ada anak pertama lahir, banten yang diterima dari warga pasti banyak, karena kesempatannya hanya sekali saja," bebernya.
Selain Banten Kumara, juga disertai banten lainnya yang dibuatkan si pemilik rumah atau keluarga si anak berupa Banten Dapetan lengkap dengan Sanganan Jerimpen. Diyakini dengan melaksanakan tradisi ini anak yang diupacarai akan mudah bergaul kelak jika sudah tumbuh dewasa nanti, tumbuh menjadi anak yang suputra/suputri.
"Setelah ditatab, sebagian banten itu kembali dibagikan ke tetangga dan keluarga atau warga yang masih ada hubungan kerabat dekat,"jelasnya kembali.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Nyanglan masih sangat percaya dan sangat antusias dalam melaksanakan tradisi ini, sebagai sebuah tradisi yang harus dilestarikan demi menjaga kesatuan dan persatuan atar warga masyarakat setempat.
Pihaknya tak bisa menyebut secara pasti sejak kapan diberlakukan tradisi Ngejot dan Natab Banten Kumara saat Galungan ini. Yang jelas, pihaknya sudah mendapati begitu. “Ini warisan leluhur, sehingga sebagai generasi penerus patut melanjutkan tradisi dan budaya yang tidak berbenturan dengan norma adat dan hukum,”tandas Jro Mangku Suanda. (kanalbali/KRI)