Meraih Mimpi dan Mendobrak Batasan di Sepak Bola ala Annie Zaidi

Katondio Bayumitra Wedya
Moslem. Author of Arsenal: Sebuah Panggung Kehidupan
Konten dari Pengguna
14 Mei 2019 9:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Katondio Bayumitra Wedya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bermain sepak bola. Foto: Unsplash/Hal Gatewood
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain sepak bola. Foto: Unsplash/Hal Gatewood
ADVERTISEMENT
Seorang pria Inggris bernama Michael menceritakan kepada BBC tentang pengalaman anak laki-lakinya usai pertama kali berlatih bersama tim U-15 sebuah klub sepak bola. Ia mengungkapkan anaknya itu begitu antusias.
ADVERTISEMENT
"Ayah, itu adalah latihan terbaik yang pernah kami rasakan," kata Michael menirukan ucapan sang anak, dilansir BBC, 1 Mei 2019.
Namun, jangan salah. Anak Michael bukan baru saja pulang dari latihan bersama tim junior Liverpool dan Juergen Klopp. Tidak juga habis ditempa dengan materi latihan ala Pep Guardiola di Manchester City.
Bocah lelaki itu latihan bersama tim U-15 klub kasta kelima kompetisi sepak bola Inggris, Solihull Moors FC, klub sepak bola di Inggris yang tergolong masih 'muda', baru diresmikan pada 10 Juli 2007. Saat itu, si anak dilatih oleh pelatih bernama Annie Zaidi, satu-satunya perempuan berjilbab di Eropa yang mengantongi lisensi kepelatihan UEFA B.
Ketika Orang-orang Memandangnya Tabu
Annie Zaidi. Foto: dok. Annie Zaidi
Perempuan berdarah Pakistan ini besar di dalam keluarga dan lingkungan muslim. Annie Zaidi bercita-cita ingin menjadi pelatih atau manajer sepak bola profesional. Bahkan, sebagai penggemar Arsenal, ia bercita-cita ingin menakhodai klub yang bermarkas di Emirates Stadium itu.
ADVERTISEMENT
Kisah ketertarikan Annie Zaidi kepada sepak bola itu pernah dilansir oleh BBC pada 7 Maret 2016. Perempuan 35 tahun itu sudah suka sepak bola sedari kecil. Saat usianya masih 5 tahun, ia jatuh cinta dengan olahraga sejuta umat itu. Annie kerap bermain sepak bola di halaman belakang rumah bersama dua saudara laki-lakinya.
Namun, hasrat sepak bolanya itu terhalang oleh latar belakang keluarga yang berasal dari wilayah Asia Selatan itu. Amatlah tabu bagi anak perempuan bermain sepak bola. Biasanya, anak perempuan lebih akrab dengan olahraga yang dimainkan indoor, seperti netball atau bulu tangkis.
"Ketika saya bermain sepak bola, saya mengenakan celana pendek--meski itu (membuat orang) tidak suka dan mengangkat alis. Saya bermain bersama gadis-gadis lain di sekolah tetapi saya menikmati bermain (sepak bola) dengan anak laki-laki," katanya, dilansir BBC, 7 Maret 2016.
ADVERTISEMENT
Namun, Annie muda tetap tidak dapat melawan takdir. Pada usia 14 tahun, ia sempat berhenti bermain sepak bola. Ia menyerah kepada lingkungan yang tak memberinya kesempatan dan memandangnya tabu. Seolah ada sekat, pembatas di sepak bola bahwa olahraga 11 vs 11 itu hanya untuk laki-laki saja.
Tidak Menyerah, Tak Patah Arang
Hasratnya kepada sepak bola tak padam, meski stereotip mengadang. Ia kadang masih mencuri-curi waktu bermain sepak bola atau menonton siaran sepak bola di TV. Dalam hatinya, ia masih menolak menyerah untuk mengejar mimpi.
Tidak diketahui tanggal dan tahun pasti kapan Annie kembali ke sepak bola usai patah hati di usia 14 tahun. Kepada The Guardian, Annie bercerita jalan bagi dirinya menuju pintu karier kepelatihan sepak bola adalah saat ia berkuliah di Durham University, Inggris (2006-2007). Ia mengambil program master untuk studi pengembangan masyarakat dan anak muda, yang kemudian memberikannya peluang baru untuk terlibat dalam sepak bola.
ADVERTISEMENT
Saat menjalani studi masternya itu, Annie, yang saat itu masih kepala dua berkesempatan mengikuti voluntary work di bidang kepelatihan sepak bola (North Benwell Youth Project--dilansir wearethecity.com, 15 Juli 2015). Penempatan pertamanya sebagai pelatih adalah di ujung barat Kota Newcastle.
“Salah satu penempatan saya adalah di ujung barat Newcastle. Ingatlah ini setelah 9/11 dan 7/7 dan persepsi terhadap orang muslim sangat negatif," ujar Annie, dilansir The Guardian, 15 Januari 2019.
9/11 adalah peristiwa penabrakan pesawat ke gedung menara kembar WTC di New York, Amerika Serikat, pada 11 September 2001. Sementara itu, 7/7 merupakan serangkaian serangan bunuh diri teroris di London, Inggris pada 7 Juli 2005 yang targetnya adalah para pengguna transportasi umum kota selama jam sibuk pagi hari.
ADVERTISEMENT
Pada suatu malam di bulan November, jadilah Annie melatih sepak bola di hadapan 30 anak muda berusia 16-25 tahun. Tidak mudah, apalagi, mereka semua rata-rata berasal dari daerah miskin di Inggris dan hanya dua dari 30 orang itu yang sama sekali tidak punya catatan kriminal.
Baru hari pertama, Annie mendapat perlakuan tidak mengenakkan. Di sela-sela latihan, Annie kerap ikut turun bermain sepak bola, tidak hanya berdiri di pinggir lapangan. Itu juga karena mereka, anak asuh Annie, hendak mengetesnya. "Saya ditekel secara agresif, saya merasa seperti berada di atas ring dengan Mike Tyson," ungkapnya, dilansir The Guardian, 15 Januari 2019.
“Pelecehan rasis terjadi, pelecehan seksis terjadi, tetapi saya terus kembali. Setelah lima minggu, kelompok lain di lapangan sebelah mulai ikut melecehkan saya," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Namun, tetap ada sejumlah pihak, termasuk laki-laki nonmuslim, yang mau mendukungnya. Tak jarang, di atas lapangan, kala turun bermain sepak bola, Annie mempermalukan lawan-lawannya lewat skill sepak bola mumpuni yang ia punya. Kepercayaan dirinya mulai membaik, membuatnya semakin tak patah arang.
“Mereka mengajak saya, kami memainkan beberapa pertandingan, beberapa orang saya nutmeg (mengolongkan bola di antara dua kaki lawan) sehingga membangun kepercayaan diri saya. Mereka akan datang ke youth centre untuk berbicara kepada saya terkait persoalan apa pun yang mereka punya. Mereka ingin tahu lebih banyak tentang saya," katanya.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Annie terus menyibukkan diri dengan segala hal yang berurusan dengan sepak bola di kalangan anak-anak muda. Sebelum akhirnya, ia bergabung dengan salah satu klub di Coventry yang berkompetisi di Sunday League Football.
Sekadar informasi, Sunday League Football adalah istilah di Inggris untuk liga sepak bola amatir dengan standar yang lebih rendah, yang dimainkan pada hari Minggu. Para pemainnya bukanlah pesepak bola profesional, melainkan orang yang menjalani profesi tertentu lalu main sepak bola di hari Minggu. Pada saat itu, Annie juga sedang berjuang mendapatkan lisensi FA tingkat 2.
Ada 400 tim yang berlaga pada saat itu dan Annie, satu-satunya pelatih berjenis kelamin perempuan, tidak mendapatkan perlakukan yang baik di sana. Ia merasa mendapat perlakukan lebih buruk dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
"Saya akhirnya memutuskan untuk pergi karena itu meracuni passion yang saya miliki. Rasisme, seksisme, bahkan klub tempat saya bekerja mengatakan bahwa orang-orang mengatakan saya adalah pelatih omong kosong dan (kariernya) tidak akan melesat," ujarnya, dilansir The Guardian, 15 Januari 2019.
Kemudian, banyak orang dari dunia sepak bola profesional yang menyarankan, sebaiknya Annie fokus ke kepelatihan khusus perempuan saja. Intinya, jangan melalui jalur elite yang ia impi-impikan. Namun, Annie bersikeras. "Sepak bola tidak memiliki jenis kelamin atau agama."
Dan ternyata, tantangan juga hadir dari sesama muslim dan komunitas Asia Selatan. Annie bercerita ia juga pernah berkesempatan melatih anak-anak muda Asia Selatan. Saat itu, pemuka agama yang melihatnya menyebut bahwa Annie adalah contoh buruk.
ADVERTISEMENT
"Imam Muslim berjalan lewat dan berteriak bahwa saya memalukan bagi kaum muslim dan panutan yang buruk," ujarnya, dilansir BBC, 7 Maret 2016.
Terkadang Annie ingin menyerah, tetapi ia percaya bahwa apa yang ia lakukan dapat menjadi inspirasi bagi banyak perempuan lain. Baginya, sukses di sepak bola bukan hanya jadi kebahagiaan pribadi, tetapi juga untuk semua perempuan di dunia.
Menemukan Titik Terang
Meski dijegal sana-sini, tetapi nyatanya tetap ada tangan-tangan yang mengulur untuk membantu Annie bangkit, berdiri mengejar mimpinya. Pada tahun 2012, ia bertemu dengan pria bernama Wallace Hermitt, co-founder dari Black and Asian Coaches Association.
ADVERTISEMENT
"Wallace segera melihat sinar passion saya dan hasrat saya untuk mencapai impian saya, jadi dia menawarkan diri untuk menjadi mentor saya dan saya langsung setuju. Dia adalah orang pertama yang tidak butuh saya untuk meyakinkannya dan yang lebih penting, dia melihat potensi dalam diri saya sebelum saya melakukannya," kata Annie, dilansir wearethecity.com, 20 Juni 2018.
Wallace juga membantu Annie untuk mendapatkan pekerjaan di FA tingkat County. Ia kemudian juga sempat melatih di sebuah klub sepak bola di Brixton, London Selatan.
Pada tahun 2015, Raffaele Long, direktur teknis di Centre for Excellence Leicester City Girls, merekrut Annie untuk menjadi salah satu staf pelatih di klub tersebut. BBC pada Maret 2016 menyebut bahwa Annie masih bekerja sebagai kepala pelatih tim U-11 Leicester City, tidak ada keterangan pasti kapan ia meninggalkan King Power Stadium.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2015 juga, direktur sepak bola dan manajer Queens Park Rangers saat itu, Les Ferdinand dan Chris Ramsey, mengajak Annie untuk mengembangkan bakat kepelatihannya di klub yang bermarkas di Loftus Road itu. Annie, yang sedang mengejar lisensi UEFA B-nya (dan kini ia sudah benar-benar mendapatkannya), dipercaya melatih di tim U-18 dan tim U-21.
“Mereka menghabiskan begitu banyak waktu dan upaya untuk saya. Mereka tidak akan melakukannya jika mereka tidak melihat sesuatu yang istimewa dalam diri saya. Di lingkup profesional, kalau anda tidak tahu permainan (sepak bola), anda akan ketahuan," ujar Annie, dilansir The Guardian, 15 Januari 2019.
Ramsey bahkan pernah mengajak Annie untuk menemaninya mengawal latihan tim utama QPR yang saat itu berlaga di Football League Championship (kasta kedua sepak bola Inggris). "Pada saat inilah, setelah delapan tahun pelatihan, saya mulai percaya pada diri saya sebagai seorang pelatih," ujarnya, dilansir wearethecity.com, 20 Juni 2018.
ADVERTISEMENT
Pada November 2015, Annie menerima penghargaan Helen Rollason Award for Inspiration at the Sportswomen of the Year Awards. Itu adalah penghargaan yang diinisiasi oleh Sunday Times dan Sky Sports sebagai pengakuan atas kontribusi luar biasa yang dibuat oleh para olahragawati paling terkemuka di Inggris. Helen Rollason adalah nama jurnalis perempuan pertama yang menjadi pembawa acara siaran olahraga BBC pada 1990, 'Grandstand'.
"Memenangkan Helen Rollason Award memberi saya dorongan dan motivasi yang lebih besar untuk tetap fokus. Itu memberi saya kesempatan untuk menunjukkan kepada semua orang yang mengatakan saya tidak boleh dan tidak bisa melakukannya, bahwa saya telah melakukan dan melanjutkan perjalanan sampai saya mencapai tujuan," ujar Annie, dilansir BBC, 7 Maret 2016.
Annie Zaidi saat menerima British Empire Medal (BEM) pada tahun 2017. Foto: Football Association
Penghargaan bergengsi lain yang ia terima adalah British Empire Medal (BEM) pada tahun 2017. Annie, yang saat itu sudah tercatat sebagai perempuan muslim pertama yang mengantongi lisensi UEFA B, dinilai layak jadi panutan banyak orang, karena bekerja tanpa lelah untuk meneruskan hasratnya di dunia olahraga.
ADVERTISEMENT
Annie juga dinilai menginspirasi banyak anak perempuan dan perempuan muda untuk menyadari potensi mereka melalui yayasan miliknya, Coach AnnieZ Foundation. Yayasannya yang berdiri tahun 2015 itu bertujuan mengembangkan potensi perempuan muda di berbagai bidang, tidak hanya olahraga.
British Empire Medal (BEM). Foto: Football Association
"Tiga tujuan utamanya (Coach AnnieZ Foundation) adalah untuk menginspirasi, memberdayakan, dan mendorong lebih banyak perempuan muda untuk menyadari potensi mereka, baik jadi ilmuwan, pesepak bola, pilot, maupun pengusaha. Tujuan yayasan adalah untuk mendorong mereka untuk ikuti impian mereka karena dengan kerja keras, kepercayaan diri, dan pengabdian, impian mereka dapat terwujud, seperti impian saya," kata Annie, dilansir FIFA.com, 14 Maret 2018.
Solihull Moors FC
Annie Zaidi. Foto: Solihull Moors FC
8 Januari 2019, Solihull Moors FC resmi memperkenalkan Annie Zaidi sebagai pelatih kepala tim perempuan klub yang bernaung di West Midlands itu. Bertambah lagi satu orang yang berjasa dalam hidupnya terkait peran barunya itu, yakni Mark Fogarty selaku Direktur Sepak Bola Solihull Moors FC.
ADVERTISEMENT
Saat itu, tim perempuan Moor sedang dalam fase yang sulit. Dari 11 klub yang berjibaku di Division 1 Midlands dalam kompetisi FA Women's National League (kompetisi kasta keempat) musim 2018/2019, Moors duduk di peringkat ke-10.
“Ini tantangan, tapi saya sudah tahu keterampilan yang dimiliki para pemain. Saya cukup yakin bahwa kami akan baik-baik saja untuk musim ini," ujar Annie, dilansir situs resmi klub, 8 Januari 2019.
Namun sayang, Annie pada akhirnya belum mampu mengangkat prestasi tim perempuan Solihull Moors FC. Mereka tetap bertengger di peringkat ke-10, hanya mengoleksi 2 kemenangan dari total 19 laga, sisanya kalah, dan terpaksa harus terdegradasi ke kompetisi kasta kelima.
Sebelumnya, Annie Zaidi telah menjadi bagian dari Moors sejak Agustus 2017, mengambil sejumlah peran pelatih kepala dan pelatih teknis di akademi klub. Zaidi juga masih memiliki wewenang sebagai pelatih kepala tim U-16, pelatih teknis tim U-13, dan pelatih kepala tim U-9. Terkadang, ia juga membantu tim U-15.
ADVERTISEMENT
"Dia (Annie) suka menyemangati kita. Terkadang itu keras, tapi keras juga membuat kita bekerja keras. Dia banyak membantu saya meningkatkan diri," ujar Morgan, pemain U-15 Solihull Moors FC.
Fogarty mengaku masih akan tetap memberikan kepercayaan pada Annie. Bahkan, Fogarty mengatakan tidak menutup kemungkinan Annie bisa menjadi pelatih tim utama laki-laki Moors. "Kurasa ia (Annie) bisa mencapai apa pun yang dia inginkan," katanya, dilansir BBC, 1 Mei 2019.
Di usia yang masih kepala tiga, tentu karier Annie masih bisa panjang. Ia akan terus menjalani apa yang ia sukai, berkontribusi dalam olahraga yang begitu amat ia cintai, yakni menjadi pelatih sepak bola.
ADVERTISEMENT