Otaku Traveling

Sakinah
Hobi menulis cerita fiksi dan menggambar. Seorang Otaku penikmati anime/manga. Temukan jati diriku dalam setiap tulisanku
Konten dari Pengguna
10 Februari 2023 10:18 WIB
·
waktu baca 15 menit
comment
16
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sakinah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber : desain cover pribadi by Canva
zoom-in-whitePerbesar
Sumber : desain cover pribadi by Canva
ADVERTISEMENT
Namaku Kina, seorang staf akunting di salah satu perusahaan Manufaktur di Jakarta yang selalu disangka salah ngelamar divisi oleh GA HRD-ku sendiri karena skill membuat neraca dan laporan cash flow-ku tidak lebih baik dari kemampuanku dalam mendesain dan menggambar manga.
ADVERTISEMENT
Bahkan akhir-akhir ini aku lebih dikenal teman-teman kantorku dengan sebutan otaku pasca aku balik cuti liburan dari negeri tempat dilahirkannya anime One Piece yang hingga kini pun belum kelar episodenya.
Sebelum kuceritakan pengalaman liburanku ala-ala vlogger, aku mau jelasin secara singkat-padat, apa itu otaku? Kalau ada yang sudah tahu, selamat.. berarti kita sama-sama wangi bawang! bagi yang masih bertaenya-taenya seperti Alif kun sini aku kasih tahu.
Otaku (オタク) dalam bahasa Jepang bermakna seseorang yang sangat menggemari atau hobi pada suatu subkultur Jepang seperti anime atau manga. Pengucapannya sama seperti halnya berkata "kejadian itu akan selalu terekam dalam otakku", namun bersifat homonim dengan otaku yang aku maksud di sini. Paham ya... paham dong biar gak lama.
ADVERTISEMENT
Kali ini mungkin kalian bertaenya-taenya lagi, kenapa aku bisa dilabeli otaku ?
Oke, semua berawal dari hasratku yang menggebu ingin sekali traveling sekaligus healing dari rutinitasku sehari-hari sebagai hamba sahaya corporate menuju isekai yang selalu hadir dalam mimpi. Terlepas dari kepenatan rutinitas monoton itu, aku dan Kira (salah satu bestieku semasa SMK dulu) memang sedang di posisi meng 'gabrut' pisan lantaran sering disentil dengan celotehan,
"Oi, neraca aja berdampingan, masa kamu enggak ?! Pfft..."
Yakali kita disamain sama neraca?! mentang-mentang guru akutansi, cari personifikasi sebatas bidang materinya saja, gak kreatif.
Percayalah, jikalau jomblowati sudah merasa tertohok hatinya, niscaya hal yang mungkin di luar kemampuannya pun justru akan dilakukannya. Seperti yang kami lakukan saat itu.
ADVERTISEMENT
"Yuk Kin, kita cuci mata di Tokyo! abis itu kita ke Busan, gue mo liat Astro nyanyi"
"Kuy lah, gaskeun.." jawabku mantab.
Ajaibnya dalam seminggu aku dan Kira berhasil ngebooking tiket pesawat, penginapan dan tiket konser di Busan dengan harga promo. Minggu selanjutnya kami mengurus seluruh dokumentasi yang diperlukan, mulai dari paspor, visa, menukarkan uang tunai, hingga tantangan terakhir yaitu meminta approval cuti selama dua minggu ke Direktur di saat perusahaan sedang riweuh perihal audit akhir tahun.
Sejak awal aku dan Kira sepakat untuk melakukan perjalanan ala backpacker ketimbang menggunakan agent travel. Karena selain lebih leluasa menjelajah saat di tempat tujuan, ini pun kami jadikan suatu tantangan tersendiri untuk mengulik destinasi-destinasi baru dengan pertimbangan yang matang.
ADVERTISEMENT
Bagiku sendiri ini juga bisa melatih kemandirianku dan kemampuanku membaca peta agar tidak seperti Roronoa Zoro yang terkenal gahar namun payah dalam membaca arah jalan dan isi hati wanita, eaak..
Kalau boleh jujur, alasan utama kami memutuskan untuk backpakeran adalah biayanya yang lebih murah. Karena kunci sukses liburan ke luar negeri dengan paket hemat versiku ada pada poin bagaimana kita bisa meminimalisasi biaya akomodasi seperti transport fee, makan dan minum serta penginapan.
Seperti halnya Loid Forger yang memiliki peran ganda dalam anime Spy x Family, selain keuntungan yang di dapat ketika melakukan backpaker ada juga tantangannya, seperti yang kami alami saat lima hari sebelum waktu keberangkatan.
Tiba-tiba Kira mendapatkan email dari maskapai yang akan membawa kami ke Jepang itu dengan pesan berisi 'terjadi reroute (perubahan arah), dari yang seharusnya direct flights from CKG-NRT, mereka mengubahnya dengan memberikan opsi transit dahulu di DPS (Bali) atau di DMK (Bangkok). Atau saat kami terlambat beberapa detik menaiki bus menuju Kawaguchi karena lupa mengatur jam tangan dengan waktu yang berlalu lebih cepat dua jam dari WIB.
ADVERTISEMENT
Well ... memang kalau melakukan backpaker banyak waktu bercandanya ya, jadi perlu banyak stok sabar.

19 Oktober 2018, Bangkok—Thailand

Sekitar pukul 11.17 siang kami tiba di Bandara Internasional Don Mueang-Bangkok untuk transit hingga waktu keberangkatan ke Narita di pukul 22.15 malam. Durasi selama itu kami rasa cukup untuk sekedar berkeliling di sekitar alun-alun Bangkok dan mencoba beberapa kuliner jalanan untuk makan siang. Setelah kami titipkan koper di penitipan barang yang ada di bandara, kami pun bergegas menuju MRT.
Sepenggal isi ramalan Neon untuk Chrolo Lucifer dalam anime Hunter x Hunter seketika mengingatkanku pada pertemuan tak terduga dengan seorang lelaki yang tiba-tiba saja mengajak kami berbincang ketika aku sedang sibuk-sibuknya berpikir; pose seperti apa yang cocok saat sedang memegang BTS Single Journey Ticket sambil bersender di tiang pegangan dalam MRT.
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan dalam MRT kami berbincang dengannya, yang ternyata memiliki tujuan yang sama yaitu berlibur ke Jepang. Pada akhirnya aku dan Kira sepakat untuk mengikuti itin yang Kak Fredy buat secara tahu bulat dicatet dadakan. Katakanlah ini seperti simbiosis mutualisme, doi punya teman berbincang, kami pun jadi punya juru foto gratisan, hehe (canda kakak).
Teriknya matahari setibanya di Wat Arun, seketika membuatku delusi pada cekikian polos dari matahari dalam serial badut empat bersaudara yang sering aku tonton semasa kecil. Seolah menertawai diriku yang cemong oleh minyak dan keringat yang mengucur deras di sekujur badan. Salahkan egoku yang ngotot ingin cosplay pakai seifuku di negara dengan cuaca yang masih sepersusuan dengan Bekasi.
Sumber : dokumen pribadi. Wat Arun (Bangkok-Thailand)
Puas berkeliling dan berfoto, kami pun beranjak menuju destinasi berikutnya yaitu ke Chatuchak untuk berkuliner jajanan tradisional Thailand. Beruntung kami berada di Bangkok bertepatan dengan hari di mana sedang berlangsungnya bazar besar-besaran dan juga ada live street music.
ADVERTISEMENT
Tidak terasa langit mulai gelap, faktor mendung dan juga perubahan waktu, membantu kami sadar bahwa sudah saatnya untuk kembali ke airport.
Hujan lebat disertai petir pun datang menyambut setibanya kami di Don Mueang. Melatih kesabaran kami untuk menunggu beberapa jam lagi pada penerbangan yang terpaksa delay.

20 Oktober 2018, Narita—Jepang

Hal pertama yang aku lakukan ketika menginjakkan kaki di Bandara Narita, sama persis seperti lagu opening anime Chibi Maruko Chan:
Dengan langkah kaki lebar-lebar, aku segera bergegas mencari logo stick man atau tulisan Toilet terdekat yang ada di Narita. Bukan karena kebelet panggilan alam, tapi karena bajuku sudah terlalu lepek dan bau ketiak.
ADVERTISEMENT
Selesai mandi, salat dan sarapan, aku dan Kira bersiap naik KRL menuju penginapan. Dan di sini lah kami pun berpisah dengan Kak Fredy yang telah berjasa menjadi fotografer kami selama di Bangkok.
Ada cerita unik tapi sedikit ngeselin ketika kami berada di penginapan. Saat baru tiba di sana, seperti pada umumnya kami harus konfirmasi bukti booking sebelum check in, awalnya kami berkomunikasi dengan bahasa Inggris dengan sedikit bahasa Jepang pada seorang resepsionis, lalu tiba-tiba saat salah satu orang menghampiriku sambil berkata, "Kopernya mau dibantu bawa?" semua fokus tiga pasang mata di sana tertuju padanya.
Seorang pemuda yang mirip sekali dengan Nobita itu ikutan terdiam ketika pertanyaannya tak kunjung kujawab. "Kakak orang Indonesia juga?" Kira yang kepo namun dapat mewakili pertanyaan dalam hatiku itu pun akhirnya ikutan nimbrung.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, pemuda yang juga bekerja di hotel tempat kami menginap ini bernama Hiroshi. Ibunya berkebangsaan Indonesia, pernah tinggal selama setahun di Tangerang dan kembali menetap dan bekerja di Jepang. Kak Hiroshi mengaku bisa berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa namun tidak bisa mengerti jika membaca tulisan dalam Bahasa.
Aku bersyukur bisa menemukan lokasi penginapan yang cukup strategis dengan pusat perbelanjaan dan juga transportasi umum, meskipun pada kenyataannya hampir setiap waktu aku dan Kira selalu berjalan kaki, berbaur dengan warga di kawasan Edogawa sambil sesekali cuci mata lihat barang-barang yang kawaii.
Cukup jalan kaki lima menit dari hostel, aku sudah bisa menemukan aneka macam kudapan, minuman sampai berbagai merek sepatu, baju, jaket preloved di kawasan Rumiēru (ルミエール). Kalau di Indonesia kurang lebih tempat ini seperti kawasan Tanah Abang. Selain harganya yang lumayan yasui (murah) untuk ukuran pertokoan di pusat ibu kota, tempat ini juga wajib dikunjungi kalau kamu ingin mencari berbagai cemilan khas Jepang untuk dijadikan omyage (buah tangan).
Sumber : dokumen pribadi.
Oiya selama di kota Edogawa ini juga kami punya pengalaman gemesin tapi kocak, yang mungkin tidak akan terlupakan sampai kelak rambutku berjibaku memutih seperti Killua Zoldyck.
ADVERTISEMENT
Jadi pada suatu subuh, setelah kami selesai salat, aku mengusulkan kepada Kira untuk mengunjungi pematang sungai yang semalam tidak sengaja aku temukan lokasinya di GPS dan letaknya pun tidak jauh dari penginapan kami.
Kira pun sepakat dengan syarat sudah harus kembali ke hotel sebelum jam 11 pagi, karena harus bersiap untuk check out. Ternyata percakapan kami ini didengar oleh Kak Hiroshi. Doi pun tiba-tiba menyerahkan secarik kertas padaku yang berisi denah tempat-tempat yang sekiranya layak untuk dikunjungi oleh turis macam kita ini.
Sungguh, aku bukannya ingin berbangga diri pada kemampuan menggambarku dengan Kak Hiroshi, tapi memang peta yang diberikan beliau ini sungguh membagongkan, wahai tomodachi sadayana..
Bagaimana tidak?! Isinya pun hanya beberapa kotak berisikan tulisan katakana, lalu diberikan titik-titik sebagai petunjuk jalannya (mungkin) dan nama hostel ini dalam tulisan romaji. Petunjuk arahnya pun lebih irit dibandingkan dengan denah lokasi yang biasanya terdapat di setiap kartu undangan pernikahan.
ADVERTISEMENT
Modal nekat, GPS (yang baru bisa diakses jika melipir-melipir ke tempat yang terdapat free wifi) dan peta gundul pemberian Kak Hiroshi ini, kami pun berangkat menuju pematang sungai yang selalu membikin aku penasaran seperti apa euforianya, apakah sama seperti jikalau aku nongkrong di pinggir Rawa Cipondoh dekat rumah?
Kata orang bijak "malu bertanya sesat di jalan", jadi kami pun mencoba mencari petunjuk arah yang benar dengan cara bertanya pada seorang wanita yang baru saja keluar dari klinik hewan di persimpangan jalan.
"Sumimasen nēsan, where is the nearest river from here ?"
Dua kali aku mengulang pertanyaan yang sama secara bergantian, dan barulah dipengulangan ketiga kakak cantik itu menjawabnya. Bukan dengan jawaban lisan namun dengan tulisan yang dia ketik pada ponselnya.
ADVERTISEMENT
"どういう意味?/What do you mean?"
Ada nada yang seketika mengalun saat aku membacanya dalam hati arti dari kalimat tanya si kakak itu pada kami. Oke, ini bukan saatnya menyanyikan secara full lagunya Justin senpai. Intinya, kakak yang kami tanyai ini tidak mengerti maksud pertanyaan kami.
Setelah kurang lebih tiga menit kembali bertanya dan menjelaskan secara perlahan, kakak itu tiba-tiba menunjuk secarik kertas yang Kira pegang dan mengamatinya. Entah apa yang dibicarakan saat itu antara si kakak dengan Kira, karena fokusku tertuju pada anjing peliharaannya yang mirip sekali dengan Hachiko.
Setelah aku mengambil satu gaya berfoto dengan peliharaannya, kakak itu beranjak dan meminta kami untuk mengikutinya.
Sumber : dokumen pribadi.
Kami bertiga jalan bersisian dengan anjingnya yang berjalan mendahului di depan kami. Udara pagi sedang dingin-dinginnya, jangan sampai jadi semakin dingin dengan kekakuan suasana ini, pikirku. Bermodal kosa kata yang sering aku dengar di anime, aku nekat mengajaknya berbincang agar lebih terkesan friendly.
ADVERTISEMENT
"Sono inu o namae wa?"
Kakak itu pun dengan cepat menjawab panjang lebar pertanyaan singkatku itu, bahkan saking antusiasnya si nēsan, sepertinya berbalik memberikan pertanyaan padaku jika mendengar dari nada intonasinya berbicara. Sayangnya otak dan telingaku hanya dapat menangkap informasi sebatas; nama anjing itu adalah Pochi, selebihnya ngeblank. Sejak itu aku menyesal tidak konsisten menekuni belajar bahasa Jepang meskipun otodidak di rumah.
Kira entah kenapa komat-kamit gaje padaku sambil mengetik sesuatu di ponselnya. Feeling tiba-tiba mulai gak enak, saat nēsan itu mengambil jalan berbelok ke gang yang sudah sangat familiar bagi kami.
"Okay, tsuita yo..."
Ketika membaca nama hostel tempat tinggal kami terpampang pas di depan mata, rasanya telinga kami seperti terngiang sambutan khas dari Mbak-mbak di SPBU: dimulai dari nol ya...
ADVERTISEMENT
Mungkinkah ini yang dinamakan, penyesalan dibayar di muka?
Pantang menyerah! kalau kata Echizen Ryōma mah 'mada-mada dane!' jadi kami pun terus berusaha mencari pematang sungai dengan modal nekat. Namun apalah artinya tekad kalau tidak harmoni dengan keadaan fisik. Dua jam kami berjalan menelusuri jalan sampai tersesat ke gang terujung komplek perumahan, akhirnya kaki kami mulai ngeletoy.
Sumber : dokumen pribadi.
Masih tersisa dua jam sebelum batas waktu untuk check out. Pada akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke hostel untuk berkemas lalu istirahat sejenak.
Ingat, di awal aku mengatakan ada sisi ngeselin juga saat di penginapan? kalau lupa, silakan scroll lagi ke tulisan di atas. Itu semua bermula saat kami ingin meminta izin untuk foto bersama Kak Hiroshi sebagai kenang-kenangan. Seolah tahu gelagat kami (karena belum juga aku bilang demikian), Kak Hiroshi langsung pasang sikap defensif seraya berkata, "saya tidak mau di foto, saya ambil foto kalian saja, ok"
ADVERTISEMENT
Valid, no debat... aku dan Kira pun langsung pasang gaya ala kadarnya, mengucapkan terima kasih kepada Kak Hiroshi lalu kembali menggeret roda-roda koper untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi selanjutnya.
Sumber : dokumen pribadi.

22 Oktober 2018, Asakusa—Jepang

Rasanya kurang afdal kalau selama di Tokyo belum singgah ke kuil tertua dan juga berfoto di menara iconic yang selalu muncul di serial shōjo manga Card Captor Sakura. Pukul 11.20 setelah sampai di penginapan selanjutnya dan melewatkan waktu sarapan, kami bergegas menuju kuil Sensō-ji dengan menaiki subway.
Dari pintu masuk kuil, kita akan di melihat Kaminarimon (雷門); gerbang paling luar yang sangat iconic dengan lentera besar menggantung yang diapit oleh patung Fūjin dan Raijin.
Sumber : dokumen pribadi.
Sensō-ji ini termasuk kuil Budhha tertua di Tokyo yang selalu ramai dikunjungi oleh turis asing ataupun domestik. Aku sendiri baru tahu, bahwa orang-orang di Tokyo terutama yang berada di Asakusa ini memiliki kepercayaan; kalau ingin mendapatkan keberuntungan, wajib sekali berdoa di kuil ini, lalu melakukan ramalan dengan membayar 100 yen untuk mengambil Omikuji yang akan didapatkan dengan cara menggoyangkan tabung silinder berisi batang kayu yang memiliki nomor, kemudian mencocokkannya dengan nomor laci yang sama untuk mengambil kertas mikuji (ramalan) di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Isi dari Omikuji juga ada bermacam-macam, mulai dari yang paling hoki (dai-kichi) sampai yang paling apes (kyō). Waktu aku iseng ingin mencoba juga sensasi ngeramal pakai omikuji, ada seorang bule dengan girangnya mendapatkan kertas kyō , alih-alih dibuang kertas mikujinya, justru dia ikat di lanyardnya sebagai hiasan.
Hmm... mungkin ini definisi sejatinya dari legowo kali ya. Intinya, apapun hasil ramalannya, alangkah baik menyikapinya dengan bijak saja, sesuai keyakinan masing-masing. Aku sendiri melakukannya untuk seru-seruan saja dan mikuji ini bisa kusimpan untuk kenang-kenangan atau hiasan di buku jurnalku.
Ada yang bisa tebak, jenis mikuji apa yang kudapatkan ?
Sumber : dokumen pribadi.
Saking asyiknya keliling kuil Sensō-ji, perutku protes minta diisi. Karena lupa bawa bento, aku dan Kira pun memutuskan untuk jajan kudapan di sepanjang jalan Nakamise-dōri. Ternyata di dalam kuil ini pun berjajar banyak kios-kios kecil, mulai dari aneka kudapan sampai pernak-pernik kawaii.
ADVERTISEMENT
Seorang nenek melambai-lambaikan tangan kepadaku untuk mampir ke kiosnya. Berhubung aku tidak pandai berbahasa Jepang, anggukan kepala pun kujadikan jawaban dan respons untuk si baasan yang tiada hentinya bercakap, menawarkan jajanannya padaku. Meski pada akhirnya aku tidak membeli dagangannya, namun baasan itu dengan baik hati memberikan sepotong senbei (kerupuk beras) untuk aku cicipi.
Tidak jauh dari kios baasan, aku mencium aroma taiyaki yang semakin membikin lambungku ngegas minta jatah. Jadi kuputuskan untuk sarapan sekaligus makan siang dengan kue berbentuk ikan ini, meskipun aku tidak yakin apa akan cukup bikin kenyang perutku jika dibandingkan dengan makan nasi plus lauk rendang yang aku sengaja bawa dari rumah.
Sekali lagi aku harus berkomunikasi dengan cara bilingual (Japanglish feat. bahasa tubuh) saat melakukan tawar-menawar dengan kakak ikemen (tampan) penjual kue ikan. Meskipun memalukan, aku ngotot minta tolong ke Kira untuk merekam atau mengabadikan momen itu dalam foto, supaya aku bisa terus teringat dengan kue ikannya (bukan kakak ikemen si penjualnya, lho) majide.
ADVERTISEMENT
Kalau ada yang bilang traveling low budget gak bisa dapat foto atau video yang ciamik, itu tanda beliau kurang referensi atau mager mencari tahu. Sedikit saran dari pengalamanku sebelum ke Jepang. Aku terbiasa membuat sebuah itin terlebih dahulu, mencari tahu keadaan dan transportasi apa yang harus digunakan menuju destinasi tersebut.
Kebetulan aku bisa mendapatkan seluruh informasi itu semua melalui beberapa grup yang memang dibentuk untuk para backpacker Indonesia, dan dari pengalaman-pengalaman yang mereka bagikan itulah sebagian besar sumber referensi dalam pembuatan itinku, dengan begitu biaya traveling pun dapat diperkiran dan jadi lebih efisien dalam beberapa hal.
Apalagi kalau memiliki e-Paspor, kita bisa mendapatkan benefit 'bebas visa' yang berlaku untuk beberapa negara, salah satunya Jepang.
ADVERTISEMENT
Rahasia hemat backpacker ke luar negeri juga bisa dengan membawa bekal makanan serta mengunjungi tempat-tempat indah tanpa perlu biaya masuk alias gratis.
Seperti mengunjungi Sensō-ji misalnya, selain tempatnya kaya akan nuansa kultur Jepang, masuk ke sana pun gratis. Tidak jauh dari Sensō-ji pun banyak spot-spot bagus yang instagramable sekali.
Sumber : dokumen pribadi.
Berjalan kaki 1 kilometer dari Sensō-ji, kami sampai di Sumida Park. Alhamdulillah saat itu suasana taman tidak terlalu ramai pengunjung, jadi kami gunakan kesempatan itu untuk mengambil beberapa foto sambil memandangi Tokyo Skytree yang bersisian dengan Sumida River yang memang cukup indah, dan entah kenapa aku merasa damai sekaligus nyaman berada di sini.
Seketika pun suasana berubah melankolis, sambil memandangi sungai yang tenang aku dan Kira saling berbagi cerita, berandai-andai apakah suatu saat kita bisa kembali ke tempat ini lagi dengan jodoh kita masing-masing?
ADVERTISEMENT
Di tengah pengandaian seperti itu, baik aku dan Kira sama-sama berkhayal; aku datang dengan koibito berwujud 3D; Akashi Seijuro, sedangkan Kira dengan bias maknaenya; Ong Seong-wu.
Sungguh kritis masa-masa kejombloan kita pada saat itu, yeorobun.
Akan tetapi, dengan adanya dukungan teman sekaligus travelmate yang sefrekuensi seperti ini, liburanku tidak hanya menjadi traveling biasa, namun ampuh menjadi healing termanjur di saat hati terasa nothing.
Sumber : dokumen pribadi.
Destinasi selanjutnya yang juga tidak jauh dari Sumida Park adalah Tokyo Tower, yang merupakan tempat wajib untuk dikunjungi jika berada di Tokyo. Kalau sekadar ingin berfoto di luar dengan latar Tokyo Tower seperti aku ini, dijamin kamu bebas biaya. Namun jika ingin masuk ke dalam Tokyo Towernya kamu harus bayar tiket 900 Yen, dan 3.000 Yen kalau mau masuk ke dalam Tokyo One Piece Tower yang berada di taman indoor Tokyo Tower.
Sumber : dokumen pribadi.
Bagiku yang tim mendang-mending, membeli tiket regular untuk sekadar merasakan masuk ke dalam Tokyo Tower saja sudah cukup, serta tidak lupa selalu mendokumentasikannya dalam sebuah bidikan kamera ponsel jadulku. Yah.. meskipun hasil foto yang sempat kubagikan ke media sosialku saat itu tidak sedikit yang mengatakan kalau aku sedang berpose berlatar menara sutet.
ADVERTISEMENT
Kalau ditanya, apakah ada penyesalan dalam traveling ini?
Jawabannya, ya! Tapi sedikit.
Itu adalah ketika jemariku kegatelan untuk memposting-posting hasil buruanku; seperti merchandise, toy figure, doujin sampai aksi cosplay yang kulakukan ke dalam story WA, tanpa sadar itu bisa menjadi bahan konsumsi mata seluruh kontak yang ada.
Hingga terkuaklah oleh seluruh warga di kantor (kecuali Direktur, karena aku hide) sisi lain dari seorang Kina, staff akunting perusahaan xxx, ternyata adalah seorang Otaku.
つづく(?)