Konten dari Pengguna

Ghosting: The Unspoken Consequence of Relationships

Kian Mulia Hatti
Mahasiswa Program Studi Psikologi di Universitas Brawijaya
9 Desember 2024 17:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kian Mulia Hatti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/photos/smartphone-screen-room-wall-sunset-8057248/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/photos/smartphone-screen-room-wall-sunset-8057248/
ADVERTISEMENT
Hidup di era digital seperti sekarang, arus informasi dapat tersebar dengan sangat cepat dan mudah antar individu. Melalui media sosial, berbagai istilah baru yang mencerminkan fenomena-fenomena tertentu —baik yang terjadi di dunia nyata maupun dunia maya mulai bermunculan. Seiring waktu, istilah-istilah tersebut tidak hanya berkembang, tetapi juga diterima dan diyakini oleh masyarakat luas sebagai bagian dari bahasa sehari-hari. Salah satu contoh istilah yang muncul dalam konteks ini adalah ghosting. Menurut McQuillan (2020), ghosting dapat diartikan sebagai tindakan atau perilaku mengakhiri hubungan pribadi dengan seseorang secara mendadak tanpa memberikan penjelasan apa pun, serta menarik diri sepenuhnya dari segala bentuk komunikasi. Secara umum, ghosting lebih sering terjadi dalam hubungan romantis yang dijalani seseorang, di mana salah satu pihak secara tiba-tiba dan tanpa penjelasan berhenti berkomunikasi dengan pasangan mereka. Perilaku ini dapat mencakup berbagai bentuk penghindaran, mulai dari tidak membalas pesan atau panggilan telepon, hingga menghilang sepenuhnya tanpa memberikan alasan yang jelas (Widianti dkk., 2024). Meskipun begitu, ghosting juga dapat terjadi dalam hubungan pertemanan, hubungan profesional, dan dalam interaksi sosial lainnya. Jewell (2019) menyebutkan beberapa faktor menyebabkan seseorang melakukan ghosting seperti adanya ketakutan terhadap hal yang tidak diketahui atau ketidakmampuan untuk memprediksi atau mengelola reaksi orang lain; menghindari konflik dimana seseorang memilih untuk menghindari percakapan yang sulit atau perasaan canggung yang mungkin muncul jika mereka mengakhiri hubungan secara langsung. Selain itu, pelaku ghosting merasa bahwa tidak ada konsekuensi yang signifikan jika mereka memilih untuk menghilang tanpa penjelasan.
ADVERTISEMENT
Bagi korban ghosting, perilaku tersebut tentu memberikan dampak psikologis, seperti perasaan bersalah dan kebingungan. Mereka sering kali merasa ditinggalkan tanpa alasan yang jelas hingga menyebabkan munculnya pertanyaan-pertanyaan dalam diri mereka seperti apa yang salah dari mereka. Korban ghosting seringkali terjebak dalam proses berpikir berulang, mencoba mencari tahu apakah ada kesalahan atau tindakan tertentu yang membuat mereka ditinggalkan. Selain itu, ghosting juga ditemukan memiliki korelasi negatif dengan kepuasan hidup, dimana individu yang menjadi korban merasa tertekan dan kurang puas dengan kehidupan mereka setelah mengalami tindakan ini (Narravo dkk., 2020).
Mindfulness didefinisikan sebagai kesadaran yang muncul akibat memberi perhatian secara sengaja dan penuh terhadap pengalaman yang sedang terjadi di saat ini, tanpa melakukan penilaian terhadapnya (Kabat-Zinn, 1990:98). Dengan kata lain, mindfulness mengajarkan individu untuk sepenuhnya hadir dalam setiap momen yang sedang berlangsung, baik itu perasaan, pikiran, maupun sensasi fisik, tanpa terbawa oleh penilaian atau keinginan untuk mengubahnya. Adapun aspek-aspek mindfulness menurut Kabat-Zinn yaitu : (1) Non-judging, yang berarti tidak menghakimi atau menilai pengalaman yang datang, baik itu pikiran, perasaan, atau sensasi tubuh. (2) Patience, menekankan pentingnya memiliki kesabaran, menghargai waktu yang diperlukan dan tidak terburu-buru. (3) Beginner’s mind, aspek ini berarti melihat segala hal seolah-olah individu baru pertama kali mengalaminya, tanpa asumsi atau prasangka. (4) Trust, berkaitan dengan mempercayai diri sendiri dan kemampuan untuk merespons suatu pengalaman. (5) Non-striving, yang berarti tidak hanya fokus kepada pencapaian atau hasil, tetapi pada pengalaman itu sendiri, tanpa tekanan . (6) Acceptance, berarti menerima pengalaman sebagaimana adanya, tanpa berusaha mengubah atau menolaknya. (7) Letting go, mengarah pada kemampuan untuk melepaskan atau melepaskan ketegangan, keinginan, atau keterikatan terhadap hal-hal yang tidak dapat dikendalikan. Pendekatan ini membantu seseorang untuk melihat suatu pengalaman sebagaimana mestinya, tanpa merasa terganggu oleh reaksi emosional yang berlebihan atau kecenderungan untuk menilai apakah pengalaman tersebut baik atau buruk. Selain itu, mindfulness dapat mendekatkan afek menuju keadaan yang lebih netral, karena individu belajar untuk tidak terlalu terikat atau terjebak dalam perasaan mereka (over-engagement), serta menghindari penolakan atau penghindaran berlebihan terhadap perasaan tersebut (under-engagement) (Hayes & Feldman, 2004, dalam Yusainy & Rachmayani, 2020). Dengan mindfulness, seseorang dapat merespons pengalaman emosionalnya dengan cara yang lebih seimbang dan penuh kesadaran, tanpa berlarut-larut dalam perasaan negatif atau mengabaikannya begitu saja.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, apabila mindfulness diterapkan sebagai strategi regulasi emosi pada korban ghosting, individu yang menjadi korban tidak lagi terjebak dalam pola pikir obsesif untuk mencari tahu alasan atau penyebab dirinya ditinggalkan tanpa penjelasan. Sebaliknya, penerapan mindfulness memungkinkan korban untuk menerima pengalaman tersebut apa adanya, tanpa berusaha memaksakan jawaban atau memikirkan hal-hal di luar kendalinya. Selain itu, individu akan terlebih dahulu menerima kenyataan bahwa dirinya sedang diabaikan, tanpa merasa terlalu terbebani secara emosional. Dengan kesadaran penuh, mereka memahami bahwa hubungan yang telah berakhir hanyalah salah satu konsekuensi alami dari dinamika hubungan yang pernah dimulai.