Konten dari Pengguna

Jelajah Belitung: Menyelami Senja Tanjung Pandan

Kelik Wahyu Nugroho
Assistant Editor
17 Agustus 2019 18:04 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kelik Wahyu Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gradasi warna sunset di Pantai Tanjung Pendam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
zoom-in-whitePerbesar
Gradasi warna sunset di Pantai Tanjung Pendam, Kota Tanjung Pandan, Belitung.
ADVERTISEMENT
Apa yang pertama kali terbesit di pikiran kamu saat mendengar nama Belitung? Film Laskar Pelangi? Pulau Lengkuas? Atau hamparan pantai berlatar batu granit raksasa?
ADVERTISEMENT
Ya, petualangan Ikal, Lintang, dan kawan-kawan sukses membuatku --dan pasti banyak orang lainnya-- bermimpi menjelajahi Negeri Laskar Pelangi ini. Lewat film itu, keindahan alam Belitung yang memukau, sukses membuatku bermimpi menginjakkan kaki ke pulau ini.
Pantai Tanjung Kelayang atau Pantai Laskar Pelangi yang terkenal karena adegan Ikal, Lintang, dkk bermain di pantai. Penasaran dengan keindahan pantai ini? tunggu cerita selanjutnya.
Setelah 11 tahun berlalu, tiba-tiba mimpi yang sempat pudar itu muncul kembali. Alasannya sederhana: Momen. Kebetulan, aku mendapatkan jatah libur 3 hari setelah masuk malam selama lima hari berturut. Belum lagi, harga tiket pesawat yang sedang bersahabat membuatku nekat untuk menjelajahi Belitung.

Kamis, 8 Agustus 2019, sore hari

Aku langsung berburu tiket pesawat dan hotel di Traveloka, sekaligus curi-curi waktu untuk mengulik informasi soal solo traveling di Belitung. Itinerary dan hitung-hitungan budget sudah tersusun rapi, tiket pun sudah di tangan. Aku siap untuk berpetualang.
ADVERTISEMENT

Senin, 12 Agustus 2019, pagi hari

Baru juga bangun, aku langsung mendapatkan telepon dari Sriwijaya Air. Mereka bilang, pesawatku untuk Selasa (13/8) harus diubah jadwal penerbangannya menjadi pukul 12.40 WIB. Untung, delay hanya satu jam saja. Terlebih, pihak Sriwijaya juga sudah cukup baik memberitahukan perubahan jadwal 24 jam sebelum keberangkatan.

Selasa, 13 Agustus 2019, pagi hari

Salah satu sudut Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Rasa kantukku belum juga hilang setelah semalaman terjaga untuk piket malam. Setelah tidur sebentar dan "mandi ayam," aku bergegas ke Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 09.30 WIB menggunakan Bus Damri seharga Rp 40 ribu dari Terminal Pasar Minggu.
Perjalanan memakan waktu sekitar satu jam karena jalanan sedang tidak begitu macet. Setelah sampai, aku langsung check-in dan menunggu pesawat sambil menahan kantuk. Ya, lebih baik mengantuk daripada tertinggal, kan?
Kursi pinggir jendela, spot andalan kalau berpergian menggunakan pesawat.
Penerbangan dari Jakarta menuju Tanjung Pandan ditempuh dalam waktu 55 menit. Waktu itu cukup untuk curi-curi kesempatan pelor (nempel molor) di pesawat.
ADVERTISEMENT
Sekitar pukul 14.15 WIB, pesawat mendarat di Bandara HAS Hanandjoeddin yang jaraknya sekitar 13 kilometer dari pusat Kota Tanjung Pandan.
Patung Lettu HAS Hanandjoeddin di depan Bandara HAS Hanandjoeddin, Belitung.
Berdasarkan informasi di Internet, rupanya taksi online sudah banyak di Belitung. Daripada repot mencari transportasi dari bandara ke pusat kota, akhirnya aku memilih memesan Grab Car dengan tarif Rp 55 ribu. Harga yang cukup wajar, menurutku.
Sepanjang perjalanan, pengemudi Grab Car terus mengajakku--yang tingkat kesadarannya tinggal 5 persen ini--mengobrol. Topiknya banyak. Mulai dari kemajuan hingga kondisi pariwisata Belitung yang menurun karena harga tiket pesawat yang selangit. Lumayan, obrolan itu membuat rasa kantukku hilang.
Buat kamu yang sedang berencana ke Belitung akhir Agustus ini, jangan lupa buat menyaksikan Pesona Belitung Beach Festival.
Di Belitung, aku memilih menginap di Hotel Havana Mutiara. Karena benar-benar mengantuk, aku terpaksa menyerah dan memilih tidur sekitar satu jam. Aku baru bangun sekitar pukul 16.30 WIB setelah alarm berbunyi dan bergegas cuci muka sebelum berangkat merealisasikan itinerary hari pertama di Belitung.
ADVERTISEMENT
Hal pertama yang ingin aku lakukan di Tanjung Pandan --selain tidur-- adalah mencicipi Mie Belitung Atep di Jalan Sriwijaya. Jaraknya dari hotel hanya sekitar 200 meter saja. Jadi, cukup berjalan kaki sembari menikmati Kota Tanjung Pandan yang tak pernah macet.
Warung Mie Atep di Jalan Sriwijaya, Tanjung Pandan, Belitung.
Beruntung saat itu, Warung Mie Belitung Atep sedang sepi. Mungkin karena sudah sore atau memang warung ini baru ramai di pagi dan malam hari saja.
Mie Atep sebenarnya sejenis mi kuning rebus yang dibubuhi topping udang, telur, dan emping. Kuahnya lumayan kental dan rasanya mengingatkanku dengan Mie Ongklok Longkrang khas Wonosobo, manis-asam. Suapan pertama, aku langsung jatuh hati pada cita rasanya. Uniknya lagi, mie ini disajikan di atas daun pohon jati.
ADVERTISEMENT
Penampilan menggoda Mie Atep.
Harga seporsi Mie Atep dibanderol dengan harga Rp 18 ribu. Sebagai minuman pendamping, aku memesan es jeruk seharga Rp 6 ribu.
Setelah kenyang, aku kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Kemuning menuju Pantai Tanjung Pendam. Jaraknya hanya sekitar 1 kilometer dari Mie Atep. Karena dekat, aku memilih untuk berjalan kaki. Lumayan, itung-itung membakar lemak jahat usai makan.
Bundaran Batu Satam, salah satu ikon Kota Tanjung Pandan.
Sepanjang perjalanan, aku sibuk mengabadikan berbagai sudut Kota Tanjung Pandan, mulai dari Bundaran Batu Satam, papan petunjuk jalan, hingga bangunan tua.
Dulu, Tanjung Pandan adalah kota pelabuhan dan transit bagi orang Tiongkok, jadi jangan heran jika banyak bangunan tua yang masih kental dengan ornamen timurnya.
Rumah Kapitan Phang, salah satu bangunan tua di Tanjung Pandan, terletak di depan Hotel Havana Muatiara.
Menjelang sore hari, suara jeritan burung-burung walet yang bersarang di bangunan tua semakin terdengar jelas. Baru 15 menit berjalan, aku sadar jika Kota Tanjung Pandan sudah semakin maju, berbeda jauh dengan yang tergambar di Film Laskar Pelangi.
ADVERTISEMENT
Ya, wajar sih, mengingat setting film itu mengambil waktu puluhan tahun yang lalu. Kini, sudah seharusnya Belitung berbenah diri.
Bangunan tua di Kota Tanjung Pandan, Belitung.
Begitu sampai di Pantai Tanjung Pendam, hamparan pasir lembut langsung menyambutku. Siluet matahari terbenam menambah apik pemandangan. Air lautnya masih bersih dan bebas sampah plastik, tak seperti di Ibu Kota.
Pantai Tanjung Pendam, Tanjung Pandan, Belitung.
Di beberapa titik, terlihat anak-anak kecil yang asyik bermain air. Sementara, sejumlah remaja tampak berswafoto, dan beberapa pengunjung lainnya lebih memilih duduk santai di hamparan pantai sambil menikmati matahari terbenam.
Sunset di Pantai Tanjung Pendam, Tanjung Pandan, Belitung.
Sebelum matahari benar-benar hilang dari peraduan, aku memilih untuk kembali ke penginapan. Bukan karena pemandangannya tidak bagus, bukan, justru sunset di sini sangat indah. Tapi, aku ingin cepat-cepat mandi dan beristirahat untuk perjalanan besok.
ADVERTISEMENT
Berhubung ‘penyakit’ malas jalan kaki kembali kambuh, kali ini aku pulang dengan memesan Grab Bike seharga Rp 8.000.
Sudut Pantai Tanjung Pendam, Tanjung Pandan, Belitung.
Di tengah jalan aku meminta abang Grab Bike untuk berhenti sebentar di sebuah minimarket, membeli sejumlah cemilan selama di hotel. Maklum perut terkadang suka tak tahu diri jika tengah malam.
Setelah mandi dan salat magrib, aku menghubungi persewaan motor untuk menjelajahi Belitung selama dua hari ke depan. Usia salat isya, aku memilih untuk tidur lebih cepat, mengingat kondisi tubuh yang kurang tidur. Bersyukur, hari pertama berjalan dengan baik.
Sunset di Pantai Tanjung Pendam, Tanjung Pandan, Belitung.
Terima kasih Belitung untuk kesan di hari pertama.
Pengeluaran Hari Pertama
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
TOTAL: Rp 1.330.000