Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dalam Upaya Bergabung Kembali dengan JCPOA
30 April 2023 11:14 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Kein Surung tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hengkang dari Perjanjian Nuklir Iran pada masa kepemimpinan Trump, Amerika Serikat, yang saat ini berada di bawah kepemimpinan Joe Biden, berusaha untuk bergabung kembali.
ADVERTISEMENT
Perjanjian Nuklir Iran (Iran Nuclear Agreement) atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) merupakan sebuah perjanjian antara kelima negara Dewan Keamanan PBB beserta Iran yang bertujuan untuk mengatur mengenai pengembangan senjata nuklir di Iran.
Keberhasilan dalam menghadirkan perjanjian ini bertahan hanya selama 3 tahun, pada tahun 2018, Donald Trump menarik Amerika Serikat dari perjanjian tersebut secara sepihak dan kembali menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Iran.
Penarikan diri Amerika Serikat dari Perjanjian Nuklir Iran serta adanya sanksi ekonomi yang diberikan terhadap Iran, membuat Iran semakin berani untuk mengembangkan nuklirnya yang melanggar isi perjanjian yang telah disepakati.
Pergantian kepemimpinan di Amerika Serikat, berbuntut pula pada perubahan arah kebijakan luar negerinya. Donald Trump melihat perjanjian nuklir yang dibentuk tidak efektif dalam menekan Iran, sehingga memutuskan untuk keluar dari perjanjian tersebut, justru berbanding terbalik dengan Joe Biden yang berusaha untuk bergabung kembali dengan perjanjian tersebut.
ADVERTISEMENT
Alasan Terbentuknya JCPOA
Secara historis, pengembangan nuklir di Iran pernah mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat. Pengembangan nuklir ini dimulai dari tahun 1953, di bawah kepemimpinan Shah Mohammad Reza, dukungan penuh dari Amerika Serikat terhadap pengembangan nuklir ini ditandai dengan adanya kesepakatan Atom for Peace.
Seiring berjalannya waktu, pengembangan teknologi nuklir ini justru menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat internasional khususnya di wilayah Timur Tengah atas adanya kemungkinan nuklir akan dijadikan senjata pemusnah massal.
Dugaan ini hadir karena tindakan Iran yang tidak mematuhi NPT atau Nuclear Proliferation Treaty, ketidakpatuhan itu antara lain seperti Iran yang tidak melaporkan transaksi pembelian uranium dari Tiongkok dan juga International Atomic Energy Agency atau IAEA yang tidak dapat mengakses informasi terkait pengayaan uranium Iran (Larasati & Yusran: 2021).
Berdasarkan ketakutan tersebut, pada awalnya negara-negara Barat menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Iran dengan harapan mampu melemahkan posisi Iran dalam melanjutkan program senjata nuklirnya.
ADVERTISEMENT
Sanksi ekonomi tersebut efektif dalam melemahkan ekonomi Iran, namun tidak dengan politiknya yang masih terhitung kuat yang membuat Iran bersikukuh untuk melanjutkan pengayaan uraniumnya (Said, 2016).
Melihat Iran yang masih tetap melanjutkan pengembangan nuklirnya, Amerika Serikat dan negara-negara anggota Dewan Keamanan Tetap PBB seperti Inggris, Prancis, Rusia, Tiongkok, Jerman, beserta Iran atau biasa disebut P5+1 kemudian membuat sebuah perjanjian diplomatis untuk mencegah akan hadirnya tindakan agresif dari Iran menggunakan nuklir. Perjanjian tersebut kemudian dikenal sebagai Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).
Penarikan Diri Amerika Serikat dari JCPOA
Donald Trump mengumumkan penarikan diri Amerika Serikat dari JCPOA pada tahun 2018. Setahun sebelumnya, pada tahun 2017, Trump bertemu dengan Perdana Menteri Israel untuk membahas mengenai Iran yang tidak akan pernah memiliki senjata nuklir.
ADVERTISEMENT
Trump menganggap bahwa Iran menyia-nyiakan kesempatan besar yang ditawarkan Amerika Serikat melalui Perjanjian Nuklir Iran dengan tetap mendukung teroris, yang dalam hal ini, teroris yang dimaksud adalah Hamas dan Hizbullah (Mikail, 2018).
Oleh karena itu, keputusan yang dianggap paling rasional diambil oleh Donald Trump dengan menarik diri dari Perjanjian Nuklir Iran. Keputusan ini merupakan hasil dari pemahamannya mengenai Perjanjian Nuklir Iran yang tidak efektif dalam menekan Iran dan juga berlandaskan kepentingan nasional Amerika Serikat yang ingin mempertahankan sekutu lamanya yakni, Israel.
Pembuatan keputusan dalam kebijakan luar negeri di Amerika Serikat selalu berdasarkan kepentingan negara atau national interest yang ingin didapatkan. Pada masa pemerintahan Donald Trump, Amerika Serikat memiliki kepentingan yang cukup besar di wilayah Timur Tengah.
Prioritas kepentingan nasional Amerika Serikat hingga tahun 2025 menurut RAND-lembaga think tank terkemuka di Amerika Serikat-dalam Mikail (2018: 78) yaitu; mempertahankan Israel juga melaksanakan penyelesaian dalam proses perdamaian di Timur Tengah, membuka akses minyak, mencegah hadirnya negara hegemoni lain, mencegah senjata pembunuh massal, memperkuat reformasi ekonomi dan politik, dan mengontrol terorisme.
ADVERTISEMENT
Prioritas kepentingan nasional ini saling berkesinambungan, namun, dua di antaranya menjadi fokus yang dijadikan landasan utama pengambilan keputusan Trump untuk keluar dari JCPOA yakni, Israel dan akses minyak.
Kontrol yang dilakukan terhadap negara-negara Timur Tengah akan mengamankan pemenuhan kepentingan nasional Amerika Serikat.
Respons Iran atas Penarikan Diri Amerika Serikat
Menganggap bahwa negaranya telah secara baik mematuhi Perjanjian Nuklir Iran tahun 2015, penarikan diri dan sanksi ekonomi yang dilakukan Amerika Serikat menimbulkan kekecewaan besar bagi Iran. Pemerintah Iran mengancam akan memakai senjata jenis apa pun dalam menghadapi tekanan internasional atas program nuklir yang mereka jalankan.
Melihat kondisi wilayah Timur Tengah yang sangat rentan dengan ketidakpastian dalam keamanan negaranya, negara-negara di wilayah Timur Tengah, tak terkecuali Iran, berusaha untuk mempertahankan keamanan nasional atas dasar security dilemma.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, Iran dalam menanggapi perilaku Amerika Serikat memberikan ancaman untuk tidak akan mematuhi segala poin-poin yang telah tertuang dalam JCPOA, seperti pembatasan atas program pengayaan uranium (Larasati & Yusran: 2021). Ancaman tersebut direalisasikan Iran dengan peningkatan uranium hingga 83,7 persen yang dilaporkan oleh IAEA (CNN Indonesia, 2023).
Keinginan Amerika Serikat untuk Bergabung Kembali kepada JCPOA
Iran dengan realisasi ancamannya terhadap pelanggaran poin-poin perjanjian dalam JCPOA, kembali meningkatkan kekhawatiran bagi Amerika Serikat.
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dalam menghadapi hal ini mengubah arah kebijakan luar negerinya mengenai nuklir Iran dengan upaya untuk bergabung kembali dengan JCPOA agar mampu mengembalikan kepercayaan Iran untuk kembali mematuhi perjanjian nuklir yang telah ada.
ADVERTISEMENT
Joe Biden sangat kecewa dengan keputusan yang dilakukan oleh Donald Trump karena keluar dari Perjanjian Nuklir Iran pada tahun 2018. Joe Biden menganggap bahwasanya keluarnya Amerika Serikat justru memberikan peluang besar bagi Iran agar semakin dekat dengan nuklir.
Pemerintahan Joe Biden saat itu harus bekerja dua kali lebih keras untuk mengaktifkan kembali Perjanjian Nuklir Iran dengan berbagai cara.
Apabila Iran tetap bersikukuh untuk meningkatkan nuklir di negaranya, Amerika Serikat akan menggunakan cara pemaksaan terhadap Iran (Jati, 2022). Upaya perundingan tetap dilakukan oleh Amerika Serikat dengan Iran mengenai pengaktifan kembali Perjanjian Nuklir Iran ini.
Tidak dapat dipungkiri, setiap langkah kebijakan Amerika Serikat, khususnya kebijakan luar negeri, akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tatanan internasional.
ADVERTISEMENT
Keputusan Trump menarik diri dari Perjanjian Nuklir Iran hingga pada keputusan Joe Biden yang berupaya untuk bergabung kembali adalah salah dua dari banyaknya kebijakan yang berpengaruh. Pengaruh yang besar ini hadir karena Amerika Serikat adalah negara dengan kekuatan, baik ekonomi hingga militer, yang kuat di dunia.
Meskipun kebijakan yang diambil oleh Amerika Serikat pada dasarnya adalah untuk memenuhi kepentingan nasional negaranya, secara tidak langsung kebijakan tersebut pada akhirnya berpengaruh pada tatanan internasional.