Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Kesan Saya pada Karya The Mo Brothers: Kagum, Takut, hingga Trauma
28 Maret 2019 20:02 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Senin (25/3), saya membaca berita bahwa Kimo Stamboel didaulat untuk menyutradarai remake film Ratu Ilmu Hitam. Sejatinya, itu adalah film yang diperankan oleh aktris horor legendaris Suzanna, yang rilis pada tahun 1981.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti film-film sebelumnya, kali ini, Kimo tidak akan berduet dengan Timo Tjahjanto. Ya, Kimo dan Timo--yang tidak sedarah ini--kerap menggarap film bersama di bawah nama "The Mo Brothers".
Ciri khas film-film mereka--baik saat berduet maupun tidak--adalah banjir darah, adegan sadis--sadis banget (gore/slasher), dan kehadiran sosok monster/hantu yang seramnya nauzubillah. Jadi, saya sudah bisa terbayang, akan seperti apa film Ratu Ilmu Hitam itu nantinya.
Film-film mereka selalu memberikan kesan tersendiri bagi saya. Pada kesempatan kali ini, saya akan membagikan kepada kalian tentang bagaimana kesan saya setelah menonton beberapa film mereka, baik sebagai The Mo Brothers, saat berkolaborasi dengan sutradara lain, maupun kala mereka menggarapnya sendiri-sendiri.
Sukses membuat saya kagum, takut, hingga trauma.
ADVERTISEMENT
---Spoiler Alert! (dikit aja)---
Saya ingat betul film ini. Saya menontonnya di bioskop Metropolitan Mall Bekasi bareng teman-teman sekelas saat masih SMA, usai menghadiri pesta ulang tahun salah seorang teman kami. Rumah Dara adalah film ber-genre horor/thriller yang penuh dengan adegan sadis.
Faktanya, film yang dibintangi oleh Shareefa Daanish sebagai tokoh antagonisnya ini mengusung konsep slasher dan gore, yang mana saya belum pernah menonton film sejenis itu sebelumnya! Kalian tahu film Saw? Ya, seperti begitulah.
Adegan sadis pertama yang saya lihat adalah adegan seorang manusia (Mike Lucock/Muliardo), dalam keadaan hidup dan sadar, dicincang dengan gergaji mesin oleh sesama manusia (seorang bapak-bapak yang saya lupa nama aslinya). Darah bersimbah, potongan-potongan dan organ-organ tubuh tergeletak.
ADVERTISEMENT
Bikin saya mual, asli. Untungnya, saya membeli minuman teh dingin rasa madu sebagai bekal nonton. Saya tenggak minuman itu dan, alhamdulillah, bisa rileks sesaat--iya, hanya sesaat--sebelum akhirnya disuguhkan adegan-adegan sadis berikutnya. 'Penyiksaan' belum berakhir.
Saya langsung lemas dan speechless sekeluarnya dari bioskop. Bingung mau pulang naik apa. Mau nebeng teman tapi enggak bawa helm dua. Walau ujung-ujungnya nebeng juga, sih.
Bercerita tentang sekumpulan jurnalis (Oka Antara, Fachry Albar, dan Hannah Al Rashid) yang hendak meliput sebuah sekte aliran sesat. Awalnya, mereka hanya mewawancarai penggagas aliran tersebut (Epy Kusnandar) di sebuah kafe, tetapi mereka lalu--cari perkara--mendatangi markasnya.
Intinya, film horor ini juga menawarkan kengerian berupa darah, darah, dan darah. Ada adegan bunuh diri massal hingga orang yang kepalanya bolong akibat ditembak. Penonton juga disuguhkan adegan Epy Kusnandar meledakkan diri, hingga daging, darah, dan organ-organ tubuhnya berserakan. Ngehe.
ADVERTISEMENT
Namun, yang membuat saya mindblowing dan ternganga-nganga adalah.... kok bisa-bisanya seekor monster bisa keluar dari perutnya Hannah Al Rashid!? Karakter yang diperankan oleh aktris kelahiran London, Inggris, itu diceritakan sedang hamil. Kehamilan dari hasil perselingkuhan.
Singkat cerita, dia ditangkap sama para pengikut aliran sesat itu. Mereka lantas 'mengintervensi' (saya memilih kata ini karena lupa adegan pastinya) perut buncitnya. Pokoknya, gara-gara 'perlakuan' mereka, karakter Hannah tadi jadi melahirkan monster.
Bayi monster? Bukan! Ini monster berwujud iblis setinggi orang dewasa--atau mungkin lebih tinggi. Kepalanya kayak kambing, badannya tegap, bahkan punya sayap! Haddeeeehhh, sungguh ku ingin berkata kasar!
Saya paham sih kenapa konsep monsternya seperti itu, sebab film itu dirilis untuk festival film internasional. Kengerian sosok monster gede kayak gitu, biasanya bisa lebih ngena untuk orang-orang Amerika Serikat dan Eropa, dibandingkan hantu soft seperti kuntilanak dan tuyul.
ADVERTISEMENT
Tapi, tolonglah. Ngeri saya. Enggak berani deh saya selingkuh. #eh #salahfokus
Kalau film yang satu ini sih bukan horor tapi thriller. Banyak adegan sadis, darah di mana-mana. Mulai dari adegan penyiksaan, pembunuhan dengan senjata tajam, dan pistol, hingga adegan orang sekarat akibat jatuh dari ketinggian. Ada pula orang yang dibakar hidup-hidup.
Film ini adalah hasil kerja sama antara rumah produksi asal Indonesia (Guerilla Merah Films) dengan rumah produksi asal Jepang (Nikkatsu). Killers menggaet aktor Jepang, Kazuki Kitamura, sebagai lawan main antagonis dari tokoh utama yang diperankan oleh Oka Antara.
Beberapa tim produser juga ada yang orang Jepang, yakni Yoshinori Chiba, Shinjiro Nishimura, Takuji Ushiyama. The Mo Brothers dan Daniel Mananta juga bagian dari tim produser.
ADVERTISEMENT
Adegan yang paling menyita perhatian dan mengganggu pikiran dan batiniah saya adalah adegan seorang jurnalis (Oka Antara) diculik oleh supir taksi. Dia ketiduran, dibawa ke tempat sepi, dirampok, hingga dilecehkan secara seksual oleh preman, meski akhirnya ia sanggup membunuh dua bajindut itu dengan pistol.
Adegan itu bukan inti ceritanya, tetapi justru itu yang paling saya soroti dan membekas betul di dalam benak. Sebelumnya, adegan kriminal seperti itu, saya hanya mendengarnya dari cerita-cerita orang saja, dari mulut ke mulut, atau dari berita-berita. Namun, Killers betul-betul menggambarkan peristiwa kriminal tersebut dengan baik. Seolah saya melihatnya langsung di depan mata saya sendiri.
Kalau adegan film itu saya lihat di film-film luar negeri, mungkin saya enggak akan takut-takut amat. Saya bisa berkilah, "Ah, itu mah orang bule. Ah, itu kan di luar negeri. Emang gila mereka mah."
ADVERTISEMENT
Masalahnya, itu adegannya di Jakarta, Indonesia, dan pemerannya juga orang Indonesia. Kejahatan terasa dekat. Bagaimana enggak ngeri coba? Saya mau bilang apa? Don't (easily) trust people on the street, because so much sh*t on the street.
Jujur, film Killers berhasil membuat saya takut naik taksi selama berbulan-bulan! Mahal, soalnya. Maklum, mahasiswa. #lah
Melihat ada nama Iko Uwais dan Chelsea Islan sebagai dua pemeran utamanya, sungguh membuat saya tak pikir panjang untuk mencari bioskop terdekat. Kenapa Iko Uwais? Somehow, saya senang aja gitu melihat Iko Uwais ngegebukin orang pakai ilmu silatnya. Kenapa Chelsea Islan? Well, she is the only 'Chelsea' that I can falling in love with.
ADVERTISEMENT
Intinya, saya suka ini film. Adegan berkelahi tangan kosong dan senjatanya keren banget. Tembak-tembakannya juga oke. Dan yang tak kalah penting, Chelsea Islan-nya cantik. Banget.
Saya bisa menikmati adegan laga dan alurnya. Saya keluar bioskop dalam keadaan puas karena sesuai ekspektasi saya. Jadi, film ini bagus banget gitu? Menurutku sih, yes, tapi enggak deh tahu kalau mas Anang.
Lagi-lagi Chelsea Islan menjadi salah satu alasan saya bersemangat ingin menonton film ini. Ada Pevita Pearce pula. Uwuwuwu.
Masalahnya, beda dengan Headshot, seusai menonton film yang juga dibintangi oleh Ray Sahetapy ini, saya keluar bioskop dalam keadaan setengah traumatik. Saya enggak mau nonton film horor selama berbulan-bulan, apalagi di bioskop.
ADVERTISEMENT
Ekspektasi saya kelewat tinggi terhadap Sebelum Iblis Menjemput. Ekspektasi saya bukan hanya perkara alur cerita atau akting pemerannya, kalau itu sih sudah okelah, bagi saya. Masalahnya, saya berekspektasi bioskop akan penuh, sehingga saya bisa takut berjemaah dengan para penonton lainnya kala menonton 'film setan' satu ini. Kami bisa saling berbagi kengerian, belum lagi kalau ada yang latah, pasti lucu.
Eh la dalah. Teater bioskopnya sepi, dong.
Saya nonton di kursi tengah, tapi bersebelahan persis dengan tangga. Kenapa? Saya rasa anda pasti paham kenapa.
Saya nonton sendirian. Jangan tanya kenapa.
Jarak beberapa kursi dari saya ada dua mas-mas duduk berdekatan. Atau dari perawakannya lebih mirip 'abang-abang'.
Di antara kursi-kursi kosong itu, ada beberapa pasang muda-mudi, yang kalau hantunya nongol di film mereka akan saling menutupi aib... eh menutupi mata satu sama lain. Terkadang, si cowok akan sok berani dan merelakan pundaknya sebagai tempat si cewek berlindung dari ngeri. Hiii... geli.
ADVERTISEMENT
Well, intinya saya menonton film itu dalam suasana yang terasa sepi. Dipadupadankan dengan volume suara yang kencang sekali dan suhu AC yang terasa sangat dingin. Asli, itu perpaduan nonton film horor yang crazy. Ketika adegan horor 'menyerang' secara bertubi-tubi, saya tak punya pilihan selain terduduk manis sambil tersenyum meringis. "Ya Allah, cobaan apa ini?"
Masalahnya, The Mo Brothers mengeksekusi setiap adegan horornya dengan sangat baik. Beda dengan film Pengabdi Setan (2018) garapan Joko Anwar yang hantunya hanya muncul sesekali. Di Sebelum Iblis Menjemput, hantunya muncul berkali-kali, frontal abis, dengan makeup yang bikin bulu kuduk berdiri.
Walau begitu, tetap ada hikmah yang bisa diambil dari film ini. Jangan musyrik.
Setelah film habis dan lampu teater menyala, saya menengok ke belakang, takut-takut hantu atau iblis di film itu tiba-tiba ada di belakang saya. Ternyata, kursi paling belakang--alias kursi couple--semuanya terisi penuh oleh pasangan muda-mudi yang menonton film sambil 'asyik' duduk dempet-dempetan. Setan.
ADVERTISEMENT
Joe Taslim dan Iko Uwais berkolaborasi kembali dalam aksi laga. Mengagumkan saat mereka sudah mulai tinju-meninju dan tendang-menendang satu sama lain. Greget penuh aksi.
Kita juga dapat melihat Dian Sastrowardoyo keluar dari gaya akting yang biasanya. Tidak ada adegan ia berkata, "Rangga, kamu jahat" atau adegan berwisata kuliner dari kota ke kota. Ia berperan sebagai tokoh antagonis yang tak segan-segan menghajar orang. Berani macam-macam, pulang tinggal nama.
Bagi saya, film The Night Comes for Us dibungkus dengan sangat baik, dari segi aksi hingga cerita. Usai dibuat trauma oleh Sebelum Iblis Menjemput, film ini malah membuat saya menanti-nantikan karya selanjutnya dari Timo Tjahjanto--baik bersama Kimo maupun tidak.
ADVERTISEMENT
Apa pun kesannya, film-film garapan Kimo dan Timo selalu membekas di benak saya. Luar biasa.