Konten dari Pengguna

Pendidikan di Indonesia: Antara Tuntutan Kualitas dan Kuantitas

Muhammad Chotibul Umamil Yaqin
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.
10 November 2024 16:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Chotibul Umamil Yaqin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi salah satu gedung kelas MI di desa Dander, Bojonegoro yang digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar meskipun belum layak digunakan. (foto pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi salah satu gedung kelas MI di desa Dander, Bojonegoro yang digunakan untuk kegiatan belajar-mengajar meskipun belum layak digunakan. (foto pribadi)
ADVERTISEMENT
Para pendiri negara kita telah menetapkan visi masa depan mereka demi kemajuan negara Indonesia, dan kesejahteraan masyarakatnya dengan UUD 1945 dalam alenia ke-4 salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga sudah semestinya kita sadar untuk menjunjung tinggi kualitas pendidikan generasi penerus bangsa ini, meskipun dalam aspek kuantitas memang penting sebab dapat mendukung populasi masyarakat terdidik, dan meningkatkan persentase pembangunan nasional. Tetapi visi tersebut tentunya tidak semudah membalik kedua tangan, justru sangat banyak yang perlu untuk dibenahi, misalnya tidak meratanya distribusi sekolah antara kota dengan desa, tertinggalnya daerah pedesaan terutama yang terpencil. Jadi perlu adanya perbaikan baik dari kulaitas maupun kuantitas pendidikan kita yang tentunya tugas ini bukan hanya dari pemerintah, tetapi tugas kita bersama untuk membantu menyalurkan suara dari mayarakat yang termarjinalkan. Untuk lebih jelasnya penulis akan memfokuskannya pada ketimpangan kulaitas, dan kuantitas pendidikan kita.
ADVERTISEMENT
1. Aspek Kualitas Pendidikan
1.A. Tidak meratanya kualitas pendidikan antara perkotaan dengan pedesaan
Tidak meratanya kualitas pendidikan antara wilayah perkotaan dan pedesaan., meliputi kualitas guru yang tidak sama antara daerah perkotaan dengan pedesaan. Bahwa para guru yang berada diwilayah kota cenderung lebih mudah dalam mengembangkan karirnya dari pada guru diwilayah pedesaan, terutama desa terpencil karena fasilitas yang lebih memadai, akses pelatihan ke-profesionalitasan yang berlanjut baik dalam bentuk workshop atau seminar. Selain itu, di kota-kota besar, ada lebih banyak lembaga pendidikan dan organisasi yang menawarkan pelatihan berkelanjutan untuk para guru. Sementara itu, guru di pedesaan atau daerah terpencil sering menghadapi keterbatasan akses pelatihan ini karena jarak, biaya, atau bahkan minimnya informasi.
ADVERTISEMENT
1.B. Sarana, dan Prasarana yang tidak merata
Di samping itu secara kualifikasi lembaga pendidikan di wilayah kota lebih maju dari pada di pedesaan. Realitanya banyak latar belakang dari para tenaga pendidik di wilayah perkotaan cenderung lebih tinggi dari pada para tenaga didik (guru atau dosen) dari pada diwilayah pedesaan. Bahkan para tenaga pendidik yang merupakan lulusan terbaik dari universitas lebih memilih untuk bekerja di kota karena potensi untuk mengembangkan karir yang lebih besar, misalnya gaji yang lebih tinggi, lingkungan yang mendukung sebab banyak memiliki rekan kerja yang termasuk dalam kualifikasi yang tinggi, dan memiliki banyak pengalaman dalam dunia kerja sehingga membantu dalam melakukan suatu pekerjaan dengan lebih performa, dan seterusnya. Selain itu dalam aspek fasilitas yang lebih memadai misalnya buku, buku, perangkat elektronik, dan akses internet. Hal ini mempermudah mereka untuk membuat pembelajaran yang inovatif dan relevan dengan perkembangan zaman. Sebaliknya, guru di daerah pedesaan sering kali hanya mengandalkan materi cetak atau alat bantu sederhana, yang membatasi kreativitas dalam pengajaran. Sehingga wajar saja apabila banyak tenaga pendidik berkualitas yang lebih terpusat di kota karena mayoritas orang-orang terdidik tersebut belum siap untuk memajukan sumber daya manusia secara merata.
ADVERTISEMENT
1.c. Kesejahteraan Tenaga Pendidik yang tidak terjamin
Dari semua ini akan berpengaruh terhadap kesejahteraan, dan motivasi tenaga pendidik dalam mengajar, seperti gaji, fasilitas, dan seterusnya. Sehingga hal tersebut dapat menurunkan kualitas profesionalitas guru dalam mengajar. Misalnya Guru di perkotaan sering mendapatkan tunjangan lebih tinggi dan fasilitas lebih baik dibandingkan dengan mereka yang bekerja di pedesaan. Hal ini bisa membuat guru di daerah terpencil kurang termotivasi atau menghadapi tantangan finansial yang mengganggu fokus mereka dalam mengajar.
2. Aspek Kuantitas Pendidikan
2.A. Tidak meratanya distribusi sekolah
Tidak meratanya distribusi sekolah diwilayah pedesaan karena aktifitas belajar-mengajar cenderung lebih terpusat di perkotaan, sementara didaerah pedesaan terutama daerah terpencil cenderung lebih tertinggal, dan terbelakang dari pada didaerah perkotaan. Hal ini menyebabkan anak-anak di daerah terpencil harus menempuh perjalanan jauh atau bahkan meninggalkan kampung halamannya untuk mengakses pendidikan. Efeknya berpengaruh kepada angka partisipasi sekolah. Terpusatnya akses pendidikan yang memadai diperkotaan membuat anak-anak diusia produktif dipedesaan cenderung lebih memutuskan untuk putus sekolah, karena keterbatasan fasilitas sekolah, keterbatasan tenaga pendidik, tuntutan ekonomi keluarga, jarak sekolah yang jauh, dan seterusnya sehingga mayoritas anak-anak desa cenderung memilih untuk bekerja dari pada bersekolah.
ADVERTISEMENT
2.B. Rasio guru, dan murid yang rendah dipedesaan
Karena akibat dari menurunnya angka partisipasi sekolah maka hal tersebut dapat mempengaruhi rasio guru, dan murid. Karena biasanya didaerah perkotaan rasio guru dan murid itu seimbang, dan proses belajar-mengajar cenderung lebih efektif, serta berkualitas. Sedangkan diwilayah pedesaan rasio guru lebih sedikit dari pada muridnya karena akibat dari terbatasnya sumber daya pendidik, dan lebih banyak warga desa yang berprofesi sebagai buruh-tani akibat mereka putus sekolah.
Demikian pemerintah harus memberikan dukungan yang merata untuk setiap wilayah perkotaan, dan pedesaan. Karena subsidi pemerintahlah yang secara masif mampu memberikan jaminan terhadap berbagai akses untuk mendorong proses belajar-mengajar, dan kesejahteraan tenaga pendidiknya. Tetapi sampai sekarang subsidi pemerintah hanya dapat dirasakan diwilayah perkotaan dari pada wilayah pedesaan terpencil sehingga ketimpangan pendidikan negara kita sampai sekarang masih ada. Dalam beberapa bulan belakangan ini pemerintah pusat sebetulnya telah memberikan subsidi APBN untuk pendidikan disetiap daerah sejumlah enam ratus triliun.
ADVERTISEMENT
Tetapi ketika telah ditransfer ke pemerintah daerha (PEMDA) subsidi tersebut hanya dinikmati oleh instansi-instansi pendidikan yang masih berafisiasi dengan negara, misalnya sekolah negeri, PTN atau PTKIN. Padahal apabila kita refleksikan angka APBN yang sebanyak itu sebetulnya sudah dapat membantu meningkatkan kesejahteraan guru, dan meningkatkan infrastruktur di wilayah pedesaan. Misalnya dari enam ratus triliun ini dialokasikan dalam beberapa aspek, dari tunjangan gaji guru sebesar 55% atau setara dengan 330 triliun, kemudian dalam aspek pembangunan dan perbaikan infrastruktur berjumlah 120 triliun yang merupakan crush dari prosentase 20% dari APBN, lalu menyediakan Buku, Alat Belajar, Teknologi sebanyak 60 triliun crush dari prosentase 10% dari APBN, bantuan subsidi pada murid atau mahasiswa berjumlah 30 triliun crush dari prosentase 5% dari APBN, dan terakhir biaya pengawasan serta menejemen pendidikan 2,5% berjumlah 15 triliun. Jadi dari pengandaian ini semestinya potensi pemerataan pendidikan kota dan desa sudah menurun, tetapi disamping itu semuanya kurangnya transparansi pemda dalam mengelola keluar, dan masuknya alokasi transferan APBN ini menjadi permasalahan tambahan dalam isu yang sekarang penulis bahas.
ADVERTISEMENT