Mengenal Tari Lumense, Ritual Sakral Bersihkan Negeri Masyarakat Adat Bombana

Konten Media Partner
17 Agustus 2022 7:33 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para wanita sedang melakukan Tari Lumense di Kabupaten Bombana. Foto: Ist/dok. Jurnal Gubernur SUltra
zoom-in-whitePerbesar
Para wanita sedang melakukan Tari Lumense di Kabupaten Bombana. Foto: Ist/dok. Jurnal Gubernur SUltra
ADVERTISEMENT
Tari Lumense asal Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra) akhir-akhir ini menjadi perbincangan banyak orang. Ya benar saja, tarian suku Moronene ini akan tampil dalam rangkaian upacara Hari Ulang Tahun HUT ke-77 Republik Indonesia di Istana Kepresidenan Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kesempatan ini menjadi kebanggaan tersendiri bagi Sultra khususnya masyarakat Pulau Kabaena. Tarian khas daerah kepulauan tersebut memiliki makna yang cukup sakral.
Lumense berasal dari suku kata Lumee bermakna pembersihan dan Eense bermakna melonjak-melonjak. Lumee jika diibaratkan sebagai kuali yang sudah bersih kemudian dibersihkan kembali dan Eense melonjak-melonjak seperti berada di atas bara api.
Jika disatukan Lumense bermakna tarian untuk membersihkan negeri dengan gerakan melonjak-melonjak. Seperti membersihkan dari bala bencana seperti wabah penyakit yang biasa datang saat angin musim Barat. Di mana angin bertiup dari lautan dan membawa penyakit.
"Angin ini biasa membawa penyakit atau wabah maka ditarikan untuk membersihkan negeri," kata Pemerhati Budaya Suku Moronene, Ilfan Nurdin kepada kendarinesia, beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Lumense juga kerap dilakukan jika terjadi pelanggaran adat istiadat yang dipegang teguh masyarakat setempat. Ilfan belum ketahui pasti sejak kapan ritual adat ini mulai ada. Namun Lumense ini dilakukan oleh Bisa (dukun) kerajaan-kerajaan terdahulu.
Ada beberapa tempat yang dipercaya awal mula Lumense muncul seperti di Desa Tangkeno, Lengora dan Balo. Namun beberapa bukti sejarah kuat Lumense pertama kali hadir di Desa Lengora dengan ditandai adanya situs petilasan Watu Amalaha di Goa Batu Buri.
Kemudian Lumense ini dimainkan oleh para Bisa kerajaan yang disebut Woliam Pehalu. Ilfan mengungkapkan para Bisa menarikan Lumense di rumah yang disebut dengan Palangga atau rumah untuk berhubungan langsung dengan alam gaib. Rumah tersebut khusus dibuat untuk para Bisa melakukan ritual adat tersebut.
Para wanita sedang melakukan Tari Lumense di Kabupaten Bombana. Foto: Ist/dok. Jurnal Gubernur SUltra
"Jadi kalau ada wabah penyakit atau bala bencana, Bisa bersemedi di rumah Palangga. Entah itu 1 hari 1 malam, 7 hari 7 malam bahkan sampai 40 hari 40 malam. Ketika mendapatkan petunjuk, gendang dibunyikan lalu para Bisa seketika meloncat dari Palangga untuk menari Lumense," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Menurut Ilfan dengan alur sejarah seperti itu, diprediksi Lumense ini ditemukan pertama kali di Goa Batu Buri, ditarikan pertama kali untuk mengusir wabah penyakit dan bala bencana di kerajaan masa lalu di Tangkeno dan dilestarikan di Balo.
Namun dibutuhkan penelitian ilmiah untuk menentukan tentang asal usul lahirnya Lumense. Terpenting bahwa Lumense merupakan tarian Tokotu'a Kabaena.
Ilfan mengungkapkan karena ditarikan oleh para dukun-dukun kerajaan atau Bisa, maka dipastikan Lumense ini hadir sebelum ajaran Islam masuk ke Pulau Kabaena.
Seiring berjalannya waktu, Tari Lumense pernah dilarang karena dirasa melenceng dengan ajaran agama Islam. Hal itu terjadi di masa kepemimpinan Mokole Kabaena (Raja) Abdul Rahim di tahun 1938-1957. Kemudian berganti kepala distrik merangkap Mokole Kabaena Abdul Muis di tahun 1957-1962, masih tetap dilarang.
ADVERTISEMENT
"Tapi di Balo masih ditarikan secara sembunyi-sembunyi," ungkap pria yang merupakan pewaris Mokole Kabaena ini.
Kemudian datang La Ode Madu sebagai camat Kabaena di tahun 1962-1964 menggali tentang sejarah kebudayaan Kabaena di masa lampau termasuk Tari Lumense. Kemudian dikembangkan dan dilestarikan dengan keadaan masyarakat saat itu tanpa meninggalkan kesakralannya.
Kemudian pada masa Amiruddin sebagai camat Kabaena di tahun 1970, Tari Lumense ditampilkan ke masyarakat luas hingga ke berbagai daerah.
"Kalau raja-raja terdahulu jauh sebelum Abdul Rahim selain memotong pisang, sebelum gendang dibunyikan harus ada kerbau dipotong, harus ada darah keluar membasahi bumi, sekarang sudah tidak lagi," ungkap dia.
Bahkan, kata Ilfan, dahulu sebelum mengenal Islam, persembahan para Bisa adalah perawan yang paling cantik untuk para dewa pemilik alam. Kemudian berganti ke hewan seperti babi. Ketika Islam masuk semua itu berubah, dari yang haram ke halal.
ADVERTISEMENT
"Sekarang sudah diganti ke batang pisang," ungkapnya.
Awalnya laki-laki kerap ikut menarikan Lumense dengan dibuktikan adanya simbol topi kerucut dan perempuan menggunakan tali ikat di kepala.
"Tapi sekarang rata-rata sudah perempuan yang menarikan Lumense dengan jumlah yang tidak dikhususkan. Sekarang biasa di atas 10 orang yang menarikan," ungkapnya.
Untuk diketahui, Tari Lumense diiringi musik gendang, gong besar (Mbololo) dan gong kecil (Ndengu-ndengu). Tiga alat musik ini dimainkan serentak oleh tiga orang.
Biasanya tari Lumense ini dilakukan di arena atau panggung terbuka, sehingga perlengkapan pertunjukkan tari tersebut hanya terdiri dari parang dan batang pisang saja. Klimaks dari tarian ini dengan menebas batang pisang menggunakan parang.
Pakaian penarinya terdiri dari pakaian adat. Penari pria memakai baju berwarna merah dan hitam, kain sarung dan topi bambu khas daerah Moronene. Penari wanita memakai baju panjang berjumbai seperti ekor burung, kain sarung, kepala diikat dengan hiasan berumbai dan ikat pinggang.
ADVERTISEMENT
Ilfan menambahkan sesuai catatan sejarah dari berbagai literasi, tarian saat ini sudah diperbaharui tanpa mengubah norma dasar tarian. Seperti tarian biasa digunakan untuk lomba, menyambut tamu dan lainnya sedangkan dulu dilakukan untuk membersihkan negeri.