Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Tribhuwana Wijayatunggadewi, Penguasa Ketiga Kerajaan Majapahit
18 Februari 2025 11:04 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari karen tasman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat bahwa Kerajaan Majapahit merupakan Kerajaan terbesar yang berada di Nusantara. Dengan berbagai rajanya yang terkenal seperti Hayam Wuruk dan patih-patihnya seperti Gajah Mada. Namun sejarah juga mencatat adanya pemimpin Perempuan yang seringkali terlupakan, yaitu Tribhuwana WijayaTunggadewi. Tribhuwana adalah penguasa ketiga Kerajaan Majapahit sekaligus Ibu dari Hayam Wuruk.
ADVERTISEMENT
Dapat dikatakan, Tribhuwana adalah wanita pertama yang menjadi Maharani di Kerajaan Majapahit. Walaupun seringkali dikenal bahwa Hayam Wuruk adalah sosok yang membawa kerajaannya menuju masa emas, Tribhuwana lah sosok yang mengambil langkah pertama kejayaan bagi Kerajaan Majapahit. Setelah menjadi ratu, ia mendapatkan gelar Sri Tribhuwanatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani. Penguasa ketiga Kerajaan Majapahit ini memerintah dari 1328 - 1350 Masehi.
Tribhuwana Wijayatunggadewi lahir di Trowulan, sekitar tahun 1300an. Tribhuwana kecil lahir dengan nama asli Dyah Gitarja. Sebelum menjadi Maharani Majapahit, Ia memiliki gelar Bhre Kahuripan pada masa pemerintahan Jayanegara. Ia adalah putri dari Raden Wijaya dan Gayatri Rajapatni, sekaligus cucu dari Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singasari. Tribhuwana memiliki adik kandung perempuan bernama Dyah Wiyat, serta kakak tiri yaitu Jayanegara.
ADVERTISEMENT
Saat Raden Wijaya meninggal dunia, Jayanegara mewarisi takhta. Selama masa pemerintahannya, Ia dengan keras melarang kedua adiknya untuk menikah, karena khawatir takhtanya akan terancam. Setelah kepergiannya pada tahun 1328, banyak ksatria yang datang untuk melamar Tribhuwana. Pada akhirnya, terpilihlah Cakradhara atau Kertawardhana Bhre Tumapel dari sebuah sayembara, dan Ia menikah dengan Tribhuwana. Dari pernikahannya, ia memiliki anak yang diberi nama Dyah Hayam Wuruk, yang nantinya akan menjadi raja bagi Kerajaan Majapahit, dan Dyah Nertaja.
Masa Pemerintahan
Ketika Jayanegara Wafat, Ia tidak meninggalkan ahli waris. Pada saat itu, tahta seharusnya diambil alih oleh Gayatri Rajapatni, Isteri Raden Wijaya. Namun Gayatri sudah menjadi biksuni atau pendeta Buddha dan berkomitmen untuk menjalani hidup sesuai ajaran Buddha. Sehingga Tribhuwana mewakilkannya dalam tugas Kerajaan. Pada masa-masa awal pemerintahannya, sebagian besar dari rakyat kerajaannya masih skeptis atas keputusan-keputusannya. Ia tidak menghiraukan orang-orang yang meragukannya, melainkan menggunakannya sebagai motivasi untuk membuktikan dirinya. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Majapahit belum sepenuhnya tentram karena terjadi beberapa pemberontakan.
ADVERTISEMENT
Semua berawal dari pemberontakan yang terjadi di wilayah Sadeng dan Keta. Pada saat pemberontakan mencapai puncaknya, terjadilah persaingan antara Gadjah Mada dan Ra Kembar yang memperebutkan posisi panglima. Hal ini sangat menghambat progres mereka. Melihat itu, Tribhuwana pun memutuskan untuk menjadikan dirinya sebagai panglima perang dan menyelesaikan masalah tersebut dengan sendirinya. Setelah kemenangan atas konflik tersebut, Tribhuwana membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang berani dan bertanggung jawab, sehingga rakyatnya mulai percaya pada dirinya.
Selama masa pemerintahan Tribhuwana, Majapahit melakukan banyak ekspansi ke wilayah Nusantara. Salah satu miskonsepsi terbesar adalah bahwa Hayam Wuruk yang memulai ekspansi Nusantara. Sebenarnya, Tribhuwana menyampaikan idenya untuk membawa kejayaan pada Majapahit walaupun seringkali ditentang oleh Saptaprabhu. Gadjah Mada mengucapkan Sumpah Palapa miliknya di hadapan Tribhuwana. Banyak orang mengira bahwa Sumpah Palapa terjadi antara Hayam Wuruk dan Patih Gadjah Mada, padahal kenyataannya Sumpah Palapa diucapkan pada tahun 1334, sementara Hayam Wuruk baru saja lahir pada saat itu. Sejak Tribhuwana didampingi Gadjah Mada, kemakmuran kerajaan semakin meningkat.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1343, Majapahit menguasai Bali, kemudian diikuti dengan penaklukan kerajaan-kerajaan lain, terutama di wilayah Sumatera. Berkat keberanian, kebijaksanaan, dan kecerdasan Tribhuwana, ekspansi Kerajaan Majapahit mengalami kemajuan pesat. Tribhuwana juga dikenal sebagai sosok yang pandai dalam memilih utusan untuk melakukan ekspansi, terbukti dengan dirinya mengirim Arya Damar dan Adityawarman, dimana keduanya membawa pasukan-pasukan Majapahit pada kemenangan.
Akan tetapi pada tahun 1350, masa pemerintahan Tribhuwana berakhir. Tribhuwana Wijayatunggadewi mengundurkan diri dari posisinya sebagai Maharani.. Hal ini Ia lakukan setelah kematian ibunya, Gayatri Rajapatni. Tribhuwana beranggapan bahwa dirinya hanya dapat menjadi penguasa Majapahit berkat sosok Ibunya. Tanpa Gayatri, dirinya merasa tidak berhak menerima gelar tahta penguasa. Alhasil, Ia mewarisi tahta kepada anaknya, Hayam Wuruk yang pada saat itu masih berumur 16 tahun. Setelah turun tahta, Tribhuwana, yang kini kembali bergelar Bhre Kahuripan dan menjadi anggota dari Bhattara Saptaprabhu. Bhattara Saptaprabhu adalah Dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan Majapahit, tugas mereka adalah membantu raja yang berkuasa dalam mengambil keputusan.
ADVERTISEMENT
Menurut Pararaton, Tribhuwana meninggal sekitar tahun 1371, namun tidak diketahui pasti kapan Ia meninggal. Tribhuwana Didharmakan dalam Candi Pantarapura yang terletak di Desa Panggih, Trowulan, Mojokerto. Pada masa kerajaan yang menganut patriarki, Tribhuwana membuktikan dirinya sebagai penguasa yang bertanggungjawab, walaupun seringkali diragukan oleh rakyatnya. Ia dikenang sebagai sosok penguasa perempuan yang tangguh dan mampu membawa Kerajaan Majapahit melewati masa-masa sulit dan ke dalam kejayaan. Meskipun banyak sekali prestasi, tokoh ini seringkali terlupakan, tertutupi oleh tokoh-tokoh besar lainnya. Kisah perjalanan hidup Sang Ratu Penguasa Tribhuwana menjadi pengingat bagi kita untuk teguh dalam menghadapi permasalahan, peduli terhadap kepentingan bersama, dan berbakti kepada orang tua.