Ketika Temanmu Sinis: "Ngapain sih Buruh pada Aksi Turun ke Jalan?"

kawula muda
Lika-liku dunia anak muda
Konten dari Pengguna
2 Mei 2017 0:54 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari kawula muda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari Buruh di Jakarta. (Foto: AP Photo/Achmad Ibrahim)
Tan Malaka pernah berkata, agar sebuah gerakan dapat mencapai tujuannya, aksi massa-lah solusinya.
ADVERTISEMENT
“Ngapain sih itu para buruh gelar aksi di jalanan? Kurang kerjaan!” Pernyataan berbau apatisme dan penuh abai dari seorang kawan saya tadi pagi masih terngiang di kepala. Saya sempat mengulangnya berulang-ulang. Respon saya hanya satu saat itu: Dasar, kelas menengah ngehek!
Oopss… Sorry kalau malam-malam gini bukannya tidur malah mencak-mencak.
Let me get this straight now, Dear. Mungkin saat ini banyak sekali para pegawai (yang sangat layak masuk kategori buruh meskipun mereka menampik disebut demikian) yang kondisi finansialnya masih adem-adem ayem bahkan sering nongkrong di warung kopi Amrik ketika balik ngantor. Pekerjaannya membanggakan. Jenjang karirnya prospektif tif tif. Gaji sebulannya dua digit atau mepet-mepet dua digit.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan kamu saja yang bekerja di dunia ini, Dear. Di seberang kantormu, mungkin ada pekerja-pekerja pabrik yang masih digaji di bawah upah minimum. Jangan jauh-jauh menilik ke luar kantor, deh. Temui pegawai di perusahaanmu yang jabatannya jauh lebih rendah darimu, apa iya perusahaan telah cukup mensejahterakannya, atau keluarganya, yang katanya dijanjikan tunjangan kesehatan mudah tapi tak kunjung didapatkan?
Berkat aksi dari hari buruh pada abad ke-18 di sejumlah negara bagian Amerika Serikat dan Eropa, jam kerjamu masih menyediakan waktu untuk kamu bernapas lega dalam tiap minggunya. Dahulu, ketika kapitalisme dengan angkuhnya menduduki industri perekonomian, para buruh dipekerjakan seenak jidatnya pemegang kapital: jam kerja hingga 18-20 jam per hari setiap minggunya, upah buruh yang jauh dari kata layak dan tak sebanding dengan keringat yang telah dikeluarkan, serta buruknya kondisi serta manajemen kerja.
ADVERTISEMENT
Oke, bayangin aja kalau sampai sekarang kerja masih 20 jam per hari. Waktu kosong jam mau ngapain, Sayang? Makan, tidur, ngurus anak? Waktu segitu cuma cukup buat ngupil doang!
Beruntunglah kamu-kamu yang lembur masih digaji, dapet uang makan, transport, tunjangan kesehatan, ketenagakerjaan, keluarga dan lain-lain. Dahulu, lembur itu suatu keharusan. Kamu harus loyal dengan perusahaan, kalau tidak, perutmu sekeluarga bisa kosong berhari-hari. Sakit-sakitan sudah jadi rutinitas. Sekarang, kamu demam sedikit bisa gesek pakai kartu asuransi dari kantor.
Dengan aksi turun ke jalan 1 Mei kemarin-lah, suara-suara buruh yang merasa dirinya masih dieksploitasi oleh perusahaan dapat berteriak selantang-lantangnya menuntuk haknya. Sebagaimana yang dilakukan para buruh di Amerika 200 tahun lalu, mereka memutuskan untuk mogok kerja untuk mengambil alih hak-hak yang “dirampas”. Ini kapitalisme, Sayang. Pemegang modal mikir bagaimana caranya dapat keuntungan besar dengan pengeluaran sekecil-kecilnya, salah satunya adalah dengan menekan biaya dan tunjangan pekerjanya.
ADVERTISEMENT
Demo buruh di Jalan Thamrin Jakarta (Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA)
Dengan adanya kesadaran untuk melakukan aksi turun ke jalan inilah kita dapat mewujudkan sebuah relasi kekuasaan yang tidak intimidatif dan berat sebelah: buruh juga punya taring kekuaasaan yang menyaingi kuasa perusahaan!
Bagaimana tidak? Dengan mogok kerja barang satu atau dua hari, atasanmu pasti akan kelimpungan. Mogok massal buruh secara serentak? Kencing nanah deh itu bosmu!
Kitalah para penggerak roda perusahaan. Kitalah yang memproduksi barang dan jasa tiap hari. Kitalah yang membuat pundi-pundi rupiah yang sekarang manis terselip di dompet para pemilik kapital. Kita ini terorganisir dan berserikat (meskipun disekat oleh jenjang dan jabatan); mungkin pekerja kantoran yang memiliki hak istimewa sepertimu enggan menyadarinya, atau terlalu abai untuk peduli
ADVERTISEMENT
Nah, terus, ketika hidupmu terasa dikuras dengan tidak manusiawi tanpa imbalan yang setimpal, kamu malah diam saja, begitu? Oh, tidak, dong! Kita harus merebut hak-hak dan kesejahteraan sebagai buruh; terlebih lagi, sebagai manusia.
Pendidikanmu mungkin lebih tinggi. Biaya kuliahmu lebih mahal. Kamu punya banyak privilese untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak. Berempati terhadap mereka yang kurang mampu saja masa kamu tak pernah belajar?
Lagipula, jauh di dalam lubuk hatimu, memangnya perusahaanmu yang sekarang sudah mempekerjakanmu dengan adil? Memangnya kamu jadi lebih sejahtera? Memangnya kamu enggak pernah merasa begitu dibabat habis oleh tugas-tugas kantor yang bobotnya enggak wajar? Memangnya gajimu yang sekarang sebanding dengan duit kuliahmu? Memangnya kamu enggak pernah merasa kangen jalan-jalan dengan keluarga dan teman-teman? Memangnya tubuhmu enggak remuk disuruh begadang terus?
ADVERTISEMENT
Spanduk pekerja kreatif dari SINDIKASI. (Foto: Sattwika Duhita/kumparan)
Nah, kalau kamu merasakan hal-hal seperti itu, tahu enggak apa yang sedang terjadi: Perusahaan berikut pemilik modal di dalamnya sedang memanfaatkan energi kamu, Sayang!
Apa kamu mau diam saja kalau mereka seenaknya? Enggak, kok! Kamu enggak harus diam saja. Oleh karena itu, pada 1 Mei kamu bisa mogok kerja dan menyuarakan semua kepahitan dunia kerja yang kamu alami. Salah satunya cara adalah dengan apa yang orang-orang lakukan di jalanan, yaitu aksi --yang kamu kutuk sumpahi itu.
Kamu berhak untuk bersuara apa pun tentang pekerjaanmu yang sekarang. Tentang gajimu. Tentang jam kerjamu. Tentang kantormu. Tentang bosmu. Jangan pernah remehkan aksi massa, Sayang.
Voilaa……. Sekarang ketahuan, deh, kalau kamu juga sebenarnya seorang buruh.
ADVERTISEMENT
Para sekrup kapitalis.