Mengenal Jenggala Community Hub Samarinda Lebih Dekat

Konten Media Partner
30 November 2019 17:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
 “Kami lahir dari kesederhanaan.” – Jenggala | Photo by Jenggala Community Hub on Facebook
zoom-in-whitePerbesar
“Kami lahir dari kesederhanaan.” – Jenggala | Photo by Jenggala Community Hub on Facebook
ADVERTISEMENT
Bayangkan seseorang yang berbakat dan kreatif dengan karyanya yang mindblowing, namun tidak ada wadah baginya untuk menyalurkan aspirasi dan idenya tersebut. No connection, no discussion, and no collaboration with other creative person.
ADVERTISEMENT
Namun, kegelisahan tersebut akhirnya sirna seiring perkembangan zaman. Digerakkan oleh ide-ide cemerlang dari para anak muda, terbentuklah sebuah wadah yang disebut community hub. Community hub hadir untuk mengkoneksikan ataupun mengkolaborasikan orang-orang kreatif yang berkumpul dengan bakat dan karya di bidang masing-masing.
Di Samarinda sendiri, ada sebuah community hub yang berdiri sejak tahun 2017, yakni Jenggala. Di artikel sebelumnya telah dibahas hal-hal apa saja yang bisa dilakukan di Jenggala Community Hub Samarinda.
Kali ini Karja akan mengajak kalian untuk mengenal Jenggala lebih dekat beserta kisah dibaliknya dari sudut pandang Aldi dan Mademun, dua anak muda Samarinda yang berdedikasi penuh demi kesuksesan Jenggala. Sayangnya, sang ketua yakni Arma, tidak bisa hadir meramaikan obrolan sore itu karena sedang berada di luar kota.
ADVERTISEMENT
Aldi dan Mademun saat menceritakan pengalaman mereka di Jenggala | Photo by Karja/Nadya
“Menurut kami, nyawa Jenggala itu ada pada orang-orang di dalamnya, bukan hanya gimana bentuk awalnya. Nyawa itu lah yang kami coba bentuk sekarang.” ungkap Aldi.
Jenggala sendiri memiliki makna hutan. Kata ini diambil untuk menggambarkan betapa bernilainya potensi kreativitas yang ada di Kalimantan Timur, seperti halnya hutan yang menghasilkan hampir separuh oksigen di muka bumi ini.
Tidak hanya itu, di dalam hutan juga terdapat yang namanya ekosistem. Alih-alih saling memakan, semua yang ada di dalam Jenggala saling terkait dan terkoneksi. “Dan di dalam situ kami saling membutuhkan, tapi tidak menjatuhkan.” pungkas Mademun.
Jenggala bukan hanya wadah berkumpul bagi kreator, namun juga menyediakan tempat bagi para distributor atau publisher, baik dari pemerintah maupun pihak swasta. Menurut Mademun, apabila Jenggala hanya berisikan anak-anak yang berkarya, dimanakah para publisher? Kemanakah arah karya para kreator berbakat tersebut? Edukasi itulah yang selama ini terus Jenggala buat dan sebarkan.
ADVERTISEMENT
Borneo Pride merupakan acara yang digarap oleh Samdays (@samdays.movement) dan Jenggala | Photo by @jenggala.id on Instagram
Saat ditanya acara yang paling berkesan dan memorable selama berada di Jenggala, Aldi dan Mademun kompak menjawab, “Borneo Pride!”
“Nggak tidur tiga hari.” kenang Aldi sambil tertawa.
Borneo Pride adalah sebuah acara yang diadakan pada 23-25 Agustus 2018 lalu yang melibatkan para kreator di Kalimantan dari subkulturnya masing-masing, yakni musik, visual art, fotografi, dan videografi.
Ide dibalik Borneo Pride sendiri tercetus saat acara Idea Pitch Week (IPW) di Bogor, dimana seluruh kreator dari Sabang sampai Merauke berkumpul untuk saling sharing dan berkomunikasi. Pada saat itu, kreator dari Kalimantan pun saling berdiskusi dan akhirnya tergagaslah sebuah ide untuk mengadakan acara tersebut.
“Waktu itu mendatangkan perwakilan dari beberapa provinsi yang ada di Kalimantan. Jadi kami ngurusin orang-orang yang datang, kami juga bikin tenda dari tenda TNI yang cukup besar gitu buat camping.” ucap Mademun.
ADVERTISEMENT
Event tersebut dirasa sangat berkesan karena ada cukup banyak keinginan para kreator yang dapat tersalurkan. “Kami pengen semuanya gabung, terus pameran. Kami juga pengen Kalimantan itu punya power yang cukup untuk ke central city.” tambah Aldi.
Jenggala Music Lab; sebuah workshop yang membahas berbagai teori dalam bermusik sampai cara pengaplikasiannya | Photo by @jenggala.id on Instagram
Selama mengelola Jenggala, ada cukup banyak kendala serta tantangan yang dihadapi oleh tim. Untuk Aldi sendiri, ia merasakan ada kendala yang cukup pelik terkait stigma orang-orang terhadap Jenggala.
“Stigmanya ada dua, yang pertama orang-orang berpikir bahwa Jenggala adalah tempat yang coolness-nya tinggi, dan yang kedua tentang pandangan orang mengenai kerja sama kami dengan pihak swasta.”
Ia menuturkan bahwa ada beberapa orang yang mengatakan bahwa komunitas tidak bisa bekerja sama dengan pihak swasta tersebut. Padahal, keduanya memiliki kultur yang berbeda. “Nggak semua orang punya modal yang cukup untuk bikin karya besar, jadi toh nggak ada salahnya untuk kerja sama.” beber Aldi.
ADVERTISEMENT
Tidak jauh berbeda dari Aldi, Mademun pun merasakan kendala yang serupa terkait stigma kerja sama dengan pihak swasta yang diartikan bertolak belakang oleh beberapa orang dengan apa yang sebenarnya ingin mereka lakukan. “Padahal kami ini menyediakan lahan, tempat, lalu memberi edukasi, tapi malah dinilai seperti itu.” imbuhnya.
It's a blast! Keseruan saat event Borneo Pride pada tahun 2018 lalu | Photo by @jenggala.id on Instagram
Dengan adanya stigma tersebut juga menjadi salah satu tugas besar bagi tim Jenggala untuk memberikan pemahaman kepada orang-orang. “Kenapa kita nggak ambil sisi positifnya, di mana misalnya kita entah bikin workshop atau pameran, yang kami pajangkan karyanya, bukan brand-nya. Lewat media ini yang kita coba lihat manfaat besarnya.” pungkas Mademun.
Diakui Aldi memang permasalahan tersebut muncul terkait dengan pola pikir dan edukasi. “Bayangin misalnya mau manggil White Shoes & The Couples Company, butuh berapa modalnya. Misalnya nih, kami nggak punya cukup modal untuk undang mereka. Terus kapan orang Samarinda bisa tau band itu? Walaupun ada internet ya, tapi kan beda dengan real experience.”
ADVERTISEMENT
Namun seiring berjalannya waktu, stigma terkait kerja sama tersebut lama-lama sudah menghilang dari permukaan. Beberapa teman yang dulunya cukup antipati, kini sudah lebih memahami dan mengakui serta mau berkarya di Jenggala.
Meski begitu, stigma mengenai Jenggala adalah tempat bagi orang-orang tertentu saja, dirasa Aldi tak kunjung usai. “Sampai saya ada bikin event namanya netizen in comment, terus saya ngundang band random. Akhirnya mereka ngomong, ‘Di Jenggala itu bisa ya bikin musik? Kirain cuma harus orang-orang tertentu aja,’ terus saya jawab, ‘Enggak lah Mas, kalau misalnya mau bikin, bikin aja nggak apa-apa,’ mungkin yang satu ini butuh waktu dan pelan-pelan sih.” tuturnya.
Suasana saat acara Beranda yang diselenggarakan oleh Beranda Movement bersama Jenggala pada Februari 2018 lalu | Photo by @jenggala.id on Instagram
Sejauh ini, event musik selalu menjadi sebuah trigger untuk menarik animo pengunjung. Kecenderungan masyarakat Samarinda lebih menyukai apa yang sedang hype di dunia perinternetan. Maka, sejauh ini event yang diadakan memang mengundang yang lagi ramai. Hal tersebut menurut Aldi memang masih berhubungan dengan permasalahan kultur yang ada di Samarinda.
ADVERTISEMENT
“Padahal kalau mau dilihat secara sudut pandang lain, Mademun bikin mapping visual tuh menurut aku gila sih. Keren. Cuma kalau mau dibilang ramai ya tergantung, karena orang di sini itu bahasa kasarnya ya belum siap.” tuturnya.
Terkait strategi pemasaran, diakui Mademun tidak ada strategi marketing khusus yang dijalankan oleh Jenggala.
“Jadi memang di marketing kita nggak mengatakan kita punya tempat yang bagus, menyediakan working space, itu nggak. Dengan keadaan seadanya itulah yang ingin kami coba tampilin, dan orang-orang yang tertarik dan memang cocok untuk tempat seperti ini.”
Meski begitu, Mademun memaparkan bahwa untuk kedepannya tim Jenggala akan melakukan pemasaran apabila mereka sudah mampu memberikan tempat yang sesuai dengan indikator kelayakan yang dimiliki.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya dari awal yang ngumpul di sini itu memang organik, dari mulut ke mulut. Jadi yang selalu kami upayakan itu emang ceritanya, misal ‘eh ngumpul yuk di Jenggala, kalian bisa begini begini.’” tutur Aldi. Pada saat itu tim Jenggala memang mengutamakan ‘nyawa’ terlebih dahulu dan orang-orang yang datang pun memang karena ingin dan tertarik. Hingga sampai sejauh ini, semua yang datang terasa seperti keluarga.
Berkarya bersama hati | Photo by @jenggala.id on Instagram
Menurut Aldi dan Mademun pribadi, acara seperti apa sih, yang mereka ingin adakan di Jenggala?
“Pameran yang isinya art doang, jadi nggak tergantung sama musik, bahkan kalau bisa nggak ada musik, benar-benar semua visual, anak-anak gambar, kalau bisa seminggu.” ungkap Aldi.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Aldi, Mademun ingin mendatangkan para kreator yang bisa dibilang sebagai pendiri ataupun yang sedang eksis di jaman sekarang dengan ide-ide yang besar.
“Contohnya kalau dari musik, perwakilan dari White Shoes & The Couples Company, perwakilan dari Barasuara. Duduk dan ngobrol satu meja dengan kreator-kreator di Samarinda.” ucapnya. Sebelum menutup obrolan, Karja bertanya apa harapan kedepan kedua anak muda kreatif ini untuk Jenggala.
Mademun berharap kedepannya stigma dan pola pikir orang-orang terhadap Jenggala bisa berubah. Selain itu, Ia juga ingin menambah fasilitas yang ada di Jenggala, seperti meja dan kursi untuk nongkrong.
Sedangkan dari Aldi, ia berharap Jenggala bisa hidup dengan spirit yang sama seperti sebelumnya. “Terus orang-orang yang niat berkarya bisa lebih banyak lagi, dan juga seperti kata Made, semoga pola pikir orang terhadap Jenggala bisa berubah, bisa welcome dan bergabung dengan kita.” tutup Aldi.
ADVERTISEMENT
#terusberkarya