Konten dari Pengguna

Kemanusiaan: Belajar Dari Kisah Frankenstein

Karyn Alexandria
Mahasiswa Departemen Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang
18 Juni 2024 11:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Karyn Alexandria tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Freepik

Siapa Sebenarnya Frankenstein?

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ada hal menarik dari sebuah kisah Frankenstein, sebuah buku karya Mary Shelly yang dipublikasikan lebih dari 200 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun1818. Dalam kisah itu diceritakan mengenai ilmuwan yang berupaya menghidupkan kembali seorang manusia yang telah mati. Ternyata dia berhasil “menghidupkan” Frankenstein itu, namun ia kehilangan kendali atas karya ciptaannya sendiri, hingga akhirnya memicu kerusuhan. Banyak orang memetik pelajaran dari kisah ini agar tidak mencoba menjadi Tuhan dan menodai kehidupan.
ADVERTISEMENT
Namun bila kita melihat lebih jauh, ada satu hal yang menarik dari kisah Frankenstein itu tentang kehidupan manusia. Manusia memiliki hakekat kemanusiaan, yaitu akal budi, emosi dan kehendak. Manusia bergerak dan menjadi bermanfaat bila hakekat kemanusiaannya digunakan secara optimal dan positif. Dengan demikian, manusia itu dikatakan sebagai manusia. Manusia yang telah mati, akan kehilangan hakekat kemanusiaannya itu. Manusia yang mati, dia tidak lagi punya akal budi, emosi dan kehendak (kemauan), semuanya lenyap. Kisah Frankestein itu bercerita tentang orang mati yang mau dihidupkan kembali, dan berhasil. Manusia itu “hidup”, tetapi kehilangan sisi kemanusiaannya, kehilangan akal budinya untuk berpikir bijaksana, kehilangan emosinya sebagai manusia, dan kehilangan kehendak untuk melakukan hal baik. Dampak dari itu, ia disebut sebagai mahluk dan bukan manusia.
ADVERTISEMENT

Perubahan Zaman

Tidak jarang, pada zaman ini, manusia bertindak seperti Frankenstein. Mereka tidak lagi menggunakan akal budinya untuk kemaslahatan orang lain dan alam sekitar, tapi menggunakannya untuk kepentingan diri sendiri. Demikian juga mereka lebih sering mengumbar emosi nya yang jahat dan merugikan sesama. Bahkan keinginannya juga hanya untuk memuaskan nafsunya, tanpa peduli bagaimana dengan orang disekitarnya, apakah mereka menderita karenanya, apakah mereka tertekan karenanya atau apakah mereka tersiksa. Hal-hal ini menyebabkan merekapun bisa menyalahgunakan kepandaian dan kekuasaannya serta berupaya untuk menguasai orang lain dan alam sekitar serta mengeksploitasi. Nah, bukankah hal ini laksana Frankenstein yang memicu keresahan?

Manusia yang Kehilangan Sisi Manusianya

Mangapa ini terjadi? Kalau kita merenungkannya, hal ini terjadi karena mereka itu “sudah mati” dari sisi kemanusiaannya. Mengapa mereka “mati”? Itu bisa disebabkan karena “Frankenstein” disekitarnya yang “menyerang” mereka, sehingga mereka menjadi orang yang tidak dipedulikan, orang yang diremehkan dan direndahkan serta tidak diperlakukan sebagai manusia. Perlakukan seperti ini “mematikan” sisi kemanusiaannya, dan menyisakan kemarahan yang hebat dan menjelma menjadi Frankenstein baru. Kondisi ini sesuai dengan istilah homo homini lupus, yang adalah sebuah istilah dalam bahasa Latin yang berarti "Manusia adalah serigala bagi sesama manusianya”. Istilah yang mau mengatakan manusia yang “memakan” sesamanya sehingga “mati” sisi kemanusiaannya, dan menjadi zombie (Frankenstein).
ADVERTISEMENT

Apa Ini Artinya Bagi Manusia?

Sebagai manusia yang hidup, sudah selayaknya kita menjadi teman yang membangun manusia lain. Sudah seharusnya kita menggunakan akal budi kita (kepandaian) kita untuk kemaslahatan umat, menjaga dan mengendalikan emosi kita agar bisa mendorong diri kita dan sesama maju dan berkembang. Dengan demikian, kehendak (kemauan) kita akan selalu menginginkan hal-hal dan kondisi yang baik bagi semesta. Perjuangan memperbaiki iklim, perjuangan untuk mengirangi sampah plastik, perjuangan untuk mengatasi stunting¸dan perjuangan lainnya, membutuhkan kita dan rekan-rekan kita sebagai manusia, yang memiliki sisi kemanusiaan.
REFERENSI
Harari, Y. N. (2014). Sapiens: A brief history of humankind. Random House.
Yahya, L. S., Prasetyo, D. B. (2024). Arsitektur Perilaku: Bagaimana Mengambil Keputusan. Penerbit Buku Kompas
"Homo Homini Lupus". The English Encyclopedia. https://www.encyclo.co.uk/meaning-of-Homo_homini_lupus
ADVERTISEMENT