Konten dari Pengguna

Masalah Sampah Plastik Saset, Tanggung Jawab Siapa?

Rizqi Akbar
Freelance writer yang belum lama lulus dari Filsafat Universitas Gadjah Mada. Sesekali menulis di situs orang maupun pribadi, bisa dikunjungi di hallokal.site atau rizqiakbar.com
28 Januari 2023 8:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizqi Akbar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Krisis sampah plastik menjadi sangat parah dan membahayakan lingkungan. Terlebih, ketika produksi dan konsumsi plastik global terus meningkat. Penggunaan plastik sudah tak terhitung jumlahnya.
ADVERTISEMENT
Hari-hari ini, plastik—termasuk saset—telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Tidak hanya untuk kemasan makanan, plastik juga digunakan sebagai peralatan rumah tangga. Selain karena fungsinya, plastik juga dipilih karena mudah diproduksi dengan biaya yang relatif murah. Peralatan yang terbuat dari plastik biasanya lebih murah, menarik, dan tahan lama.
Jika berkaca pada manfaat plastik, akan sulit untuk menjalani gaya hidup bebas plastik, terutama demi kenyamanan, efisiensi, dan kebersihan. Faktanya, manusia telah menghasilkan 8,3 miliar ton plastik sejak 1950-an. Jumlah tersebut sangat mungkin bertambah, mengingat produksi dan konsumsi plastik terus bertambah hingga saat ini.
Di antara miliaran ton tersebut, ada banyak jenis sampah plastik yang dapat diklasifikasikan menurut ukuran, asal, bentuk, dan komposisi. Salah satu jenis plastik yang mungkin luput dari perhatian adalah plastik saset sekali pakai. Plastik saset sering dijumpai di kehidupan masyarakat Indonesia dan negara Asia lainnya. Beberapa produk kebutuhan rumah tangga yang beredar biasanya tersedia dalam kemasan saset, seperti sampo, bumbu makanan, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Penggunaan plastik saset dalam kegiatan ekonomi juga disebut sebagai sachet economy. Sachet economy ini mengacu pada praktik, terutama di komunitas miskin dalam jual-beli produk saset atau sekali pakai. Produk-produk ini biasanya dikemas dalam kantong plastik kecil.
Sachet economy mendorong konsumsi unit produk kecil dan sangat tepat untuk konsumen yang berhemat. Bagi banyak konsumen di kelas bawah—pendapatan tidak teratur dan rendah—sehingga lebih mudah untuk sering membeli dalam jumlah kecil. Sachet economy ini bertujuan untuk menurunkan hambatan partisipasi dalam jual-beli sehingga konsumen berpenghasilan rendah memiliki akses ke beberapa produk tertentu.
Dalam suatu diskusi film “Republik Saset” yang digelar BPPM Balairung UGM, Dandhy Laksono menyebut produsen produk saset bertingkah seolah “dewa penyelamat” bagi rakyat kecil. Menurut Dandhy, produsen mengatasnamakan masyarakat untuk menjustifikasi produksi produk saset secara massal.
ADVERTISEMENT
Produk saset dibuat seolah-olah untuk membantu masyarakat agar dapat membeli kemasan kecil dengan harga terjangkau. Padahal, kata Dandhy, produksi produk saset bukanlah demand driver, melainkan supply driven. Hal tersebut sangat memengaruhi pola konsumsi plastik di masyarakat. Sayangnya, di Indonesia produksi saset secara massal tidak dibarengi dengan pengelolaan sampah yang baik.

Masalah Sampah Plastik Saset

Sampah plastik saset diprediksi akan semakin menumpuk. Pada 2020, sebanyak 855 miliar kemasan saset dijual di pasar global. Asia Tenggara mendominasi 50% pasar, yang menjadikannya pangsa terbesar produk saset. Berdasarkan laporan Greenpeace, jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 1,3 triliun pada 2027.
Meski cukup murah, sayangnya seusai digunakan plastik saset tidak dapat digunakan kembali dan berakhir mencemari lingkungan. Sebab, plastik saset merupkan jenis plastik multilayer yang sifatnya sulit terurai. Hal ini akan memperparah tumpukan sampah saset, mengingat tingkat produksi yang terus meningkat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, fisik kemasan saset juga sulit untuk didaur ulang. Hal ini dikarenakan kemasan saset tidak hanya terdiri dari satu lapisan plastik saja. Lapisan tersebut terdiri dari lapisan berwarna bening yang berada di bagian dalam, lalu dilapisi alumunium foil, lapisan gambar, hingga lapisan laminasi. Hal ini membuat kemasan saset termasuk dalam plastik multilayer yang memiliki bahaya, baik secara fisik maupun kimia.
Peneliti Ecoton Eka Chlara Budiarti memaparkan bahwa plastik saset secara fisik bisa menjadi mikroplastik yang ukurannya kurang dari 5 mm dan dapat mencemari lingkungan. Padahal, mikroplastik menjadi salah satu bukti nyata bahaya sampah plastik yang sudah ditemukan, bahkan kini ada di tubuh manusia. Aliansi Zero Waste ID juga menyebut kemasan plastik saset mengandung zat plasticizer (BPA dan phthalates) yang berbahaya bagi tubuh.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, krisis sampah plastik turut diperparah oleh sistem pembuangan sampah dan daur ulang yang belum tertata dengan baik. Tercatat, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Data Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) menunjukkan bahwa dari 64 juta ton sampah plastik yang masyarakat Indonesia hasilkan setiap tahun, sebanyak 3,2 juta ton itu berakhir di laut.

Tidak Hanya Konsumen, Produsen dan Pemerintah juga Harus Terlibat

Dalam konteks pengelolaan sampah, biasanya tanggung jawab dibebankan kepada konsumen. Misalnya, ajakan agar masyarakat mulai menyadari bahaya pemakaian plastik sekali pakai bagi lingkungan hidup. Masyarakat pun diminta untuk mengubah pola konsumsinya melalui kampanye “Go green” atau semacamnya.
Dapat dibilang, pada kasus ini, hal mendasar yang perlu dibenahi adalah pola konsumsi. Pola konsumsi masyarakat memang cukup memengaruhi. Baik di sektor privat atau publik, permasalahan sampah—termasuk plastik saset—begitu terkait dengan perangai konsumsi.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa hasrat konsumsi masyarakat ini juga didorong oleh peran aktif produsen. Hal itu terwujud dalam rayuan iklan, promosi, hingga desain kemasan. Salah satu penyebab munculnya masalah plastik saset adalah produksi massal tidak dibarengi dengan pengelolaan sampah yang baik.
Seharusnya produsen menyadari fakta tersebut. Alih-alih, berperan seolah-olah menjadi “dewa penyelamat” bagi masyarakat kelas bawah, lebih baik produsen turut aktif dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Setidaknya, produsen tidak terus menyumbang produk-produk yang sulit didaur ulang, seperti plastik saset. Produsen perlu mengkaji ulang desain kemasan produknya dan memperhatikan dampak lingkungannya.
Selain konsumen dan produsen, permasalahan ini juga sering diabaikan oleh pemerintah selaku pemangku kepentingan. Padahal, pemerintah dapat memaksa setiap produsen yang menghasilkan sampah untuk wajib menarik kembali sampah yang dihasilkannya. Sebab, pemerintah dapat membuat regulasi dan diberikan kewenangan oleh hukum untuk melakukan itu.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, sebagai bagian dari publik, kita perlu membenahi pola konsumsi dan produksi yang abai pada dampak lingkungan. Sejalan dengan pilar Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 12, kita semua harus bertanggung jawab dalam mengelola sumber daya alam. Pemerintah, selaku pemangku kepentingan, juga perlu turut serta dalam menjaga jalannya produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab.