Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Advokasi Hakim: Langkah untuk Mengembalikan Marwah Hakim?
28 Agustus 2023 15:05 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Kirana Regalita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Barangkali kita sering mendengar hakim disebut "yang mulia" dalam prosesi sidang. Ya, hakim biasa dikenal officium nobile (profesi mulia). Hakim dianggap mulia karena profesi ini dijalankan kaum-kaum intelektual berpendidikan tinggi yang berperan penting dalam menegakkan hukum dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Hakim memiliki kekuasaan tertinggi di meja peradilan sampai diibaratkan bahwa hakim merupakan "wakil Tuhan"—yang mana siapapun yang terlibat dalam proses peradilan haruslah tunduk kepadanya.
Lalu, bagaimana jika hakim sang penegak keadilan ini melenceng dan justru melanggar hukum hingga menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat mengenai eksistensi keadilan itu sendiri?
Seperti misalnya kasus hakim agung SD yang telah dijatuhi vonis hukuman 8 tahun penjara dengan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan dalam kasus korupsi penanganan perkara pidana Koperasi Simpan Pinjam Intidana. SD rela menjual keadilan untuk ditukarkan dengan lembaran mata uang asing.
Kemudian, juga kasus GS, hakim agung yang terjerat skandal suap dalam menangani kasus yang sama. Walaupun GS belum mendapatkan putusan inkracht karena dianggap belum memiliki alat bukti yang cukup, tetapi hal ini tentu akan mengubah pandangan masyarakat terhadap hakim atau bahkan aparat penegak hukum lain.
Peribahasa "seorang makan cempedak, semua kena getahnya" sangat cocok dalam menggambarkan situasi ini. Di mana beberapa hakim terlibat kasus korupsi, akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hakim-hakim dan sistem peradilan secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat akan menganggap bahwa proses peradilan yang dijalankan aparat penegak hukum tidak efektif untuk mencapai keadilan. Masyarakat yang tidak percaya lagi dengan keadilan yang dapat timbul dari proses peradilan, akan mencari langkah alternatif lain.
Contohnya adalah dengan melakukan tindakan main hakim sendiri. Sebagian besar tindakan main hakim sendiri mengabaikan hukum dan undang-undang. Mereka menggunakan alasan ketidakpuasan terhadap hakim yang terganggu independensinya—sehingga menimbulkan putusan yang "berat sebelah"—sebagai validitas untuk melakukan kekerasan.
Hal ini tentu bukanlah penyelesaian yang baik bahkan akan menimbulkan ketidakadilan yang lebih besar dan sangat berpotensi untuk meningkatkan angka kriminalitas hingga merusak kestabilan sosial. Lalu, bagaimana menanggapi tindakan hakim yang tidak berintegritas ini?
Untuk mengatasi hal ini, tentu hakim-hakim yang membuat putusan tidak adil atau bahkan melakukan dan terlibat dalam tindak pidana korupsi perlu dihukum seberat-beratnya. Hukuman ini berfungsi dua arah. Pertama, sebagai penghukuman terhadap pihak-pihak yang berperkara untuk membuat jera sehingga tidak mengulangi perbuatannya kembali.
Kedua, sebagai tindakan preventif untuk menakut-nakuti semua orang agar tidak melakukan kejahatan yang sama. Selain itu, untuk mengembalikan dan menjaga marwah hakim perlu dilakukan advokasi hakim.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Komisi Yudisial Nomor 8 Tahun 2013, Advokasi hakim adalah kegiatan dalam rangka mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga yang diberikan wewenang secara atribusi untuk melakukan advokasi hakim. Terhadap pelaku PMKH (Perilaku Merendahkan Kehormatan Hakim), dapat dikenakan hukum pidana seperti yang diatur dalam Pasal 207, 212, 217, 224, dan 351 KUHP.
Selain melakukan advokasi hakim, KY memiliki kewenangan untuk mengawasi hakim agar tetap sesuai dengan Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Dalam KEPPH, hakim haruslah berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap profesional.
Sepuluh prinsip KEPPH di atas bersifat kumulatif, bukan alternatif yang berlaku bagi seluruh hakim dalam menegakkan keadilan. Dengan hakim menjaga perilakunya sesuai dengan KEPPH, diharapkan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sehingga meminimalisasi kriminalitas akibat main hakim sendiri sehingga mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial.
ADVERTISEMENT
Selain melakukan advokasi hakim, untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada sistem peradilan, juga perlu diadakan advokasi masyarakat. Advokasi masyarakat merupakan suatu upaya pembelaan masyarakat agar dapat memperoleh pelayanan hukum yang sebaik mungkin dengan cara yang sistematis dan terorganisir atas kebijakan yang tidak berpihak pada keadilan.
Tujuan advokasi masyarakat adalah untuk menciptakan perubahan yang dapat dicapai dengan meningkatkan kesadaran publik, meningkatkan dukungan, atau bahkan mempengaruhi kebijakan atas isu tertentu. Dengan adanya advokasi, hak masyarakat dapat terpenuhi dan terjaga dari kemungkinan adanya pelanggaran hingga memperoleh keadilan yang sepantasnya.