Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Hidjo dalam Diri Kita: Sukar Memilih Selain Untuk Tunduk
12 Mei 2025 16:57 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Moh Khamidan Akhdan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pelajar Hebat, Tapi Bukan Karena Diri Sendiri
Student Hidjo mungkin terlihat seperti roman kolonial biasa: tokoh utama yang baik, terdidik, dan patuh pada adat. Tapi sebenarnya, ini adalah potret diam-diam dari sistem yang menjebak. Hidjo bukan tokoh kuat yang membuat pilihan-pilihan berani. Justru ia adalah tokoh yang terus menerus didorong—oleh orang tua, adat, dan sistem kolonial yang "baik hati tapi penuh kendali".
ADVERTISEMENT
Dan yang paling menyentuh? Kita masih melihat banyak "Hidjo" hari ini—mahasiswa berprestasi yang tampak sukses, tapi hidupnya dikendalikan harapan orang lain.
Eropa Bukan Tanah Bebas
Di Belanda, Hidjo punya akses ke modernitas: belajar, bergaul, mengenal teknologi. Tapi itu semua ada batasnya. Ia selalu jadi "yang lain". Ia bisa duduk di kelas, tapi tidak bisa duduk sejajar. Ia bisa bicara, tapi hanya sejauh suara itu tidak mengguncang sistem.
Inilah sindiran paling tajam Marco Kartodikromo: kolonialisme tidak selalu kasar. Kadang ia datang lewat senyum dan diploma, tapi tetap menempatkan orang seperti Hidjo sebagai objek, bukan subjek.
Pulang Bukan Selalu Menang
Banyak yang menganggap akhir cerita Student Hidjo sebagai kemenangan moral: ia pulang, menikah, dan hidup tenang. Tapi justru di sinilah tragedinya. Hidjo memilih jalan aman. Ia menghindari konflik, dan akhirnya tunduk. Apakah ini salah? Tidak juga. Tapi kita harus jujur: itu bukan kemenangan. Itu kompromi. Dan kompromi itu dipilih karena sistem tidak memberi banyak pilihan.
ADVERTISEMENT
Masih Relevan Hari Ini? Sangat.
Hari ini, kita hidup di era yang katanya bebas. Tapi banyak dari kita tetap menjalani hidup yang dipilihkan: kuliah jurusan yang orang tua pilih, kerja sesuai standar sosial, menikah di usia yang "tepat", dan seterusnya.
Seperti Hidjo, kita sering ragu untuk bersuara lantang, karena takut dicap "tidak tahu diri". Kita belajar, tapi bukan untuk merdeka—melainkan untuk diterima.
Penutup: Mari Tanya Diri Sendiri
Student Hidjo adalah cermin sunyi. Ia tidak berteriak, tapi pelan-pelan menampar. Bukan karena tokohnya gagah, tapi justru karena ia begitu manusiawi—rapuh, penuh kompromi, dan tidak selalu tahu harus bagaimana.
Kita semua mungkin sedang menjadi Hidjo, tanpa sadar. Dan itu tidak salah. Tapi akan sangat disayangkan kalau kita tidak pernah bertanya: "Hidup ini benar-benar pilihan saya, atau pilihan yang diam-diam diwariskan pada saya?"
ADVERTISEMENT