Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Refleksi Diri di Tengah Ketakutan COVID-19
14 Maret 2020 18:09 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Karina Wulan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Self-Reflection in the Midst of COVID-19 Scare)
ADVERTISEMENT
This is not what I originally wanted to write.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya saya sudah menyiapkan beberapa pilihan topik yang lebih light dan sesuai dengan interest saya, seperti basic skincare routine, designer handbags, pengalaman liburan ke Venezia, atau usul salah satu teman baik saya, kami sama-sama penyuka niche fragrances, untuk menulis tentang wewangian favorit kami.
However, I cannot bring myself to write about the said topics. They seem superficial (IMHO) dan tidak menginjak bumi, tidak sesuai dengan realitas yang saya alami, yang dialami dunia saat ini.
Saya berusaha untuk tidak keluar rumah, karena sedang flu saat ini. Beberapa kali saya harus menolak ajakan teman untuk hang out di mall, catch up dengan teman baik yang lama tidak berjumpa, padahal banyak sekali gosip-gosip baru untuk dibahas, ditelaah, didiskusikan bersama, yang absolutely tidak bisa dibahas via WhatsApp. Saya tidak bisa bertemu teman yang ingin cerita tentang pacar barunya, bosnya yang galak, haul make up baru-nya… Yes, you know what I'm talking about.
Kehidupan sosial saya dan saya yakin, banyak warga Jakarta lainnya, sangat terpengaruh oleh coronavirus yang memaksa kami diam di rumah tanpa kontak dengan manusia lain, untuk meminimalisir kemungkinan terkontraksi virus tersebut.
ADVERTISEMENT
On the other hand, in Central London...
Because, really, no virus can come between you and your 80% off Fendi... :D
Saya jadi tergantung dengan Babang GoFood untuk membeli makanan, karena makan di tempat umum is not an option. Kesempatan diam di rumah saat ini saya gunakan untuk self-reflection dan melakukan hal-hal yang biasanya tidak (bisa) saya lakukan. Coronavirus menunjukkan betapa saling tergantungnya kita, bahwa manusia memang makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian.
Beberapa hal hasil kontemplasi saya selama berada di rumah dan memantau apa yang terjadi di dunia via media sosial dan situs berita, antara lain:
There's always a silver lining
Like any crisis, the COVID-19 virus is also an opportunity. Dengan adanya himbauan untuk bekerja dari rumah seperti yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Pertahanan dan beberapa perusahaan di Jakarta, inilah saatnya untuk keluar dari rutinitas kita sehari-hari dan menghabiskan waktu bersama keluarga.
ADVERTISEMENT
Untuk yang jomblo, mungkin ini saatnya kamu baca buku yang belum sempat dibaca, padahal sudah dibeli berbulan-bulan yang lalu...
Atau melanjutkan nonton Netflix series yang sempat terputus di tengah kesibukan sehari-hari...Mungkin ide untuk next article, ya :)
Practice self-care: Be kind to yourself, before being kind to others
Beberapa hari belakangan kalau buka Twitter/Instagram bikin hati waswas dan gelisah, then maybe it's time for you to unplug dan lakukan hal yang bisa membuat mood kamu lebih baik. Bentuknya bisa bermacam-macam, dari sekedar pakai sheet mask, meneruskan 1,000-piece puzzle yang belum sempat kamu selesaikan, merakit Lego, mencoba resep red velvet cream cheese brownies yang sudah kamu save di Pinterest, atau bermeditasi/yoga/exercise ringan di rumah.
Rasanya rambut saya kusam dan akhir-akhir ini rontok lebih banyak (karena stres), saya coba resep DIY hair mask tanpa perlu ke salon, caranya bagaimana?
Campur satu part lidah buaya dengan satu part hair mask merek apa saja (saya pakai Olaplex no. 3) yang kamu punya di rumah. Aplikasikan secara merata ke rambut, dari akar hingga ujung rambut, lalu gunakan haircap.
ADVERTISEMENT
Setelah itu saya nonton Kingdom, Netflix Original Series tentang zombie di era Joseon (maybe it's not the right choice, considering the circumstances hehe...) season 2. Setelah 1-2 jam, keramas dan bilas seperti biasa.
Mindfulness
Cuitan di atas menunjukkan istilah "boomer remover" telah muncul di lebih dari 100.000 cuitan dan merujuk pada tingkat kematian tinggi pada kelompok usia di atas 60 tahun, termasuk kelompok usia baby boomer yang kira-kira antara usia 56 dan 74. Istilah boomer remover ini paling sering digunakan oleh millennial dan Gen Z.
Ketika pandemi COVID-19 menyebar, banyak data yang menunjukkan bahaya khususnya pada orang berusia lanjut. Lebih dari 1.000 orang telah meninggal akibat penyakit ini di Italia, dengan analisis 4 Maret dari 105 korban pertamanya yang berusia rata-rata 81 tahun.
ADVERTISEMENT
Penggunaan istilah ofensif ini menjadi bahan lelucon di kalangan anak muda Barat yang lantas mengaitkannya dengan generasi baby boomer yang dianggap telah merusak lingkungan dan tidak peduli dengan dampak perubahan iklim. Namun, kita harus mengingat bahwa simpati dan compassion kepada sesama merupakan salah satu tools utama umat manusia dalam menanggulangi krisis.
Dengan adanya globalisasi, tampaknya ancaman coronavirus hanya akan meningkat seiring berjalannya waktu. Komitmen global untuk hidup dengan compassion can make all the difference. Self-compassion seems like an excellent way to start. Shall we?