Kenaikan Harga Cabai, Bukti Bangsa Indonesia Hobi Cabai Shaming

Kris Mheilda Setiawati
Suka menulis kecuali pas lagi nggak Aktif di Instagram @idamaann
Konten dari Pengguna
24 Maret 2021 11:24 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kris Mheilda Setiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selain curah hujan, harga rokok, omong kosong pejabat, ternyata harga cabai juga mengalami kenaikan di awal tahun 2021 ini. Sebagai pemudi yang turut menjadi korban tren petani urban, saya menjadi cukup sentimen terhadap kenaikan harga bahan pangan.
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini saya menemukan fakta melambungnya harga cabai di tukang sayur keliling, yang biasanya saya beli cabai Rp 5.000 bisa buat nyambel se-RT sekarang cuma dapet sepuluh biji bukan sepuluh kilo.
Sebagai petani urban saya tidak terlalu kaget dengan hal ini, karena saya sudah lebih dulu PDKT dengan tanaman cabai sekitar satu setengah tahun yang lalu dan kondisi semacam ini terjadi juga di tahun lalu, jadi seperti agenda rutinan aja gitu. Bahkan tema rasa-rasa ibu-ibu kompleks pun juga sama, template setiap tahunnya.
Kalau sudah memasuki musim penghujan, pasti membahas soal kenaikan harga cabai dan melampiaskannya pada mas-mas tukang sayur di pagi hari.
Padahal sebetulnya kalau kita mau lebih jeli sedikit, kenaikan harga cabai bisa diprediksi lebih dini, yaitu di musim penghujan tiba.
ADVERTISEMENT
Di musim penghujan seperti sekarang ini, tanaman cabai petani banyak mengalami masalah, terutama diserang hama. Ada kurang lebih sembilan jenis hama yang siap menyerang tanaman cabai petani di musim penghujan, seperti ulat, kutu, lalat, virus dan bakteri.
Seperti tanaman cabai yang saya tanam sendiri di rumah, di musim penghujan seperti ini tanaman saya banyak dihinggapi kutu berwarna putih yang menyebabkan bentuk cabai tidak semulus biasanya, hingga menyebabkan bunga cabai rontok sehingga gagal berbuah.
Dalam hal ini saya menggarisbawahi kata ‘semulus biasanya’ yang berarti sebetulnya petani tetap berjuang keras menanam cabai dengan segala kasih sayangnya melebihi Malika. Namun, hasil dari panen tersebut memang kurang memuaskan lantaran bentuk cabainya tidak seperti biasanya.
ADVERTISEMENT
Cabai yang dipanen di musim penghujan cenderung akan berwarna lebih gelap seperti busuk dibeberapa bagian, kalau pun tidak busuk cabai akan terlihat berlubang.
Dari ketidakmulusan yang terjadi pada cabai inilah, yang menyebabkan cabai dinilai tak layak jual karena dianggap kualitasnya kurang bagus sehingga sepi peminat, akhirnya membuat petani beralih ke tanaman lain saat musim hujan karena risikonya terlalu besar ibaratnya wis susah-susah nandur iseh dipaido (sudah susah-susah nanam tidak dipercaya).
Cabai Gandot Wonosobo
Cabai yang kurang mulus tersebut bisa kita jumpai di pedagang pasar tradisional. Biasanya para pedagang akan menjual harga cabai kurang mulus tersebut dengan harga sangat murah dengan bentuk yang memang apa adanya.
Kalau saya perhatikan cabai kurang mulus tersebut tidak banyak dilirik oleh para pembeli, padahal harganya sudah murah namun tetap saja mereka tak mau membelinya, sungguh cabai shaming sekali.
ADVERTISEMENT
Dalam fakta ini body shaming tidak hanya terjadi manusia saja guys, cabai saja juga kena, lho, gila banget sih, hmm. Padahal dari cabai yang katanya kurang mulus tersebut masih bisa diolah menjadi bubuk cabai dengan cara dijemur sampai kering lalu digiling sampai lembut.
Cabai giling bisa kita gunakan sebagai pengganti cabai ketika masak Indomie, rasanya juga tetap pedas seperti biasanya tidak berubah sama sekali. Tapi sepertinya kita sudah anti banget sama hal-hal yang dari bentuk rupanya kurang oke menurut standar (ini juga masih dipertanyakan standar siapa), bentuk yang kurang mulus dinilai tidak baik, kotor, jahat, pokoknya jauh-jauh, deh.
Dari sini, bisa kita lihat bahwasanya masyarakat kita memang sangat memperhatikan bentuk visual, fisik, keindahan, dan sangat menghindari hal-hal yang buruk, kurang indah, tapi kalo tingkahnya yang buruk kayak koruptor nggak apa-apa, dengan dalih takut ada penyakitnya, tidak higienis. Pfft, mereka kira Indomie itu bukan sarang penyakit apa. Kzl.
ADVERTISEMENT
Padahal kalau kita mau melihat lebih dalam lagi, baik buruk itu sebetulnya tidak ada. Semua tergantung konteksnya saja. Baik di sini bukan berarti bisa jadi baik di sana dong, semua ada tempatnya, ada lokasinya, ada konteksnya.
Cabai yang bentuknya tidak semulus biasanya, yang dianggap buruk rupa bukan berarti ia berubah jadi penjahat atau koruptor yang suka ambil uang rakyat dong, ia tetap saja cabai walaupun bentuknya seperti itu, rasanya ya, tetap aja pedas, tetap enak buat teman makan mi, tetap aja nyelekit kayak omonganmu.
Belajar menilai sesuatu tidak dari rupa memang sulit, tapi bisa, dengan cara dibiasakan. Terutama dalam kita melihat tanaman pangan kita, sejauh ini bukan hanya cabai tidak mulus yang terkena body shaming tapi lebih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Banyak sekali tanaman pangan lokal yang ditanam oleh para petani mulai digeser oleh produk-produk impor hanya karena bentuk rupanya lebih indah, lebih besar, lebih mulus padahal jika dinilai dari fungsinya sama saja. Faktor ini yang menyebabkan punahnya benih tanaman lokal.