Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Rekonstruksi Kekhususan dan Keistimewaan Aceh
15 Agustus 2023 8:25 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Khairil Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Aceh sebagai bagian dari Indonesia adalah satu-satunya provinsi yang diakui kekhususan dan keistimewaannya. Dua status ini menjadikan Aceh lebih spesial dibanding daerah lain yang jika pun diakui, biasanya hanya diakui salah satunya: khusus, atau istimewa saja. Pengakuan ini konstitusional dan memiliki alasan yang kuat.
ADVERTISEMENT
Disebut konstitusional karena tidak hanya diundangkan, pengakuan itu juga memiliki landasannya di dalam konstitusi (Pasal 18 UUD NRI). Sedangkan alasan mengapa Aceh istimewa dan khusus, tentu ada hubungannya dengan sejarah dan karakteristik masyarakatnya, serta konflik Aceh yang berkepanjangan.
Dibanding kekhususan, Aceh lebih dulu dianggap istimewa oleh Indonesia. Secara yuridis, keistimewaan Aceh tergambar dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Daerah Istimewa Aceh. Dua tahun setelahnya barulah Aceh mendapat status sebagai daerah otonomi khusus, yakni melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Namun, di tahun 2006, UU 18/2001 itu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Pasal 272 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hal ini tidak menghilangkan kekhususan Aceh, melainkan memperluasnya sehingga UU 18/2001 dianggap tidak lagi diperlukan.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan UU 18/2001, penyelenggaraan keistimewaan Aceh melalui UU 44/1999 justru dipertahankan sekalipun UU 11/2006 juga mengatur materi keistimewaan. Tidak diketahui alasan pastinya, yang jelas, dengan sekadar mengacu pada UU 11/2006, secara formal sebenarnya Aceh tetap istimewa di bidang kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan, dan peran ulama.
Boleh jadi hal ini ditujukan sebagai pembeda, mana yang merupakan kekhususan, mana pula yang merupakan keistimewaan. Kalau sekadar itu, mestinya dirumuskan saja dalam pasal tersendiri yang menegaskan hal itu, bukan dengan mempertahankan eksistensi UU 44/1999 yang secara substansial tidak lagi relevan untuk dirujuk.
Terlepas dari bagaimana kekhususan dan keistimewaan Aceh itu diatur, ada hal yang lebih penting yang sepertinya telah terlalu liar dipahami, bahkan kerap menjadi alat untuk membungkam ide-ide kreatif yang lebih aktual, rasional, dan dalam beberapa hal dipandang lebih adil.
ADVERTISEMENT
Ide-ide itu biasanya dicegat untuk mempertahankan status quo yang biasanya hanya ramah bagi mereka yang sedang berkuasa, atau setidaknya ikut menikmati kekuasaan itu. Padahal di luar mereka ada sejumlah masalah yang muncul: kemiskinan rakyat, perlakuan curang, intoleransi, anak dan perempuan yang masih rentan atas kekerasan, dan terakhir, melalui single banking system telah menjadikan Aceh semakin eksklusif.
Untuk poin terakhir itu, mengatakan Aceh istimewa di bidang ekonomi syariah tidaklah tepat. Meski disebut dalam UU 11/2006, faktanya ekonomi syariah bukanlah pembeda antara Aceh dengan provinsi lain karena Indonesia mengakui dan mempromosikan pula sistem ekonomi syariah itu. Alih-alih ekonomi syariah, Aceh justru khusus dalam hal penetapan suku bunga yang sayangnya malah tidak dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Masalah ekonomi syariah ini persis sama dengan masalah perkawinan. Di mana-mana setiap pemeluk agama Islam akan melaksanakan perkawinan berdasarkan agamanya, yaitu Islam. Kalau pun di bilang ekonomi syariah di Aceh itu ada pembedanya, justru pembedaan yang dibuat itu mesti diuji konstitusionalitasnya.
Sederhana saja, apakah Qanun tentang lembaga keuangan syariah dapat mengatur lembaga keuangan lain? Apakah Qanun dapat mengusir lembaga keuangan yang dianggap legal di negeri ini? Atau, apakah Qanun dapat menderogasi undang-undang? Tentu jawabannya, tidak.
Beberapa masalah di atas sedikit banyaknya berakar pada pemaknaan yang keliru terhadap kekhususan atau keistimewaan Aceh. Hal ini dapat dimaklumi karena kebanyakan orang memahami kekhususan dan keistimewaan sebagai harkat martabat, marwah, atau harga diri Aceh yang diilhami oleh MoU Helsingki. Nasir Djamil bahkan mengusulkan kekhususan Aceh itu bersifat abadi, tentu bersamaan dengan dana otonominya (Serambi, 13/7/2020).
ADVERTISEMENT
Akibatnya, sulit membicarakan agenda perubahan karena UU 11/2006 yang sering disebut UUPA itu mengalami sakralisasi. Otoritas yang dipandang berhak mengubahnya hanyalah partai lokal dan DPRA. Jika dua elemen ini tidak berbicara, jangan harap kritikan atas UUPA itu akan digubris. Hati-hati, kadang malah mendapat serangan dengan beragam lebel: anti Aceh, anti MoU, anti UUPA, anti syariat, dan label-label lainnya.
Atas dasar itu, kiranya rekonstruksi atas definisi atau pemaknaan kekhususan dan keistimewaan itu penting dilakukan. Perlu dipahami bahwa khusus dan istimewa secara politis memiliki makna yang berbeda. Secara faktual, sebagaimana telah disinggung, Indonesia menyematkan dua daerah dengan status istimewa (Aceh dan Yogyakarta), dan tujuh lainnya berstatus khusus (Aceh, DKI Jakarta, Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan).
ADVERTISEMENT
Jika dicermati, maka keistimewaan itu berkenaan dengan hak asal usul dan kesejarahan daerah tersebut sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan kekhususan, terkait dengan kenyataan dan kebutuhan politik yang karena posisi dan keadaannya mengharuskan suatu daerah diberikan status khusus yang tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya (Putusan MK Nomor 81/PUU-VIII/2010). Artinya, istimewa itu soal masa lalu yang mesti dipertahankan karena keberadaannya, sementara khusus soal masa sekarang dan masa depan yang sangat fleksibel sesuai kebutuhan.
Dengan kata lain, menyikapi kekhususan agaknya lebih santai dan terbuka, sedangkan keistimewaan bolehlah sedikit lebih keras dan agak tertutup. Tapi yang terjadi justru kedua-duanya disikapi dengan sangat keras dan sangat tertutup akhir-akhir. Agenda reintegrasi seperti tidak berjalan sama sekali. Kebijakan-kebijakan yang lahir pada akhirnya dibuat dengan asal, yakni asal beda.
Tidak pernah dipertanyakan, apakah pembedaan itu akan menempatkan masyarakat Aceh lebih sejahtera, lebih cerdas, lebih terbuka, atau, apakah setidaknya pembedaan itu bisa menyejajarkan Aceh dengan provinsi-provinsi yang justru tidak dilabeli khusus/istimewa? Kok jatuhnya, Aceh yang khusus dan istimewa, justru tidak ada khusus-khususnya; tidak ada istimewa-istimewanya?
ADVERTISEMENT
Kemudian, untuk tujuan penyederhanaan, kekhususan dan keistimewaan itu jangan mengacu pada semua kewenangan dengan pengecualian, sebaliknya, kewenangan apa yang dianggap sebagai kekhususan dan keistimewaan mesti disebut dengan jelas.
Misalnya, disebut saja bahwa Aceh adalah daerah yang bersifat khusus dan istimewa yang dalam menjalankan kekhususannya, Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua kesehatan, transportasi, pariwisata, ekonomi, dan seterusnya.
Lantas bidang-bidang itu dijelaskan lagi, seperti apa kekhususannya. Terakhir, disebut pula bahwa dalam hal keistimewaan, Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan di bidang peran ulama, adat, syariat, dan pendidikan. Lantas, dijelaskan lagi, seperti apa keistimewaannya.
Contoh baik sebenarnya telah ada, yakni di bidang jinayat. UUPA mengatakan bahwa jinayat merupakan bagian dari syariah yang dapat mengadakan pidana (‘uqubat) yang berbeda dengan peraturan daerah lainnya sebagaimana diatur dalam UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah beberapa kali.
ADVERTISEMENT
Artinya, penyimpangan sebenarnya dilakukan oleh UUPA, bukan oleh Qanun Jinayat (selevel Perda) yang secara hukum dapat diberlakukan asas lex specialis derogate legi generale. Sementara Qanun lain selain jinayat, mereka melakukan penyimpangan dengan dasar apa, Qanun? Asasnya, lex superior derogate legi inferiori; Qanunlah yang dikalahkan, bukan malah undang-undang.
Ada yang bertanya, kenapa tidak Qanunnya yang disejajarkan dengan undang-undang? Tanya lagi saja, lantas UUPA sejajar dengan apa, UUD NRI 1945? Bagaimana jika lebih rendah setingkat? Yang benar saja, masa iya Pemerintah Indonesia disejajarkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)? Rasio legisnya apa?
Misal dijawab dengan “DPRA representasi dari kedaulatan rakyat Aceh”. Maka, dengan model pemilihan umum yang setiap pemilih memilih secara langsung presidennya, kelembagaan DPRA sama sekali tidak ada apa-apanya; sama sekali tak sebanding dengan Pemerintah Indonesia yang melingkupi seluruh rakyat dari seluruh daerah di Indonesia.
ADVERTISEMENT