Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Mari Membenci secara Radikal, Jangan Tanggung-Tanggung
3 Oktober 2023 14:33 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Khoirul Prasetyo Utomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sadar tidak sadar gelombang kehidupan setiap detik berubah. Sesekali udara panas, sedetik berikutnya dingin, lalu kembali menjadi panas, dan bisa saja seketika berubah menjadi normal, lalu berubah lagi ke dalam gelombang lainnya yang bisa saja sangat engap ataupun kemrengseng.
ADVERTISEMENT
Mau mengakui atau tidak, sebenarnya tidak ada yang bisa memastikan gelombang kehidupan masa depan akan seperti apa. Tak lain, yang bisa digambarkan hanyalah sebuah kemungkinan-kemungkinan, gambaran-gambaran, dan perkiraan-perkiraan akan masa depan yang diutarakan dan dihidupkan dalam tafsir-tafsir dan persepsi. Hal tersebut bisa jadi dihadirkan sendiri oleh setiap kepala, yang mana tak lain sebagai penenang atas presepsi yang telah diciptakan dan berhamburan.
Apabila hal tersebut lahir dari kepala orang lain, bisa jadi pula hal itu hanyalah sebuah ketenangan yang dihadirkan untuk diri sendiri agar tidak terlalu cemas dan khawatir. Di sisi lain, bisa jadi itu hanya sebuah pembangunan opini atas apa yang sedang dan akan dilakukan untuk dirinya. Diri tidak bisa menjamin kepala orang lain. Segala sesuatu yang ada di luar pikiran dan tindakan diri–termasuk presepsi dan opini orang lain–berada di luar kendali diri.
ADVERTISEMENT
Sehebat, sekaya, sekuat, dan seberkuasa apa pun, diri tidak bisa mengendalikan orang lain. Hal yang berada di dalam kendali diri pun terkadang tidak mampu dikendalikan karena ketaksadaran dan limitasi bentang pandang. Terlebih mengendalikan orang lain.
Bisa jadi orang yang selalu ngglinding atau ikut-ikutan atas segala kemauan seseorang, itu bukan karena mampu dikendalikan melainkan hanya sebuah sikap pertahanan diri dan ewuh pekewuh atau sungkan. Bisa jadi mereka hanya akting, memerankan drama seolah bisa dikendalikan, tetapi di dalam dirinya sendiri memiliki tujuan lain untuk kepentingan dan kebutuhannya sendiri maupun golongannya. Namun, apalah daya ketika kegeeran sudah bersemayam di dalam pikiran. Jiwa seketika meronta lalu melahirkan keakuan yang akut. Menggelikan.
Dalam hal ini, pasti akan berpikir bahwa sebuah ketidakmungkinan jika diri atau manusia–terlebih yang memiliki power–tidak bisa mengendalikan orang atau manusia lain. Meski setiap hari diri mendapat informasi bahwa di luar sana banyak wacana dan perebutan opini yang mengabarkan banyak orang yang dikendalikan dan mengendalikan orang lain.
ADVERTISEMENT
Sadar tidak sadar, saat berpikir demikian sebenarnya hal tersebut merupakan respons otomatis di dalam diri yang menggerakkan emosi dalam menanggapi atau menyikapi sesuatu. Apabila diri tidak bisa mengendalikan respons tersebut maka diri memiliki kemungkinan besar dalam produksi emosi negatif.
Kekeliruan berpikir biasanya dipicu oleh adanya respons otomatis atau respons sesaat yang menimbulkan emosi negatif. Pola tersebut merupakan latar belakang dari hadir dan adanya presepsi atau opini yang diri ciptakan, baik diamini atau tidak diamini oleh diri sendiri dan orang lain. Oleh sebab itu, mengenali kendali diri dan berusaha agar mampu mengendalikan diri adalah suatu kewajiban manusia. Sebab, hal tersebut apabila tidak disemai bisa berdampak tidak baik dan berbahaya terhadap suatu hal inti dalam keharmonisan dan estetika hidup.
ADVERTISEMENT
Kekeliruan berpikir merupakan masalah besar bagi diri sendiri dan orang lain. Secara tidak langsung, baik disadari atau tidak, kekeliruan berpikir akan menyebabkan pikiran menjadi tidak terbuka, menganggap diri yang paling benar dan baik, dan memposisikan orang lain berada di bawah diri kita. Menuhankan dan memberhalakan diri. Ruang tersebut menjadikan diri lupa jika semesta dan kehidupan sangatlah luas, sedangkan kapasitas dan kemampuan manusia belum mampu menampung pun mengarungi keluasan tersebut.
Misalnya, diri menganggap bahwa gelombang udara di bukit yang ditempatinya saat ini sedang normal–tidak panas dan tidak dingin– dan sangat sesuai menurut dirinya. Enak dan nikmat. Kenormalan itu belum tentu normal bagi keluarga dan saudara yang berada di tempat yang sama. Semua tergantung dari latar belakang atau historisnya masing-masing. Semua yang ada tidak bisa digeneralisasi berdasar satu asumsi, terlebih yang berdasar pada keakuan.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dalam memilih segala sesuatu. Misalnya, si A bisa saja lebih suka jika di ruang tamu diisi dengan furnitur kursi yang dibuat dari sisa akar kayu besar karena dirinya suka akan hal yang berbau vintage dan seni. Si B memilih agar kursinya dari perpaduan kayu dan busa agar terlihat minimalis. Si C memilih ruang tamu lesehan dengan memanfaatkan karpet yang ada, agar ruangan nampak lebih luas untuk berkumpul bersama keluarga, lebih fleksibel, dan lebih dekat satu sama lain kala bersama.
Apabila si A, B, dan C kekeh pada kesukaan dan keinginannya masing-masing, maka yang terjadi bukan ruang tamu menjadi lebih indah dan nyaman melainkan ruang tamu itu akan menjelma sepi dan sunyi. Perseteruan yang menciptakan kesepian dan kesunyian tersebut. Bahkan bisa saja gegara hal tersebut terjadi pertikaian yang berujung pada perpecahan. Oleh sebab itu, dalam berkehidupan, manusia harus selalu menjaga estetika dari kehidupan itu sendiri. Estetika kehidupan akan lahir apabila manusia tidak berpikir baik dan benar atas dirinya sendiri, namun baik dan benar bagi semuanya dengan pertimbangan yang matang dan penuh kebijaksanaan. Bukan mengedepankan keakuan.
ADVERTISEMENT
Keterbukaan merupakan pintu menuju keselarasan kehidupan. Keselarasan jiwa merupakan jalan menuju ruang keselarasan kehidupan. Manusia yang selaras jiwanya merupakan manusia yang tidak henti-hentinya belajar dan mempelajari dirinya sendiri, kehidupan, dan semesta. Terkadang, karena ketaksadaran atas kesempitan kepala, manusia lupa atas luasnya kehidupan dan semesta, sehingga lahir disharmoni-disharmoni di dalam dirinya sendiri dan kehidupan yang dihidupinya.
Kembali lagi pada permulaan, bahwa kehadiran yang dihadirkan orang lain tersebut, bisa jadi dihadirkannya bukan karena kenetralan dan kemurnian melainkan karena ketakutan, rasa pekewuh, dan kerikuhan kepada diri. Terlebih diri memiliki kuasa di dalam kehidupan sekelilingnya.
Abad ini makin jelas manusia berada di ruang kosong dengan jumlah pintu dan jendela yang sangat banyak. Manusia yang berada di dalam ruang tersebut bingung atas pintu dan jendela mana yang akan dibuka untuk menatap keadaan di luar guna melanjutkan langkah kakinya.
ADVERTISEMENT
Sepertihalnya udara yang normal. Normal bagi A belum tentu sama dengan normal bagi B, apalagi X, Y, dan Z. Semua memiliki tafsirnya sendiri-sendiri berdasarkan kebutuhan, kepentingan, tujuan, dan latar belakan atau historisnya sendiri-sendiri. Tidak banyak manusia yang hidup di dalam kemurnian yang benar-benar murni.
Pada era kebingungan dan kematian manusia seperti sekarang ini, manusia menjadi kesulitan menemukan kiblat untuk kembali menjadi manusia. Hal tersebut bisa saja karena manusia (sudah) merasa sudah sampai puncak final menjadi manusia. Legitimasi atas penamaan atau penyebutan ‘manusia’ dari segala makhluk di semesta ini membuka pintu kesombongan, kekurangsadaran, kekurangpekaan, kekurangwaspadaan, dan bisa jadi itu adalah sebuah ruang pengecohan absolut yang menjadikan manusia lupa jika dirinya juga harus belajar menjadi manusia.
ADVERTISEMENT
Manusia terkadang menjadi lalai ketika ditenggeri kebanggaan atas sebuah literatur dan legitimasi jika dirinya adalah makhluk yang diciptakan dengan takaran kesempurnaan yang paripurna. Jangkep. Kata ‘sempurna’ bisa saja menjadi sebuah malware di dalam jiwa yang tidak diri sadari kehadiran dan adanya. Malware tersebut secara tidak sadar akan mempengaruhi software-software kemanusiaan di dalam jiwa dan akal pikiran. Alhasil, manusia lama-kelamaan akan kehilangan kemanusiaannya dan menjadi robot-robot bernyawa. Atau mungkin akan menjadi bangkai berjalan? Entahlah.
Oleh sebab itu, dalam memandang, memikirkan, dan memutuskan membenci atau mencintai maka harus dilakukan dengan sikap dan sifat radikal. Tak lain diri harus berani berselancar dan menyelam sampai ke dasar samudra makna. Pada itulah diri akan menemukan apa yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Apabila membeci, diri memiliki dasar mengapa (harus) membencinya. Membenci yang tanpa dasar adalah kebodohan dan titik nadir kepicikan. Apakah memang pantas sesuatu itu dibenci ataukah seharusnya yang pantas dibenci adalah pikiran dan prasangka diri kita sendiri yang melahirkan sifat dan sikap yang melahirkan buih kebencian tanpa dasar?